Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

“Miniatur Indonesia” Dalam Al-Qur’an

Avatar photo
31
×

“Miniatur Indonesia” Dalam Al-Qur’an

Share this article

Minggu-minggu ini saya sedang konsen meneliti dan menulis tentang

toleransi beragama. Potret ‘Indonesia Mini’ ini sebagian saya saksikan dan
peroleh datanya di kecamatan Kaloran, kabupaten Temanggung. Baik melalui pelaksanaan
kegiatan keagamaan yang dilaksanakan semua pemeluk agama, instansi pendidikan
Islam yang menerima siswa Budha, jilbab yang digunakan wanita non-muslim dan
lain sebagainya.

 Ahmad Syarif Yahya dalam bukunya ‘Ngaji
Toleransi’ menyebut masyarakat Kaloran sudah lama memiliki seni keindahan hidup
laksana pelangi. Keberagamannya berasal dari perbedaan keyakinan. Bukan ras
atau bahasa, karena semuanya adalah suku Jawa yang berkulit sawo matang. Data
pada 2017, penduduk Kaloran yang mayoritas Islam berjumlah 36.563 jiwa, disusul
umat Budha 7897 jiwa, Kristen Protestan berjumlah 892 jiwa dan Katolik
berjumlah 775 jiwa. Mereka hidup rukun, sakinah (damai), mawaddah (saling
menyayangi) dan rahmah (tentram).[1]

Dalam Islam,
toleransi tidak dibenarkan jika diterapkan pada ranah teologis. Ada batas-batas
yang jelas antara muslim dan non-muslim, yaitu aktifitas religiusitas dan
spiritualitas. Praktik dalam ranah ini yang dulu pernah ditawarkan Walid bin
Mughirah bersama koleganya supaya Nabi menyembah Tuhan mereka selama satu
tahun, dan sebaliknya mereka akan menyembah Allah selama satu tahun. Kisah ini
yang menjadi sebab turunnya surat Al-Kafirun.

Al-Qur’an adalah
kitab petunjuk bagi umat Islam dalam menjalankan interaksi sosial. Nabi pernah
memulai model sistem toleransi bernegara dengan mengundang pembesar Yahudi
untuk bermusyawarah dan menghasilkan Piagam Madinah. Sebuah hasil musyawarah
mufakat yang oleh pengamat modern dicatat sebagai teks klasik yang mengandung
pemikiran canggih dalam mengatasi pluralisme dalam sebuah negara.

Model berinteraksi
dalam wadah plurasime telah diterapkan di dalam seni kehidupan masyarakat
Kaloran. Sebagaimana yang Nabi contohkan, membangun masyarakat bukan dengan
merobohkan tatanan yang sudah ada, namun mendialogkan perbedaan dan
permasalahan antar umat beragama sehingga mengikis perselisihan. Toh umat Islam
tetap berpegang teguh pada keyakinan dengan shalat, membaca Al-Qur’an,
mendengarkan ceramah pengajian, dsb.

Salah satu bentuk
toleransi yang dilakukan umat Islam adalah menghindari kata ‘kafir’ saat
berkumpul dengan umat non-muslim. Sungguh kata ini menyakiti hati mereka.
Walaupun sebenarnya penyebutan itu benar dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an,
namun penyebutan kata tersebut tidak tepat tempat dan waktunya. Kata itu akan
elegan disampaikan para dai dihadapan umat Islam yang sedang mengikuti pengajian
maupun tabligh akbar. Namun kata itu akan terasa ‘sesak’ di hati non-muslim
saat disampaikan di pengajian yang pendengarnya plural seperti di desa Getas,
Kaloran.[2]

Maka kesadaran terhadap
Indonesia yang plural harus ditanamkan di berbagai lini masyarakat. Bukan
sekedar pemahaman, namun praktek dalam keseharian ketika menjumpai perbedaan
dalam keyakinan, suku, ras, budaya dan bahasa. Hal ini demi menjaga
keseimbangan hidup. Dimana masyarakat Indonesia telah lama hidup dan eksis dari
keberagaman.

 

Rute Al-Qur’an bagi
Seorang Muslim dalam Bertoleransi

Selain memiliki
pendirian yang kokoh dalam berakidah, seorang muslim harus memiliki etika yang
baik kepada sesama muslim maupun non-muslim. Dalam berakidah, seorang muslim harus
totalitas dalam meyakini kebenaran ajaran agamanya. Hanya agamanyalah yang
benar. Akan tetapi dalam bertoleransi, tidak diperkenankan menyebutkan agama
lain salah di hadapan penganutnya. Islam mengajarkan untuk santun kepada mereka
dengan mengatakan: “Untukmu agamamu”.

Al-Qur’an telah
memberikan garis-garis bagi seorang muslim dalam menjalani kehidupannya supaya
tidak tercampur-aduk keyakinannya dengan toleransi yang kebablasan. Hal
tersebut demi mencapai tujuan utama yaitu terciptanya masyarakat heterogen yang
harmonis. Maka dibutuhkan toleransi yang bersumber dari ayat Al-Qur’an yang
memiliki nilai dan ajaran Islam,[3]
di antaranya;

Pertama, Surat Al-Kafirun ayat 1-6. Ayat-ayat
ini menegaskan kepada umat Islam untuk bertanggungjawab terhadap keyakinan dan
perbuatannya masing-masing. Dalam ayat terakhir yang berbunyi “bagimu
agamamu dan bagiku agamaku
” menandakan bahwa masalah akidah adalah
tanggungjawab personal. Perbedaan dalam keyakinan bukan untuk saling
menjatuhkan, akan tetapi perbedaan bisa dijadikan ajang untuk menumbuhkan rasa
hormat tanpa harus mengikuti atau mencampuradukkan dari nilai-nilai dan ajaran
masing-masing.

Kedua, Surat al-Baqarah ayat 256 dan Surat Yunus
ayat 99
. Kedua ayat ini berisi tentang larangan melakukan paksaan dalam
menganut agama. Artinya, Islam memberikan kebebasan dalam memilih dan
menjalankan keyakinan tanpa adanya paksaan. Karena kehendak, ketetapan dan
hidayah (petunjuk) merupakan hak priogratif Allah sebagai yang Maha Kuasa dan Maha
Berkehendak. Pemaksaan akan menimbulkan kesan intoleransi antarumat beragama.
Sebaliknya, toleransi yang sejalan dengan Al-Qur’an yang berdasarkan nilai-nilai,
ajaran Islam dan takwa kepada Allah akan menciptakan perdamaian antarumat
beragama.

Ketiga, Surat Al-An’am ayat 108 dan Surat
Al-‘Ankabut ayat 46
. Kedua ayat ini mengajarkan umat Islam sebagai langkah
konkrit dalam bertoleransi yaitu supaya saling menghormati dan menghargai
keyakinan. Melalui surat Al-An’am ayat 108, Allah melarang memaki dan mencela
sesembahan non-muslim karena akan berakibat saling melontarkan hina dan terjadi
perpecahan antarumat beagama. Larangan ini merupakan bentuk pendidikan
toleransi yang diharapkan untuk dilaksanakan dan dijiwai setiap manusia dalam
berinteraksi sosial antarumat beragama.

Kemudian turunnya
surat Al-‘Ankabut ayat 46 untuk membenarkan seluruh kitab samawi yang
diturunkan; Taurat, Zabur dan Injil yang diimani kaum Nasrani dan Yahudi.
Membenarkan dalam artian menghormati dan menghargai keyakinan yang mereka anut
dengan batasan bahwa kitab-kitab tersebut merupakan firman Allah yang
diturunkan sebelum nabi Muhammad namun telah dihapus hukum dan syariatnya saat
Al-Qur’an diturunkan .

Keempat, Surat As-Syura ayat 15 dan Surat
Al-Mumtahanah ayat 7-9
. Ayat-ayat ini mengajarkan umat Islam untuk
senantiasa berbuat adil dan baik kepada sesama manusia. Surat pertama berisi
tentang anjuran untuk bersikap adil di antara umat manusia walaupun berbeda
agamanya. Namun dengan mengedepankan kebenaran dan keadilan dalam menetapkan
keputusan.

Adapun dalam
surat Al-Mumtahanah ayat 7-9, Allah mempersilahkan umat Islam untuk berlaku
adil dan baik terhadap non-muslim selama mereka tidak memerangi jalan Allah dan
mengusir orang-orang muslim dari kampung halamannya. Karena peperangan di
kampung damai dan pengusiran terhadap penduduk yang telah bermukim lama
merupakan bentuk kedhaliman.

Dengan
dasar-dasar ini, umat Islam Indonesia hendaknya bisa menjalin interaksi di
berbagai level kehidupan masyarakat. Dimana Al-Qur’an telah memberikan
rambu-rambu dalam menjalani kehidupan yang beragam.

Tidak dipungkiri
bahwa menyikapi pluralitas tidak semudah membalikkan kedua tangan. Karena
setiap masalah yang datang, sewaktu-waktu bisa menjadi ‘bom atom’ apalagi
dikaitkan dengan isu keagamaan. Mungkin kita bisa berguru pada masyarakat Islam
Kaloran yang telah bergumul dengan semua itu. Mereka mampu memberikan contoh
yang baik bagi kita dalam mengharmonisasikan ‘Indonesia Mini’ di kecamatan
Kaloran, kabupaten Temanggung. Wallâhu A’lam.

 


[1]
Ahmad Syarif Yahya, Ngaji
Toleransi
, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2017, Hlm. XIII – XIV

[3] Muhammad Rifqi Fachrian, Toleransi
Antarumat Beragama Dalam Al-Qur’an (Telaah Konsep Pendidikan Islam)
, Depok:
RajaGrafindo Persada, 2018, Hlm. 88-92

Kontributor

  • Andi Luqmanul Qosim

    Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.