Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sanad Keilmuan Sebagai Standar Orisinalitas Ajaran Agama Islam

Avatar photo
27
×

Sanad Keilmuan Sebagai Standar Orisinalitas Ajaran Agama Islam

Share this article

Dari semenjak zaman nabi Adam as. hingga sekarang belum ada sekelompok umat yang diberikan keistimewaan berupa sanad, nasab dan i’rab kecuali umat Islam. Sanad keilmuan merupakan “lisensi” bagi setiap muslim terutama pengajar agama Islam. Sesiapa yang ingin mengemban ajaran Islam, terlebih menyebarluaskannya, maka tidak ada istilah negoisasi dalam concern “memiliki” sanad.

Sanad keilmuan sudah menjadi harga mati–jika boleh dikatakan demikian. Jauh hari dikabarkan oleh Abdullah Ibnu al-Mubarak dalam Shahih Muslim (1/15), “Sanad itu bagian dari agama (Islam), kalau saja tanpa sanad, niscaya orang berbicara sekehendaknya.”

Di era digital sekarang, banyak pendakwah yang gemar menyebarkan ilmu tanpa memiliki lisensi atau anad yang jelas. Hal itu jelas sangat tidak menguntungkan di satu sisi dan begitu disayangkan di sisi lain. Tidak jarang, orang seperti itu kerap menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Ibarat seorang dokter yang belum memiliki lisensi pengobatan, namun ujug-ujug mengobati pasien. Alih-alih mengundang maslahat justru malah menimbulkan mafsadah.

Padahal jika kita kaji lebih dalam lagi, sanad keilmuan amat penting dimiliki setiap muslim dan tidak pantas untuk disepelekan. Bahkan Rasulullah Saw. sendiri tidak menyeru umat manusia kecuali setelah mendapatkan lisensi dari Allah Swt.

Surat al-Ahzab ayat 45-46 mengindikasikan bahwa sanad baik di dunia digital maupun dunia nyata menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari agama. Manakala sanad ilmu mengalami disrupsi, siap-siap agama bakal mengalami erosi.

Baca juga: Melacak Sanad Keilmuan NU dan Al-Azhar

Bersanad dan Orisinilitas Agama

Sebuah riwayat dari Ibnu Sirrin dalam kitab Sahih Muslim 1/14 menyebutkan, “Sesungguhnya ilmu ini merupakan agama, maka perhatikanlah, dari siapa kalian memperoleh agama kalian!”

Riwayat ini lebih suka saya sebut sebagai caveat. Tujuannya jelas, demi menjaga orisinilitas agama dari unsur-unsur hoaks juga sebagai filtrasi ajaran di luar Islam. Kita semua mengetahui bagaimana Imam Al-Bukhari dalam pengembaraannya mencari hadits, terkenal sangat berhati-hati dan verifikatif.

Suatu ketika Al-Bukhari dari jauh datang ingin mengambil sebuah sanad hadits kepada seseorang. Kebetulan seseorang itu sedang memberi makan hewan ternaknya. Namun ada satu adegan yang beliau saksikan dan membuatnya mengurungkan niat awalnya datang ke tempat itu.

Al-Bukhari tidak sengaja melihat dia menyodorkan sejumput rumput ke hewan ternaknya itu, namun manakala hewan ternak itu menghampiri, seketika tangannya ditarik kembali. Seolah-olah si pemiliki hewan ternak itu sedang menipu hewan ternaknya sendiri. “Sungguh engkau telah membohonginya,” ujar Al-Bukhari kepadanya. Beliau pun pergi meninggalkan orang tadi.

Alasan penolakan al-Bukhari bukan tanpa sebab. Suatu ketika Rasulullah Saw. melihat seorang perempuan ingin menangkap bayi mungilnya dengan cara menyodorkan kepadanya sebuah kurma. Manakala bayi berhasil ditangkap, perempuan itu sempat tidak memberikan kurma itu kepada si bayi. Seketika Rasulullah Saw. bersabda: “Jika engkau benar melakukannya, sungguh engkau telah berbohong.

