Artikel

Klasifikasi Santri Menurut Imam Mawardi

21 Mar 2021 02:23 WIB
1835
.
Klasifikasi Santri Menurut Imam Mawardi

Santri merupakan salah satu ujung tombak dari keberhasilan Indonesia merdeka. Pasca kemerdekaan Indonesia pun, ketika kolonial Belanda menyerang kota Surabaya dan sekitarnya, tentara mereka dibuat kocar-kacir oleh para pejuang tanpa pamrih, yaitu santri.

Melihat perkembangan Indonesia dari tahun ke tahun, pada mulanya santri tidak begitu dipandang, bahkan sempat terisolasi gerak-geriknya di kancah perpolitikan. Tapi pada saat ini—diakui atau tidak—istilah santri sudah tidak asing bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, apalagi wakil presiden Indonesia sekarang berangkat dari latar belakang santri (pesantren).

Untuk mengenal santri lebih akrab, mari kita tengok arti santri versi sebagian ulama. Namun sebelumnya, mari kita buka dulu Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dari beberapa arti yang ada di KBBI, salah satu arti santri adalah siswa yang ada di pondok pesantren.

Setelah kita tahu versi KBBI, langsung kita terjun pada arti santri versi rumor yang mengakar di masyarakat. Santri sering diidentikkan sebagai seorang yang ada di suatu tempat suci, yang diasuh oleh seorang kiai untuk belajar mengaji disiplin ilmu yang Islami. Demikianlah kira-kira santri versi rumor yang berkembang di masyarakat.

Jika kita lihat versi kitab-kitab klasik, sebenarnya tidak jauh beda. Versi kitab klasik, santri adalah seorang yang sedang menuntut ilmu agama seperti al-Qur`an, Tafsir, Hadis, atau ilmu-ilmu yang dibutuhkan sabagai alat untuk memahami ilmu agama, seperti ilmu Nahwu, Sharaf dan lain-lain. Santri tidak harus berada di suatu tempat tertentu sebagaimana rumor yang beredar.

Imam Mawardi, seorang ulama fikih asal Irak memiliki pengertian yang lebih detail tentang santri. Dia mengklasifikasikan (menggolongkan) santri menjadi dua kelompok;

Pertama, seorang yang diajak oleh guru yang alim untuk belajar ilmu agama, karena melihat potensi (pintar dan cerdas) dari orang tersebut.

Kedua, seorang yang mempunyai keinginan sendiri untuk mencari dan belajar ilmu agama.

Untuk yang pertama, jika dari maksud guru tersebut diimbangi dengan keinginan dan potensi anak yang diajak, maka guru tersebut tidak akan sulit mencapai tujuannya untuk menggali potensi yang ada dan akan memperoleh hasil yang baik.

Dan untuk yang kedua, seorang guru jika diminta untuk menjadi gurunya (seorang yang mempunyai keinginan sendiri untuk mencari dan belajar ilmu agama), maka harus memperhatikan latar belakang atau alasan anak, calon santri tersebut.

Apabila tujuannya baik, bersifat agama serta ada pontensi yang terlihat, maka tidak alasan bagi calon guru untuk tidak menerimanya (wajib menerima). Bahkan, jika tidak memiliki potensi pun harus diterima, misalkan dia pandir (bebal otaknya).

Jangan sampai kepandiran dia menjadi alasan untuk tidak menerimanya. Karena, jika didorong keinginan kuat dan kesabaran, lama kelamaan akan ada dampaknya juga. Nabi Muhammad Saw. Bersabda:

لا تمنعوا العلم أهله فتظلموا ولا تضعوه في غير اهله فتأثموا

“Janganlah kamu semua mencegah ilmu untuk diberikan pada ahlinya, maka kamu menjadi penyebab kezaliman. Dan janganlah memberikan ilmu pada yang bukan ahlinya, maka kamu menjadi penyebab dosa.”

Jika alasannya tidak bersifat agama, tapi agama tidak melarangnya (mubah), maka perinciannya hampir sama dengan alasan yang pertama. Karena, walaupun tujuan awalnya tidak bersifat agama, berkat ilmu yang diperoleh, akan membawanya ketujuan yang bersifat agama. Syaikh Sufyan ats-Sauri berkata:

تعلمنا العلم لغيرالله فأبى أن يكون إلا لله

“(Pada awalnya) saya belajar ilmu dengan tujuan bukan karena Allah. Kemudian ilmu tersebut tidak mau kecuali karena Allah Taala.”

Imam Abdullah bin Mubarak juga berkomentar:

طلبنا العلم للدنيا فدلنا على ترك الدنيا

“Saya mencari ilmu karena tujuan dunia, tapi ilmu menunjukkan saya untuk meninggalkan dunia.”

Begitulah beberapa dawuh ulama mengenai tidak boleh sembarangan menolak menjadi guru, apabila tidak ada landasan yang jelas.

Dan untuk perincian yang terakhir, apabila tujuannya dilarang oleh agama, seperti belajar agama hanya untuk digunakan rekayasa dalam mempermainkan hukum fikih dan sejenisnya, maka para guru harus menolak pinangan calon santri yang memiliki tujuan yang seperti ini.

Demikianlah klasifikasi santri versi Imam Mawardi.

Yang terakhir, sebagai seorang santri yang terpenting menurut guru kami, KH. Zubair Muntashar pengasuh Pondok Pesantren Nurul Cholil Bangkalan adalah pa istiqamah  (tetap konsisten), pa bhejeng (selalu semangat) dan jhek-lesmalesan (jangan bermalas-malasan).

Bahan bacaan: Hilyah at-Thullâb, karya Syaikh Muhammad Said bin Syaikh Abdur Rahim, Sarang.

Syifaul Qulub Amin
Syifaul Qulub Amin / 12 Artikel

Alumni Pondok Pesantren Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan, Madura. Sekarang aktif menjadi kontributor sekaligus editor di Website PCNU Bangkalan. Penyuka tumpukan buku dan kitab gundul. Lagi fakus menulis buku dan merambuti kitab gundul (menerjemah).

nandini asp
25 March 2021
sangat menarik 👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: