Artikel
Membela Keragaman Qira’at Al-Qur’an dari Para Pengingkarnya
Al-Qur’an merupakan kitab yang selalu terjaga dan bahkan dijamin keontetikannya oleh Allah sendiri. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an, dan Kami pulalah yang akan memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 5)
Karenanya, sepatutnya seorang muslim mempercayai bahwa lantunan bacaan atau qira’at al-Qur’an yang ia dengar saat ini, tidak berbeda dari yang didengar oleh para sahabat dari Rasulullah yang bersumber langsung dari Allah dengan perantara Jibril sebagai penyampai.
Terkait qira’at al-Qur’an, Rasulullah bersabda, “Al-Qur’an diturunkan dengan beberapa variasi bacaan yang berbeda, maka bacalah yang termudah bagi kalian.” (HR. al-Bukhari)
Dari sini jelas kiranya bahwa perbedaan bacaan atau qira’at al-Qur’an telah ada sejak zaman Rasulullah dan bahkan Rasulullah memang mengajarkan qira’at yang bervariasi sebagai “rahmatan” bagi umatnya yang memiliki dialek yang berbeda-beda, sehingga tidak ada yang merasa sukar ketika membaca al-Qur’an karena sesuai dengan dialek yang biasa mereka gunakan.
Namun faktanya, masih saja terdapat sebagian orang yang tidak percaya, bahkan secara sadar ingkar terhadap qira’at al-Qur’an.
Baca juga: Biografi Imam Mutawali; Muara sanad Qira’at di Mesir
Berikut ini merupakan pemaparan dua tokoh pengingkar qira’at al-Qur’an dan jawaban dua ulama al-Azhar terkait hal tersebut.
Pada suatu hari, dalam sebuah majlis terdapat seorang qari’ membaca al-Qur’an menggunakan bacaan qira’at Abu Amr al-Bashri (w. 154 H). Ketika sang qari’ membaca surat Yusuf dan sampai pada lafadz (حَاشَ), ia berhenti (waqaf) dengan membuang alif setelah huruf syin (حَاشْ). Kemudian ia mengulang bacaan lafadz (حَاشَ) dengan memanjangkan huruf syin (حَاشَا) ketika membaca washal.
Di antara para penyimak dalam majlis tersebut, terdapat seseorang bernama Muhammad Sulaiman as-Safathi al-Maliki (w. 1323 H). Dia menganggap bahwa bacaan sang qari’ tidak benar, sebab baginya hal itu termasuk mencampuradukkan bacaan dalam al-Qur’an.
Bahkan untuk memperkuat pendapatnya, Muhammad Sulaiman menulis sebuah karya yang secara khusus memprotes bacaan di atas, yaitu Radd at-Talfiq wa al-Isytibah fi Qaulihi Ta’ala (Menolak Pencampuradukan Bacaan dalam Firman Allah).
Kejadian ini ramai dibicarakan oleh masyarakat Mesir saat itu hingga sampai ke telinga Syekh al-Azhar, Syamsuddin Muhammad al-Anbaby (w. 1313 H).
Untuk meluruskan persoalan ini, Syekh al-Anbabi memanggil Syekh al-Mutawali (w. 1313 H), yang menjabat sebagai Syekh Umum al-Maqari’ al-Mashriyah (Ketua Umum Himpunan Para Qari’ Mesir). Dalam pertemuannya, Syekh al-Anbabi memerintahkan Syekh al-Mutawali untuk meluruskan persoalan tersebut dan menyampaikan kepada masyarakat Mesir agar tidak ikut hanyut dalam pengingkaran terhadap qira’at Al-Qur’an.
Dalam rangka menjalankan perintah Syekh al-Anbabi dan meluruskan tuduhan yang dilontarkan oleh Muhammad Sulaiman, Syekh al-Mutawali menulis sebuah karya yang berjudul Safinatun Najah fima Yata’allaq bi Qaulihi Ta’ala (Perahu Keselamatan dalam Menjawab yang Berhubungan dengan Firman Allah).
Dalam pengantarnya, secara khusus al-Mutawali menyampaikan kepada sang pengingkar sebagaimana berikut:
“Ketahuilah—semoga Allah memberi petunjuk kepadamu—bahwa lafadz (حاش لله) disebutkan dua kali dalam surat Yusuf, yaitu pada ayat 31 dan 51. Adapun dalam Qira’at Abu Amr (Kedua perawinya: ad-Duri [W. 246 H] dan as-Susi [W. 261 H]) cara membacanya adalah dengan menetapkan alif setelah huruf syin ketika dalam keadaan washal (dilanjutkan) dan membuang alif ketika diwaqafkan. Demikian ini merupakan bacaan yang benar dan tidak bisa ditentang. Bacaan tersebutlah yang kami baca dan sesuai dengan sanad yang kami ambil. Sehingga, tidak perlu kiranya menghiraukan orang ingkar yang menyatakan bahwa bacaan tersebut merupakan ‘talfiq’ (pencampuradukan) antara membuang dan menetapkan alif. Qira’at al-Qur’an tidak mengikuti bahasa Arab, melainkan sebaliknya, bahasa Arab yang harus mengikuti qira’at. Sebab ia didengar secara langsung dari orang Arab yang paling fasih secara ijmak, yaitu Nabi Muhammad Saw, para sahabat dan para pengikut setelahnya”.
