Artikel
Logika Wajib Mencintai Allah Menurut Syekh Ramadhan Al-Buthi
Katakanlah Anda ingin melakukan perjalanan dari kota Brebes ke Jakarta. Untuk menuju Jakarta, Anda bebas memilih transportasi apa saja. Bisa menggunakan mobil pribadi atau transportasi umum seperti bus dan kereta. Tidak ada keharusan untuk menggunakan kendaraan tertentu. Selama transportasi yang Anda pakai bisa sampai ke Jakarta, sah-sah saja mau pakai yang mana.
Pada ilustrasi di atas, penulis sedang memberikan contoh sederhana terkait “perantara” dan “tujuan”. Transportasi adalah perantara, sementara kota Jakarta adalah tujuan. Karena transportasi sebagai perantara, maka kita bebas memilih mau pakai yang mana. Selama memiliki tujuan yang sama: Jakarta.
Cinta kapada Allah sebagai Tujuan
Salah satu tuntutan seorang hamba kepada Allah adalah mencintai-Nya. Tapi jangan salah, cinta kepada Allah bukan sebagai perantara untuk mencapai tingkatan spiritual tertentu di sisi-Nya. Sehingga mengesankan cinta itu sebatas perantara, bukan tujuan. Lalu, mengapa mencintai Allah itu wajib? Mengapa pula mencintai-Nya adalah sebuah tujuan, bukan perantara untuk mencapai tujuan tertentu?
Untuk menjawab dua pertanyaan di atas, menarik untuk kita simak pernyataan Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya, Al-Hubbu Fil Qur’an. Sederhana saja, menurut al-Buthi, Allah swt telah memberi kita nikmat yang tak terhitung jumlahnya dan tak terukur pula besarnya. Sebagai penerima nikmat itu, sudah seharusnya kita sebagai hamba mencintai Sang Pemberi nikmat.
Menjawab pertanyaan kedua, al-Buthi melanjutkan, cinta kepada Allah merupakan tujuan, bukan perantara. Karena jika cinta sebagai perantara, maka mencintai-Nya tidak lagi wajib. Seperti ilustasi transportasi yang penulis kemukakan di awal. Karena transportasi sebagai perantara, maka orang bebas saja memilih mau pakai transportasi apa saja. Tidak ada kewajiban menggunakan kereta misalnya.
Tuntunan rasionalnya, mencintai Allah adalah wajib karena atas limpahan nikmat-Nya yang telah diberikan kepada hamba. (al-Buthi, Al-Hubbu Fil Qur’an, hal. 59)
Allah sebagai Pemilik Hakiki
Mengapa seorang hamba wajib mencintai Allah? Bukannya Allah juga sering memberikan musibah? Bagaimana mungkin kita harus tetap mencintai Allah, sementara Ia sendiri sering memberikan musibah kepada hamba-Nya. Memberi kemiskinan, berbagai macam penyakit, kegagalan, dan penderitaan-penderitaan lainnya. Mencintai Allah, berarti mencintai Dzat yang sering menyakiti.
Ibarat Anda sering dianiaya oleh seseorang, Anda pasti sangat membenci orang tersebut dan bukan malah menyukainya. “Sudah tahu sering disakiti, kok malah mencintainya?”
Al-Buthi justru berpendapat sebaliknya. Adanya musibah-musibah yang Allah berikan, justru menjadi indikasi bahwa Allah merupakan sang pemilik hakiki, pemilik sejati atas segala apa yang ada di alam raya. Sebagai pemilik sejati, Allah bebas melakukan apa saja atas segala ciptaannya, tak terkecuali dalam memberi musibah. Itu sudah hak prerogatif Allah. Tidak bisa diganggu gugat.
Tapi perlu dicatat, musibah yang Allah berikan bukan tanpa tujuan, tapi selalu ada hikmah dibaliknya. Allah berfirman,
لَا يُسْئَلُ عَمَّا يَفۡعَلُ وَهُمۡ يُسْئَلُوْنَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Ambiya [21]: 23)
Ayat di atas menegaskan bahwa apapun yang Allah lakukan untuk makhluk-Nya, tidak perlu lagi dipertanyakan. Karena apapun yang Allah lakukan terhadap hambna-Nya, pasti menyimpan hikmah yang tidak semua orang bisa menyingkapnya.
Sebagaimana Imam Ibnu Katsir (w. 1337 M) menafsiri ayat di atas. Menurutnya, Allah swt adalah Dzat yang maha bijaksana, tidak ada satu pun makhluk yang mampu mempengaruhi kebijkasanaan tersebut. Allah maha agung, maha tahu, maha bijaksana, maha adil, dan maha lembut. Tak perlu lagi meragukan segala keputusannya. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibu Katsir, Vol. IX, Hal. 397)
Senada dengan penafsiran ayat di atas, As-Sa’di dalam menafsiri Surat Ar-Ra’d ayat 41 menegaskan, semua keputusan Allah swt sudah sangat bijak, adil, dan dimajin layak dipuji. Tidak ada celah sedikit pun, dan siapapun tidak mampu menciderai prinsip itu. Berbeda dengan keputusan selain-Nya yang kadang tepat, dan tidak jarang pula meleset. (As-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, Vol. IV, Hal. 837)
Jika ada pemilik hakiki, apa ada pemilik yang bukan hakiki? Ada, yaitu selain Allah (makhluk). Menurut al-Buthi, indikasi pemilik tidak hakiki ini terikat oleh syarat dan batasan-batasan tertentu. Seperti orang yang hendak memiliki sepeda motor. Ia harus melakukan transaksi dengan segala ketentuannya, membayar pajak kendaraan, dan lain sebagainya. Tetapi Allah sebagai pemilik hakiki tidak demikian. (Al-Buthi, Hal. 60)
Keharusan Mendekati Allah
Melanjutkan argumennya di atas, Al-Buthi menjelaskan, kita tidak bisa menyamakan musibah yang Allah turunkan kepada hamba-Nya seperti seorang musuh yang menyakiti lawannya. Jika seseorang disakiti oleh lawan, pasti orang itu akan lari menjauh dan mencari orang lain untuk melindunginya. Lain lagi jika seorang hamba mendapat musibah dari Allah, ia justru semakin mendekati dan meminta pertolongan kepada-Nya, bukan menjauh. Justru jika ia menjauh, Allah akan membencinya. (Al-Buthi, Hal. 60)
Mendekati Allah sedekat-dekatnya saat seorang hamba ditimpa musibah, justru menjadi penyebab turunnya rahmat Allah. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan, tujuan Allah memberi cobaan terhadap hamba-Nya supaya ia bersimpuh, berdoa, dan mengadu kepada Allah. Dengan begitu, ia menunjukkan dirinya yang lemah tak berdaya di hadapan Tuhan Mahaperkasa. Sebab itu, turunlah rahmat Allah untuknya. (Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Ruh, Hal. 291)
Baca tulisan menarik lainnya tentang Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi di sini.
Jurnalis lepas dan penulis artikel keislaman (alumnus Pesantren KHAS Kempek Cirebon, mahasantri Mahad Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta). Asal Brebes Jawa Tengah.
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024