Inilah yang disebut sebagai metodologi studi sanad ilmu. Kajian sanad ilmu atau Dirasat al-Asanid menjadi diktat kuliah wajib di Fakultas Ushuludin, Jurusan Ilmu Hadits Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir.

Dirasat al-Asanid adalah sebuah disiplin ilmu yang hanya dimiliki oleh umat Islam saja. Ilmu ini membahas, mengkaji seputar perawi-perawi sanad hadits yang tersambung ke Rasulullah Saw. dengan cara merujuk ke biografi setiap perawi. Semisal pertanyaan, apakah perawi ini memiliki kekuatan hafalan di atas rata-rata atau lemah? Apakah perawi ini memiliki karakter jujur dalam statemen dan perangainya? Dengan mengkajinya, kita mampu mengidentifikasi sejauh mana sebuah hadits itu dihukumi lemah atau sahih.

Dari dua adegan di atas, setidaknya kita mengamini bahwa demi menjaga orisinilitas sebuah agama, tidak ada cara lain kecuali dengan mengambil sanad ilmu dari orang-orang yang memiliki kapasitas kejujuran yang tinggi lagi sumbernya terpercaya (The authenticity of source).

Baca juga: Kewiraian Imam Abu Hanifah dan Pilihan Politik Kontroversial

Urgensi Kajian Sanad Kitab

Prof. Dr. Ali Jum’ah, Mufti Republik Arab Mesir dalam mukadimah kitabnya Al-Madkhal Ila Dirasat al-Mazahib al-Fiqhiyah menyebutkan bahwa ada suatu didiplin ilmu yang disebut sebagai Ilmu al-Isbat, yaitu adalah ilmu yang mengkaji tentang silsilah sanad keilmuan yang tersambung ke pengarang kitab. “Jika kita ingin membaca suatu kitab,” tulis beliau, “pertama kali yang mesti kita lakukan adalah memverifikasi bahwa kitab ini secara valid dinisbatkan kepada sang pengarang kitab dengan sanad yang tersambung.”

Di pesantren-pesantren tradisional Nusantara (Singapura, Indonesia, Malaysia dan Thailand), periwayatan sanad ilmu lewat mendengar pembacaan naskah kitab (as-sima’at)masih dilestarikan. Dan itu senafas dengan apa yang dikatakan Prof. Ali Jum’ah.

Teknis metode as-sima’at adalah seseorang yang telah belajar kitab kepada gurunya berkata: “Saya telah mendengarkan (kandungan) kitab ini dari Fulan, si Fulan berkata kepadaku bahwa beliau juga telah mendengarkannya dari gurunya pada tanggal sekian di tempat si Fulan.” Penyebutan siapa, kapan dan di mana semata-mata dibuat agar tidak ada kekeliruan, sebab boleh jadi terjadi kesamaan antar nama-nama guru, maka cara membedakannya dengan menyebutkan tanggal, tempat dan waktu tadi itu.  

Selanjutnya, masih kata beliau, dengan metode tradisional semacam ini permainan-permainan sanad buatan (pseudo sanad) akan tersingkap dengan sendirinya. (Al-Madkhal Ila Dirasat al-Mazahib al-Fiqhiyah, hlm. 12-13, Dar as-Salam, Kairo)

Penulis sangat setuju dengan wacana yang dipaparkan oleh Prof. Ali Jum’ah. Sebab dengan melestarikan tradisi periwayatan sanad keilmuan semacam ini, kita akan melihat dan mengetahui mana dai yang berbicara agama atas kepentingan agama, dan mana yang bukan.

Fenomena para dai yang lantang berbicara agama baik di layar kaca maupun dunia maya setidaknya menjadi bukti konkret bahwa sumber daya manusia Indonesia, terlebih tokoh agama dalam keadaan darurat sanad. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.

Kontributor

  • Ahmad Fauzan Azhima

    Achmad Fauzan Azhima, pemuda asal Banten. Mahasiswa Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Fakultas Ushuluddin. Dept. Teologi-Filsafat. Peminat kajian Filsafat, Teologi dan Teosofi. Pernah jadi anak bawang di SASC (Said Aqil Siradj Center) Mesir dalam kajian Historis Islam Klasik.