Baca juga: Matan Jurumiyah dan Sang Pengarang yang Tak Ditemukan Makamnya
Selain al-Mutawali, terdapat seorang ulama yang memiliki karya tulis yang bertujuan untuk mengkonter pemikiran yang ingkar terhadap qira’at al-Qur’an. Beliau adalah Abdul Fattah al-Qadhi (w. 1403 H- 1982 M). Karyanya yang sangat monumental bertajuk: Al-Qira’at fi Nadzar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin.
Karya ini oleh ulama generasi setelahnya dianggap sebagai karya yang paling baik dalam menjawab tuduhan yang dilontarkan oleh pengingkar qira’at dan menjadi kitab rujukan utama.
Latar belakang penulisan karya ini tidak jauh berbeda dari latar belakang penulisan karya al-Mutawali, yaitu sebuah reaksi terhadapat pengingkar qira’at namun berbeda objek. Syeikh Abdul Fattah al-Qadhi dalam kitab itu, berupaya mengkonter dan meluruskan pandangan Ignaz Goldziher yang tertuang dalam karyanya Madzahib at-Tafsir al-Islami yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Abdul Halim an-Najjar.
Selain itu, perbedaan keduanya adalah al-Mutawali mengkritik hanya sebatas satu kalimat sedangkan al-Qadhi lebih komprehensif dan lebih fokus pada ruang lingkup sejarah.
Dalam bukunya, Ignaz menuduh bahwa qira’at Al-Qur’an adalah karya manusia setelah Rasulullah, karena mushaf yang ditulis pada masa sayyidina Utsman tidak memiliki tanda titik maupun harakat. Maka bisa jadi, seseorang membaca sesuai kehendaknya sendiri.
Untuk meluruskan dan mengkonter pandangan Ignaz ini, al-Qadhi dalam karyanya menjawab bahwa al-Qur’an telah dihafal dan dijaga oleh para sahabat dengan sangat baik sebelum dilakukannya kodifikasi Al-Qur’an pada masa sahabat, bahkan sejak awal turunnya Al-Qur’an. Mereka sangat antusias dan penuh semangat dalam menghafal dan memelihara hafalannya dengan terus-menerus diulang dan sebagian juga menulis di media yang ada pada saat itu seperti batu dan pelepah kurma. Selain itu, perbedaan bacaan atau qira’at memang telah dijumpai sejak masa Rasulullah. Sebagaimana cerita Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim.
Diceritakan bahwa Umar menemui Hisyam bin Hakim setelah melaksanakan shalat untuk mempertanggungjawabkan bacaan al-Qur’annya yang tidak sesuai dengan bacaan yang diterima Umar dari Nabi. Namun, Hisyam bin Hakim bersikukuh dan secara tegas mengatakan bahwa bacaannya sesuai dengan yang diajarkan Nabi.
Untuk meluruskan hal ini, keduanya menghadap Nabi untuk meminta jawaban. Nabi menyuruh keduanya bergantian membaca bacaan atau qira’at yang diperselisihkan tersebut. Tak disangka, Nabi membenarkan kedua bacaan tersebut dengan mengatakan: “Demikian bacaan itu diturunkan, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf”. Hadits ini menyatakan bahwa ragam qira’at memang telah ada dan sengaja diajarkan untuk mempermudah umat.
Demikianlah, bahwa di antara qira’at al-Qur’an dan pengingkarnya, selalu ada pihak yang mengkonter dan meluruskan. Pihak yang selalu menjaga keotentikan ragam qira’at yang telah diajarkan Rasulullah hingga bisa sampai ke zaman kita atas izin-Nya. Wallahu a’lam
Ahli ilmu qira'at Al-Qur'an Asyrah al-mutawatirah bersanad sampai kepada Nabi. Wakil koordinator pendidikan dan pengajian di Pesantren Darussalam Keputih Surabaya dan pengisi acara Kiswah Tv 9 Nusantara NU Jatim. Penulis buku “Mengarungi Samudra Kemuliaan 10 Imam Qira’at.”
Baca Juga
Wibawa Nabi melebihi ketampanannya
02 Oct 2024