Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Nasehat Imam Syafi’i Kepada Muridnya Saat Berbeda Pendapat

Avatar photo
32
×

Nasehat Imam Syafi’i Kepada Muridnya Saat Berbeda Pendapat

Share this article

Hubungan antara
guru dan murid takkan terputus hingga mati. Hidup seorang murid bergantung pada
ilmu yang diperoleh dari guru. Jika seorang guru meninggal, para murid yang
akan melanjutkan estafet dalam menyampaikan ilmu. Begitupun seterusnya hingga
para murid menjadi guru. Dengan pola yang runtut semacam ini, ilmu yang
diajarkan akan senantiasa bermanfaat dan kelak pahalanya akan mengalir kepada
para guru.

Dikisahkan ada
seorang alim bernama Yunus bin Abdul A’la. Dia adalah salah seorang murid Imam
Syafi’i. Suatu ketika, Imam Syafi’i mengadakan majelis ilmu di salah satu
masjid yang dihadiri oleh beberapa muridnya. Yunus turut hadir dalam majelis
tersebut.

Dari pemaparan
sang guru, ada satu penjelasan yang tidak disetujuinya. Yunus lantas berdiri
dengan wajah marah lalu meninggalkan majelis dan pulang ke rumahnya.

Di malam harinya,
Yunus mendengar suara pintu rumahnya diketuk seseorang.

“Siapa?”

“Muhammad bin
Idris,” terdengar jawaban dari luar. Karena tak kunjung dibuka, terdengar suara
lagi dari luar, “Ini Syafi’i.”

Mendengar nama
itu, Yunus bergegas membuka pintu dan ia pun tergugup mendapati gurunya telah
berdiri di depan pintu.

Setelah masuk,
Imam Syafi’i memberikan nasehat kepada Yunus:

Yunus,
ratusan masalah menyatukan kita. Apakah hanya karena satu masalah, kita harus
berpisah? Janganlah engkau berupaya untuk selalu menang dalam setiap perdebatan.
Karena memenangkan hati lebih utama daripada memenangkan perdebatan. Jangan kau
hancurkan jembatan yang sudah kau bangun dan kau seberangi. Karena bisa jadi
engkau membutuhkannya untuk kembali suatu hari nanti
.”

Yunus tertunduk.
Imam Syafi’i melanjutkan nasehatnya dengan penuh kelembutan;

Upayakan
engkau selalu membenci kesalahan, bukan membenci pelakunya. Marahlah engkau
pada maksiat, tapi maafkan pelakunya. Kritiklah pendapat orang, namun tetap
hormatilah orangnya. Tugas kita dalam hidup ini adalah membunuh penyakit, bukan
membunuh orang yang sakit. Jika orang datang padamu untuk meminta maaf, berilah
maaf! Kalau engkau didatangi orang yang bingung, dengarkanlah keluhannnya! Jika
ada seseorang mendatangimu untuk meminta bantuan, berilah ia dari sebagian apa
yang diberikan Allah kepadamu! Bila ada yang datang menasehatimu,
berterimakasihlah padanya!

Setelah
memberikan nasehat tersebut, Imam Syafi’i bergegas meninggalkan rumah sang
murid. Yunus tidak menyangka, kejadian dalam majelis memberikan dampak luar
biasa pada sang guru sehingga harus mendatangi rumahnya.

Langkah-Langkah
Imam Syafi’i dalam Memberikan Nasehat

Selain sebagai
pendiri madzhab, Imam Syafi’i dikenal sebagai sosok yang mulia
akhlaknya. Maka tidak diragukan lagi pengikutnya demikian banyak, terutama di
kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia dan Bruney Darussalam. Kita
sebagai pengikut madzhab Syafi’i, bisa meneladani sosok Imam Syafi’i dari
langkah-langkahnya menasehati para muridnya;

Pertama, Imam Syafi’i tidak menegur Yunus sebagai
murid saat berada di majelis atas ketidaksukaannya akan pendapat sang guru. Hal
tersebut dilakukannya untuk menjaga wibawa si murid agar tidak jatuh di hapadan
murid-murid yang lain. Dimana di lain kesempatan, Imam Syafi’i pernah
menyampaikan; “Nasehati aku saat sendiri! Jangan di saat ramai dan banyak
saksi. Sebab nasehat di tengah khalayah, terasa hinaan yang membuat hatiku
pedih dan koyak. Maka maafkanlah jika hatiku berontak.”

Kedua, Imam Syafi’i mendatangi rumah Yunus untuk
memberinya nasehat. Dimana orang-orang di sekitarnya tidak akan mendengarkan
nasehat dari Imam Syafi’i terkait etika Yunus yang kurang tepat dilakukan oleh
seorang murid kepada guru dalam suatu majelis. Padahal, sebagai seorang santri,
kedudukan etika kepada guru jauh lebih tinggi dibandingkan ilmu.

Ketiga,  Isi
dari nasehat Imam Syafi’i membuat suasana hati Yunus menjadi adem. Karena dalam
membahas ilmu, pasti ada perbedaan dan perdebatan. Namun bagi Imam Syafi’i,
yang lebih indah daripada itu semua bukan memenangkan perdebatannya, namun
memenangkan hati lawan bicara. Karena kebahagiaan lawan bicara, barangkali
suatu saat akan menjadi jalan bagi dirinya saat sedang dilanda masalah.

Keempat, Imam Syafi’i seakan mengulangi pengajaran
kepada muridnya yang satu ini. Padahal Yunus adalah orang yang alim. Namun saat
terjadinya perselisihan, ia sedang lalai. Maka Imam Syafi’i menasehatinya
supaya memanusiakan manusia dalam memandang orang lain. Dimana setiap manusia
pasti punya kesalahan yang harus diluruskan dan tidak ingin senantiasa
disalahkan.

Wejangan-wejangan
seperti ini yang membuat Imam Syafi’i senantiasa hidup dalam hati para pengikutnya.
Langkah ini tidak muluk-muluk, namun memberikan kesan luar biasa kepada
murid-muridnya. Sehingga tradisi memuliakan orang lain –walaupun di bawahnya- membawa
dampak positif untuk dilanjutkan kepada generasi setelahnya.

Saya kira, tindakan Imam Syafi’i berdasar
pada keinginannya menjalankan sunnah qauliyah Rasulullah: “Bukanlah
termasuk golongan kami, mereka yang tidak mengasihi orang yang lebih muda dan
tidak menghormati orang yang lebih tua.”
Maka, dengan menjalankan
langkah-langkah menasehati ala Imam Syafi’i, sejatinya kita juga telah
melaksanakan sunnah Rasulullah dalam mengasihi mereka yang berada di bawah
kita. Baik umurnya, statusnya, jabatannya, ilmunya, dan masih banyak lagi.

Kontributor

  • Andi Luqmanul Qosim

    Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.