Artikel
Muasal Sabun; Bentuk Ketaatan pada Perintah Nabi
Baik rumah, hotel, masjid, pondok, kafe, dan di mana saja tempatnya, tidak akan terlewat dengan benda ajaib yang satu ini. Ia berbentuk padat, mengeluarkan semerbak wangi, licin saat terkena air dan berbuih jika digosok. Betul, umum orang menamainya sabun.
Sabun hadir membawa banyak manfaat kepada peradaban umat manusia, ia mampu membersihkan kotoran di pakaian, mengusir daki di tubuh dan kuasa melarutkan minyak di baju-baju berkeringat. Tapi tahukah cerita dari mana asal-muasal pembuatan sabun ini?
Sebagian orang membayangkan bahwa abad pertengahan itu identik dengan sesuatu yang kotor, menjijikan dan bau. Imaji-imaji tentang wajah kusam akibat debu dan selokan yang kumuh sudah kadung mengakar kuat di sudut pikiran mereka. Padahal, beberapa lompatan dan penemuan baru banyak diinisiasi pada masa-masa itu. Salah satunya pembuatan sabun itu sendiri.
Sabun merupakan produk kimiawi yang menjadi bukti puncak perdaban dan revolusi ilmiah dunia Islam. Tentu, ini bukan satu-satunya, karena pada masa yang sama pula mereka sudah mengenal tungku panas, di mana dengannya campuran pasir, timbal dan bahan lain remuk redam mengkristal jadi kaca.
Cendekiawan muslim, Jabir Ibn Hayyan (813 M) menulis tentang perbedaan asam dan basa, “Alkali adalah kata yang berasal dari القالي, dalam Bahasa Arab bermakna abu ilalang yang asin,yang menjadi sumber utama zat basa untuk komponen pembuatan sabun.” Tetapi apakah benar bapak ilmu kimia ini yang memprakarsai sabun paling awal.
Catatan sejarah terkait dokumen prosesi saponifikasi (penyabunan) ditemukan saat misi penggalian sisa reruntuhan prasasti kuno di Babilonia. Temuan ini berupa silinder tembikar yang digunakan untuk merebus minyak dan abu menjadi sabun. Perkiraan usia benda kuno ini berkisar 2500 SM.
Baca Juga
Dokumen ilmiah lain yang berumur kurang lebih 1500 SM juga berbicara banyak tentang pembuatan sabun yang diperoleh dengan cara menyampurkan lemak hewani, minyak ikan, minyak nabati—seperti minyak kelapa, minyak zaitun, kelapa sawit, keledai—dan garam. Produk yang dihasilkan biasa mereka fungsikan untuk mengobati penyakit kulit dan mencuci pakaian.
Selain itu, sebuah manuskrip yang baru ditemukan berkisar abad ketiga belas juga membahas tentang rincian metode pembuatan sabun hingga pemadatannya:
"Ambil sesuatu, campur kalium dan panaskan, tambahi sedikit jeruk nipis, bila sudah matang, tuangkan ke dalam cetakan dan biarkan hingga kering. Anda mendapatkan sabun padat."
Sebenarnya tak hanya jeruk nipis saja, saat ini penuangan minyak pengharum ke adonan sabun sudah makin bervariasi & berpanca ragam. Orang kimia menyebutnya minyak atsiri (esential oil), minyak ini mampu memberikan bau yang tahan lama dengan aroma yang khas, misalnya minyak sereh, minyak lemon, minyak mawar dan lain-lain.
Meskipun instrumen alat pembuatan sabun sudah lebih canggih dan maju ketimbang zaman dulu, tetapi konsep dan bahan yang dipakai masih tetap sama.
Berawal dari Perintah Nabi
Para cendekiawan muslim membuat sabun bukan tanpa alasan. Mereka paham betul bahwa kebersihan—baik bersih dhohir dan batin—itu mencerminkan nilai-nilai agamanya. Maka dari itu, umat muslim sangat menaruh perhatian besar dalam hal kebersihan.
Bagaimana tidak, setiap kali hendak menyantap makanan, mereka diperintahkan mencuci tangan terlebih dulu, mesti wudlu sebelum sholat lima waktu, dan disunnahkan mandi sebelum shalat Jumat. Lebih-lebih di masa pandemi seperti ini.
Sabun hanyalah satu dari sekian pranata untuk membersihkan diri secara dhohir. Lebih dari itu, Islam mencakup di segala lini, mulai dari kebersihan, perawatan hingga menata diri. Karena itulah kebersihan bukanlah sebuah kemewahan tetapi ia lebih tampil sebagai laku islami dengan nilai yang autentik dan universal.
Diriwayatkan dari Abu Malik al-Harits bin ‘Ashim al-Asy’ari ra, Rasulullah Saw bersabda: الطهور شطر الإيمان
“Bersuci itu sebagian dari iman.” ( HR. Muslim)
Senada dengan hadits di atas, pepatah arab juga berbunyi: النظافة من الايمان
“Kebersihan sebagian dari iman.”
Terinspirasi dari sunnah Nabi Muhammad Saw. seorang ahli bedah dari Kordoba, Al-Zahrawi berhasil menulis kitab sebanyak 19 jilid berjudul At-Tashrif. Buku ini memuat tema kedokteran dan kosmetik, sehingga tidak jarang buku ini juga dinamai At-Thib wa Al-Jamal (Pengobatan dan kecantikan).
Dalam buku itu, Al-Zahrawi menjelaskan tentang bagaimana merawat pakaian, kulit, menata rambut, membersihkan mulut dan memutihkan gigi.
Salah Persepsi Kulit Putih
Berjalannya waktu, sabun sebagai komoditas membikin periklanan produk sabun (luar negeri) semakin menjamur di media massa tanah air. Dan hal ini menjadi wajar apabila wacana yang dibangun luput dari konsep oposisi biner dan lepas dari kepentingan kolonialisasi.
Tapi yang tampak kebanyakan, para praktisi iklan dengan begitu vulgar mengusung managemen citra bahwa menjadi putihlah yang cantik, maka pada saat yang bersamaan menunjukan bahwa kulit coklat sawo matang ala perempuan Indonesia tidak lah cantik.
Berbagai macam gaya mereka pakai setelah senjata mereka tinggalkan, salah satunya dengan iklan sabun ini, untuk menyebarkan nilai-nilainya ke segala tempat, kebudayaan, dan pola kehidupan orang lain. Ini adalah agenda penjajahan yang samar dan subtil. Perempuan Indonesia dibentuk kesadaran kolektifnya dan didikte bahwa seolah-olah menjadi putih adalah puncak kecantikan.
Bagi Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Hipersemiotika (2003), pendekatan ini semacam praktik imperialisme dalam gaya. Nilai-nilai dan gaya-gaya yang diciptakannya, pada saat yang sama, sekaligus melecehkan dan bahkan menghancurkan nilai-nilai etnisitas, kelas, nasionalitas, agama, atau ideologi.
Agenda ini setali tiga uang dengan orang barat saat menduduki tanah jajahannya. Orang timur irasional dan terbelakang, tampil bak pahlawan dan dalaih mendidik, barat datang memperadabkanya. Kulit perempuan Indonesia coklat sawo matang dan eksotis, sabun (luar) membersihkannya (memutihkan).
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024