Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mengungkap jaringan Ulama Banyumas (3): Manuskrip Pegon Jalur Kraton

Avatar photo
47
×

Mengungkap jaringan Ulama Banyumas (3): Manuskrip Pegon Jalur Kraton

Share this article

Manuskrip ini selesai ditulis tangan pada tahun 1297 Hijriyah, hari Jumat Pon, tanggal 19 bulan Muharrom atau 2 Januari 1880 Masehi.

Orang alim zaman dahulu memiliki ketrampilan menulis sangat baik dan rapi. Manuskrip ini setebal ± 600 lembar tanpa nomor halaman, ditulis dengan aksara Pegon Jawa. Bahasanya yang digunakan, sependek pengetahuan dan pengamatan kebanyakan adalah sanksekerta.

Mengutip penjelasan dari Kangmas Ajeungan Diaz Nawaksara melalui kolom Massangger, manuskrip ini dinamai Sangkalannya: Sileming Jaladri Bahning Sastra. Tidak diketahui penulisnya, istilah lain adalah Sandiasmo.

Manuskrip ini besar kemungkinan dari keraton dan ditulis seorang abdi dalem keraton. Manuskrip ini ditemukan di Banyumas.

Jika merujuk tlatah Banyumas, maka tidak bisa lepas dari jejak Kesultanan Pajang, Mataram, dan Kesultanan Solo. Manuskrip ini mengulas tentang Kisah Nabi dan Kosmologi Alam Semesta.

Kangmas Ajeungan Diaz mengatakan bahwa, manuskrip ini menggunakan bahasa sastra tingkat tinggi. Menurut dia, yang menulis merupakan sastrawan kelas berat.

Jika mengurut tahun penulisan yaitu 1880 M, maka Kesultanan Solo dipimpin oleh Raja Pakubuwana IX (1830-1893 M) yang berkuasa pada tahun 1861-1893 M. Apabila demikian, manuskrip tersebut selesai digarap pada masa kepemimpinan Pakubuwana IX. Lantas pertanyaannya, apakah pada masa Raja Pakubuwana IX kerajaan memiliki juru tulis keraton seperti Raden Ngabei Yasadipura maupun Raden Ngabei Ranggawarsita? Kalaupun memiliki juru tulis keraton, siapakah gerangan?

Sejauh ini saya mengetahui sekilas tentang sosok Raden Ngabehi Ranggawarsita. Selain sosok yang diakui memiliki kemampuan menulis dengan bahasa sastra yang istimewa, Raden Ngabei Ranggawarsita disebut juga sebagai santri mbeling. Bahkan, Raden Ngabei Ranggawarsita merupakan sosok pujangga besar yang terakhir di tanah Jawa. Akan tetapi, Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) hidup sebelum manuskrip Sangkalannya: Sileming Jaladri Bahning Sastra ditulis. Ada rentang waktu tujuh tahun dari wafatnya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan rampungnya manuskrip tersebut.

Lantas siapakah yang menulis manuskrip Sangkalannya: Sileming Jaladri Bahning Sastra? Mungkinkah Raden Ngabehi Ranggawarsita memiliki santri kinasih, yang diwarisi ilmu kapujanggan? Atau mungkin, manuskrip tersebut ditulis sendiri oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita, namun tahun penulisannya ditulis jauh setelah Raden Ngabehi Ranggawarsita wafat? Apakah demikian? Wallahu’alam.

Manuskrip ini menarik, karena membincang pengetahuan agamis. Bagaimanapun memang, Kesultanan Solo merupakan kesultanan dengan corak Islam, pecahan dari Kerajaan Mataram. Maka tidak menutup kemungkinan manuskripnya banyak berisi pengetahuan Islam dan ajaran-ajaran ruhani. Terlebih koneksi Mataram dengan Timur Tengah sudah dilakukan pada tahun 1641 M. Koneksi tersebut memberi ruang bagi jejaring ulama dari jalur kerajaan/ keraton dalam penyebaran Islam secara luas di Kerajaan Mataram.

Koneksi Mataram-Timur Tengah juga memberikan ruang bebas dan kesempatan dalam hal keilmuan, bahwa kitab-kitab berbahasa Arab Timur Tengah dialihbahasakan ke bahasa Jawa sekaligus disesuaikan dengan jiwa kebatinan orang Jawa.

Kategorisasi kajian

Manuskrip dan Jejaring Ulama Banyumas menjadi kajian dan ulasan yang bagi saya menarik. Sependek pemahaman, dan ini bisa berubah sesuai kajian, ada beberapa kategori secara umum tentang kajian jaringan ulama di Banyumas yang dapat diidentifikasi.

Sederhananya mungkin begini: Pertama, Islam sebelum berdirinya Banyumas. Kedua, Islam setelah berdirinya Banyumas. Ketiga, Islam Pasca Perang Jawa. Keempat, Islam Masa Perjuangan Kemerdekaan dan Islam Masa 5.0 (Abad Digital XX).

Tentu saja tidak berhenti di situ semata, ada jaringan ulama kiai Banyumas dari jalur pesantren, begitu juga dari jalur keraton, bahkan sangat mungkin dari jalur Timur Tengah yang bisa saja memiliki titik temu yang saling berkaitan. Hal tersebut belum sampai menyoal garis jalur dan lajur sisi keilmuan (nahwu, quran, fikih, tauhid dan lainnya) sekaligus garis jalur dan lajur dari sisi tarekat.

Misal begini, sebagai contoh, garis tarekat sama-sama pengikut Syattariyah, akan tetapi, apakah dari jalur Syekh Abdush Shomad, atau jalur Syaikh Abdul Muhyi, atau jalur Syaikh Nur Chakim.

Begitupun misal tarekat Syadziliyah, apakah dari lajur Syaikh Abdullah Kaliwungu, Kendal, atau dari lajur Syaikh Khadiq Weleri, Kendal. Dalam bidang Quran, misalnya, apakah dari jalur Syaikh Munawir Krapyak, ataupun dari jalur Syaikh Mahfud Tremas. Apakah dari lajur Mbah Arwani Kudus atau dari lajur Mbah Baedowi, Grobogan. Contoh tersebut sebagai gambaran jalur dan lajur, baik bidang keilmuan maupun dalam hal tarekat.

Besar harapan kajian sejarah keislaman lokal Banyumas, kajian tentang jaringan ulama di Banyumas semakin sering dilakukan, sekaligus sering dihembusbicarakan dalam forum-forum publik yang lebih santai.  Semua ini sebagai jalan keilmuan, jalan pengetahuan, sekaligus jalan pengabdian. Wallahu’alam bisshowab.

Baca juga:

Kontributor

  • Wahyu Choerul Cahyadi

    Mahasiswa Pascasarjana IAINU Kebumen, Ketua Tim Riset Manuskrip dan Jaringan Ulama Banyumas.