Artikel
Resepsi Pernikahan di Era Pandemi: antara Ushul Fikih dan Himbauan Pemerintah
Resepsi pernikahan merupakan kegiatan yang sudah umum diadakan setelah akad nikah dengan mengundang banyak orang dalam suatu perjamuan. Di Indonesia banyak sekali cara dalam mengadakan pesta pernikahan berdasarkan adat dan tradisi yang ada di setiap daerah. Islam sendiri mensyariatkan kepada umatnya untuk menyatakan atau mengumumkan bahwa akad nikah telah selesai dilaksanakan.
Hal itu bertujuan untuk menunjukkan bahwa pernikahan itu bukan pernikahan rahasia yang dilarang oleh agama Islam. Selain itu, pesta pernikahan juga untuk menunjukkan kebahagiaan serta rasa syukur atas terlaksananya ikatan yang sah sesuai dengan ajaran keagamaan.
Namun di masa pandemi Covid-19, pemerintah memberlakukan pembatasan untuk mengadakan acara yang melibatkan banyak orang termasuk pesta pernikahan.
Resepsi Pernikahan dalam Syari’at Islam
Pada dasarnya pelaksanaan pesta pernikahan (walimatul ‘ursy) merupakan wujud rasa syukur kepada karena telah dapat melaksanakan akad nikah. Selain itu, dengan adanya walimatul ‘ursy masyarakat menjadi tahu bahwa kedua mempelai telah resmi menjadi sepasang suami dan istri yang sah dimata hukum dan agama. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya preventif agar tidak terjadi fitnah di masyarakat.
Syekh Muhammad bin Qosim dalam kitab Fathul Qarib menerangkan bahwa: “Walimah pernikahan hukumnya disunnahkan. Yang dimaksud dalam hal ini ialah jamuan makan ketika pernikahan. Paling sedikit hidangan bagi orang mampu ialah seekor kambing, dan bagi yang kurang mampu, hidangannya apapun semampunya.”[1]
Resepsi Pernikahan; antara Ushul Fikih, Himbauan Pemerintah dan Teknologi
Walaupun sebagai bentuk rasa syukur dan pengumuman kepada khalayak atas terlaksananya suatu ikatan suci perkawinan, pesta pernikahan yang mengumpulkan orang dalam jumlah banyak di satu tempat, jika dilaksanakan di masa pandemi saat ini, beresiko tinggi untuk menjadi cluster penyebaran virus corona.
Pesta pernikahan yang mengumpulkan banyak orang di masa pandemi sebaiknya tidak dilaksanakan terlebih dahulu. Karena dapat memperburuk keadaan. Anjuran ketentuan hukum ini berdasarkan kaidah ushul fiqh:
“Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan.”[2]
Berdasarkan kaidah tersebut, yang dimaksud dengan kerusakan adalah pesta pernikahan yang menyebabkan kerumunan yang dapat meningkatkan angka penularan virus corona. Sedangkan kemaslahatan yang dimaksud adalah dengan melangsungkan pesta pernikahan maka informasi kepada khalayak ramai bahwa sudah terjadi ikatan suci antara kedua pengantin, sehingga dapat mencegah terjadinya fitnah.
Belum ada norma-norma yang mengatur secara spesifik terkait pelaksanaan pesta pernikahan di era pandemi. pada dasarnya tidak ada larangan formal untuk melakukan pesta pernikahan. Saat ini, pemerintah hanya menghimbau agar masyarakat membatasi kegiatan tersebut atau melaksanakannya dengan protokol kesehatan yang ketat.
Baca juga: Melihat Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani Sebagai Manusia bukan Legenda
Berdasarkan uraian di atas, pelaksanan pesta pernikahan yang mengumpulkan banyan orang dan berpotensi menyebabkan cluster baru disuatu tempat, baik menurut hukum Islam dan maupun himbauan pemerintah, sebaiknya tidak dilakukan. Hal ini dalam rangka pencegahan terhadap kerusakan yang ditimbulkan yaitu penyebaran covid 19.
Pesta perkawinan pada dasarnya sama-sama dalam rangka mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan pasca pernikahan, namun situasi saat ini ada yang lebih mendesak daripada itu. Baik menurut agama maupun negara, yang harus ada dalam pernikahan adalah akad nikah, yang didalamnya ada ijab dan Kabul. Sedangkan resepsi pernikahan tidak termasuk rukun dalam akad pernikahan. Sebab itu, ketiadan respsi pernikahan tidak menciderai keabsahan akad pernikahan.
Dalam situasi pandemi seperti saat ini, kita bisa menggunakan kecerdasan teknologi sebagai solusi alternatif. Artinya, informasi tentang peristiwa akad nikah dapat disebarluaskan melalui berbagama macam media sosial. Hal ini tentu tetap sejalan dengan tujuan awal dari resepsi pernikahan itu sendiri. Yang perlu disadari bersama adalah meskipun tidak ada larangan secara formal, jika resepsi pernikahan tetap dipaksakan untuk dilaksanakan, maka tentu harus dengan prosedur dan protokol kesehatan yang ketat.
[1] Muhammad bin Qosim, Fathul Qorib (Surabaya: Kharisma, 2000), hlm. 236
[2]Duski Ibrahim, Al - Qawa’id Al - Fiqhiyah (Kaidah - Kaidah Fiqih), (Palembang: CV. AMANAH, 2019), hlm. 84.
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024