Selama beberapa hari kemarin keberadaan di Pontianak, saya mencari makam satu orang ulama besar bernama Syaikh Mahmud Syarwani.
Syaikh Mahmud Syarwani adalah seorang ulama besar yang lahir di Makkah dan menjadi salah satu guru besar Syafi’iyyah di Masjidil Haram. Beliau kemudian pergi berhijrah ke Nusantara dan menetap di Kesultanan Pontianak beserta keluarganya hingga wafat di sana pada tahun 1896.
Di Pontianak, Syaikh Mahmud Syarwani menjadi mufti dan penasehat ulama rujukan kesultanan itu.
Ayah Syaikh Mahmud Syarwani adalah Syaikh Abdul Hamid b. Husain al-Syarwani al-Daghastani al-Makki (w. 1884), seorang ulama Syafi’iyyah asal Dagestan yang kemudian menjadi guru besar di Masjidil Haram, Makkah.
Biografi Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani al-Daghastani al-Makki termuat dalam kitab “Mu’jam al-Syuyukh” karya al-Fasi, juga dalam kitab “Nuzhah al-Adzhan fi Tarajim ‘Ulama Daghastan” karya Nadzir b. Haji al-Darkili asy-Syafi’i.
Di Makkah, Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani satu “thabaqat” dengan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (w. 1885), mufti madzhab Syafi’i di kota suci itu yang sangat terkenal.
Beliau juga memiliki banyak murid yang berasal dari Nusantara. Di antara ulama Nusantara yang tercatat pernah belajar kepada beliau adalah Syaikh Nawawi Banten (w. 1897), Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916), Syaikh Mahfuzh Tremas (w. 1920), Syaikh Khalil Bangkalan (w. 1925) dan lain-lain.
Terkait jejaring dan sanad keilmuan Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani, dapat disimak pada tulisan Afif M Salim yang berjudul “Syaikh al-Bajuri (1198-1276 H): Sanad Keilmuan Syaikh Abdul Hamid as-Syarwani ad-Daghistani”.
Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani juga memiliki karangan berjudul “Hasyiah al-Syarwani ‘ala Syarh Tuhfah al-Muhtaj”. Karya ini merupakan ulasan panjang (hasyiah/great comment) atas kitab “Tuhfah al-Muhtaj” karya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami. “Tuhfah al-Muhtaj” sendiri merupakan penjelasan (syarh/comment) atas teks kitab berjudul “Minhaj ath-Thalibin” karya Imam An-Nawawi.
Kitab “Hasyiah al-Syarwani” ini diselesaikan oleh beliau pada tahun 1289 H (1872 M). Kitab ini banyak dijadikan rujukan dalam kajian fikih madzhab Syafi’i masa modern. Di sana beliau menuliskan beberapa pandangan hukum fikih terkait masalah-masalah modernitas yang berkembang pada masa itu.
Bagi para aktivis forum Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU), keberadaan kitab “Hasyiah al-Syarwani” tentu bukan sesuatu yang asing. Kitab ini terbilang sering dikutip dan menjadi rujukan argumentatif dalam penetapan keputusan hukum Bahtsul Masail tersebut.
Syaikh Abdu Hamid al-Syarwani wafat pada 26 Dzulhijjah 1301 Hijri (bertepatan 13 Oktober 1884) dan dimakamkan di depan kubah Sayyidah Khadijah di Makkah (kini sudah rata dengan tanah).
Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani ini memiliki seorang putra yang juga sangat alim. Namanya adalah Syaikh Mahmud b. Abdul Hamid al-Syarwani. Sosok ini dilahirkan di Makkah dan pernah mengajar di Masjidil Haram, namun kemudian pergi berhijrah ke Nusantara, tepatnya ke Kesultanan Pontianak.
Terkait data-data sejarah dan jejak historis Syaikh Mahmud Syarwani di Pontianak, Wan Muhammad Shagir Abdullah telah mengulasnya dalam artikel beliau yang berjudul “Syeikh Mahmud Syarwani dari Mekah Berhijrah ke Nusantara”.
Di Pontianak, Syaikh Mahmud Syarwani kemudian diangkat menjadi menjadi mufti dan penasehat ulama rujukan kesultanan. Salah satu putri beliau yang bernama Jamilah bt. Mahmud Syarwani (w. 1977) menikah dengan Sultan Muhammad al-Qadri (w. 1944). Dari pernikahan ini lahir Sultan Hamid II al-Qadri (w. 1978), penguasa terakhir Pontianak yang juga perancang lambang burung garuda Indonesia.
Jadi, ditarik dari jalur ibu, Sultan Hamid II al-Qadri ini adalah cicit dari Syaikh Abdul Hamid al-Syarwani al-Makki, ulama besar Makkah pengarang kitab “Hasyiah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah”.
Syaikh Mahmud Syarwani wafat pada 21 Jamadilakhir 1314 H (27 November 1896 M) dan dimakamkan di Pontianak.
Pada Rabu (28/10) hari kemarin, saya dan KH. Ma’ruf Khozin (Direktur Aswaja Center Jawa Timur) mencari-cari keberadaan makam Syaikh Mahmud Syarwani di Pontianak untuk dapat kami ziarahi. Pencarian ini juga dibersamai oleh kawan-kawan dari Hisaniyah Kalbar, Himasal Kalbar dan PW Ansor Kalbar.
Sayangnya kami belum berhasil menemukan makam sang tokoh ini. Pencarian dimulai dari sejak sebelum Ashar hingga menjelang Isya, mulai dari kompleks pemakaman para sultan Pontianak di Batu Layang, hingga pemakaman para ulama keturunan Arab di Kampug Arab. Kami bertanya ke orang-orang juga tak ada yang tahu.
Bahkan kepada seorang yang masih terhitung keturunan Syaikh Mahmud Syarwani generasi cicitnya pun tidak tahu. Sepertinya, para keturunan Syaikh Mahmud Syarwani di Pontianak saat ini mengalami “kepaten obor” dengan sosok keulamaan sang buyut.
Sebelum pulang bertolak ke Jakarta pagi tadi, saya meminta tolong kepada kawan-kawan muda PWNU Kalimantan Barat untuk mengupayakan penemuan makam sang ulama besar tersebut. Karena bagaimana pun, sosok Syaikh Mahmud Syarwani adalah bagian yang tak terpisahkan dari tradisi besar keilmuan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Wallahu A’lam
Pontianak-Jakarta, 16 Rabi’ul Awwal 1442 Hijri