Artikel

Kesalahan Memaknai Hadits "Sampaikanlah Dariku Walau Hanya Satu Ayat"

14 Jul 2020 08:51 WIB
3876
.
Kesalahan Memaknai Hadits "Sampaikanlah Dariku Walau Hanya Satu Ayat"

Berikut kutipan hadits tentang riwayat Imam Bukhari tentang sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.

عن عبدالله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال بلِّغوا عني ولو آية، وحدِّثوا عن بني إسرائيل ولا حرَج، ومَن كذب عليَّ متعمِّدًا فليتبوَّأْ مقعدَه من النار .رواه البخاري.

Dari Abdillah ibn Amr ibn Ash ra., sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat. Berkisahlah tentang Bani Israel dan tidak apa-apa. Barangsiapa berdusta atas namaku, maka bersiaplah mendapatkan kursinya dari api neraka.” (HR. Bukhari).

Hadits ini sangat populer di kalangan para penceramah anyaran. Mereka sering menjadikan hadits ini sebagai landasan “kewajiban” menyampaikan ajaran agama Islam. Sayangnya, banyak di antara mereka, mengutip hadits ini secara tidak utuh, sehingga lepas dari konteksnya. Mereka mengutipnya hanya sebatas “sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”.

Inilah yang membuat para penceramah anyaran merasa punya otoritas (klaim kewajiban) untuk menceramahi orang lain, walaupun ilmu mereka masih sangat minim. Karena, dari apa yang mereka kutip, seolah Nabi memerintahkan kepada semua orang untuk ceramah walau modalnya cuma hapal satu ayat atau satu hadits.

Kita bisa mengatakan, mereka salah besar jika menjadikan hadits ini sebagai landasan kewajiban meyampaikan “dakwah”, atau tepatnya, dijadikan landasan nafsu berceramah. Salah besar. Hadits tersebut bahkan mengandung ancaman agar orang—ketika itu—harus hati-hati dalam menyampaikan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Saw.

Nabi mengancam bahwa orang yang berdusta atas nama Nabi, akan masuk neraka. Ancaman inilah yang membuat Anas ibn Malik merasa harus menahan diri dari meriwayatkan hadits terlalu banyak. Haidits-hadits yang ia riwayatkan dapat dipastikan benar-benar disabdakan oleh Nabi. (HR. Bukhari dan Muslim).

Kita tahu, Anas termasuk anak-anak yang sangat antusias menunggu kehadiran Nabi di Madinah dalam peristiwa Hijrah. Sejak usia sepuluh tahun, Anas sudah mendampingi Nabi di Madinah. Anas mendampingi Nabi sampai Nabi wafat. Nabi memiliki panggilan kesayangan untuk Anas, yaitu Uneis.

Selanjutnya, hadits di atas merupakan perintah Nabi kepada para sahabat yang mendengarkan Nabi menyampaikan wahyu pada mereka. Tidak semua sahabat selalu ada di sisi Nabi ketika Nabi menyampaikan wahyu. Kadangkala Rasulullah menyampaikan wahyu di hadapan empat sahabat Nabi, sepuluh sahabat, dua puluh sahabat, dan seterusnya.

Para sahabat yang mendengarkan wahyu—yang baru disampaikan—, lalu diperintahkan untuk menyampaikan kepada sahabat lain yang tidak hadir (tidak mendengar). Kemudian Rasulullah beberapa kali memesankan hal ini dalam beberapa haditsnya, "hendaknya yang hadir (mendengar) menyampaikan kepada yang tidak hadir (tidak mendengar)". Fal yuballigh asy-syahid al-ghaiba. Inilah konteksnya.

Sabda Nabi “sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” sebenarnya tidak bisa dijadikan alasan orang untuk segera ceramah, karena sabda itu terbatas dalam konteks menyampaikan wahyu dan apa adanya. Itupun bagi yang sudah paham.

Jika belum paham, maka diperintahkan untuk bertanya hingga mendapatkan penjelasan yang memadai. Setelah paham, baru boleh menyampaikan. Itu dulu, di zaman Nabi, ketika wahyu masih belum lengkap dan turun dengan proses berangsur-angsur.

Sekarang wahyu (Al-Quran) sudah lengkap. Al-Quran sudah ada di rumah, kantor, sekolah, kampus, dan selainnya: di depan mata kita. Maka, hadits di atas sudah kehilangan konteksnya.

Jika pun hadits tersebut “dipaksakan” relevansianya, maka harus disesuaikan dengan konteks kekinian, yaitu sebagai perintah untuk belajar ilmu-ilmu agama dan mengajarkannya kepada orang lain yang tidak memahami ilmu-ilmu agama. Inilah relevansinya. Dalam Al-Quran ditegaskan:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Hendaknya ada yang pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, beberapa orang, untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan (mengajarkan) kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah: 122)

Ayat ini menceritakan tentang peperangan yang tidak diikuti oleh Nabi. Perang ini disebut “sariyah”. Maka, jangan semuanya berangkat perang. Harus ada wakil (beberapa orang) dari setiap kelompok yang tetap bersama Nabi untuk memperdalam pemahaman tentang Islam. Sehingga, ketika pasukan yang selamat kembali dari medan perang, mereka dapat belajar (bertanya) kepada mereka yang tetap belajar bersama Nabi. Dengan demikian mereka paham ajaran agama.

Berdasarkan ayat ini, sebagian dari orang-orang beriman harus tafaqquh fi ad-din (memperdalam ilmu-ilmu agama) baru kemudian mengajarkannnya kepada orang lain (masyakarat). Harus paham betul soal agama dan ilmunya, baru ceramah, jadi ustadz, guru, kiai, ulama, dan tokoh agama.

Dalam kitab Fathul Bari Syarah Sahih al-Bukhari, ada bab khusus tentang keharusan bertanya jika tidak paham. Bab “Baransiapa Mendengar Satu Pelajaran dan Dia Tidak Paham Maka Dia Harus Bertanya Sampai Paham” (باب مَنْ سَمِعَ شَيْئًا فَلَمْ يَفْهَمْهُ فَرَاجَعَ فِيهِ حَتَّى يَعْرِفَهُ )
Dalam bab ini, ada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra, yang menunjukkan Aisyah tidak paham akan sabda Rasulullah, kemudian Aisyah bertanya agar mendapatkan penjelasan yang benar:


أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَا تَسْمَعُ شَيْئًا لَا تَعْرِفُهُ إِلَّا رَاجَعَتْ فِيهِ حَتَّى تَعْرِفَهُ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ

“Jika Aisyah, istri Nabi Saw., mendengarkan sesuatu (sabda Nabi) yang ia tidak paham, ia pasti mempertanyakannya hingga ia paham. Nabi Saw. pernah bersabda, ‘Barangsiapa dihisab, sama dengan disiksa’.

Aisyah lantas bertanya, ‘Bukankah Allah Ta’ala berfirman, ‘Maka dia akan dihisab dengan hisab yang ringan.’
Nabi menjawab, ‘Yang demikian itu (ringan) maksudnya hanya ketika diajukan untuk dihisab (al-‘ardhu). Ketika dihisabnya (dengan teliti), dia akan celaka.”

Jadi, begitulah penjelasan singkat tentang hadits yang sering dipenggal, ”sampaikan dariku walau hanya satu ayat”.

Semoga penjelasan mengenai hadits ini bermanfaat untuk kita. Intinya, belajar dulu ilmu-ilmu agama, baru deh jadi ustadz. Paham dulu baru ngomong.

Wallahu a’lam

Taufik Damas
Taufik Damas / 5 Artikel

Alumni Universitas al-Azhar Mesir, penulis dan tokoh Nahdatul Ulama. Menjabat sebagai Wakil Katib Syuriah PWNU Jakarta dan pengasuh program "Artis Bertanya Kiai Menjawab" di TVNU.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: