Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Memahami “Tiflu Al-Ma’ani” Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam Sirr Al-Asrar

Avatar photo
49
×

Memahami “Tiflu Al-Ma’ani” Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam Sirr Al-Asrar

Share this article

Dalam beberapa bulan terakhir, saya
mengaji kitab Sirr Al-Asrar karya Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani bersama
seorang kerabat. Kitab ini dianggap sebagai kitab paling filosofis dalam warisan
Al-Jilani. Tak mudah untuk menyelami istilah-istilah yang ada di dalamnya; kami
terkadang harus berdebat hebat untuk mengungkap maksud di balik sebuah istilah.

Awalnya, saya berpikir bahwa karya
Al-Jilani tak ada yang serumit ini. Sebab buku pertama yang ada di tangan saya
adalah kumpulan ceramah Al-Jilani: Al-Fathu Ar-Rabbani wa Al-Faidu
Ar-Rahmani.
Di sini, saya semakin membenarkan paradigma bahwa tasawuf amali
dengan nazari sebenarnya tak pernah benar-benar bisa dipisahkan. Al-Jilani yang
digambarkan sebagai sosok paling kukuh dari deretan kaum sufi amali juga bisa
mengajukan teori-teori rumit ala kaum sufi falsafi.

Buku ini tidak begitu tebal namun
memuat rincian tasawuf sunni dengan cukup detail. Seperti talqin zikir yang
menjadi ciri khas tasawuf sunni untuk menyingkap tabir ketuhanan. Sementara
“tifl ma’ani” adalah mahkotanya.

Deskripsi Tifl Al-Ma’ani

Tifl ma’ani sendiri berasal dari dua
kata “tifl” berarti bocah, dan “ma’ani” berarti makna-makna. Makna yang masih
bocah, itu yang dimaksud. Sehingga tifl ma’ani diilustrasikan oleh Al-Jilani
sebagai:

1. Kelahirannya dalam hati sama dengan
kelahiran seorang bayi dari ibunya. Ia kemudian dirawat hingga menjadi dewasa
.

2. Mengajarkan ilmu di masa kecil adalah
prioritas, maka ma’rifah sufiyah (pengetahuan intuitif) juga
diprioritaskan
.

3. Sebagaimana anak kecil yang masih
suci dari dosa demikian pula “tifl ma’ani” suci dari syirik, lalai dan
penghalang jasmani
.

4. Penggambarannya dalam ruh seperti
“bocah” sebagaimana permunculan malaikat dalam bentuk bocah polos dalam mimpi
seseorang
.

 5. Allah menggambarkan wildan di surga
sebagai anak-anak kecil yang siap melayani penduduk surga
.

6. Nama ini dipilih karena atas dasar
majaz karena mempertimbangkan relasinya dengan jasad manusia. “Bocah” dijadikan
pasangan makna abstrak karena keindahan dan keluguannya, bukan karena fisiknya
yang kecil. “Bocah” merupakan refleksi “manusia sejati” karena kenyamanannya
‘bersama’ Allah, seperti bocah yang nyaman dalam dekapan ibunya.    

Tifl Al-Ma’ani Sebagai Hakikat Manusia

Manusia, sebagaimana tersusun dari
jasad dan ruh, memiliki isensi yang harus direngkuh kembali berupa “tifl
al-ma’ani”. Tifl al-ma’ani, dalam pandangan Al-Jilani, adalah hakikat manusia
itu sendiri. Ia disebut pula dengan lubb al-qalbi (inti hati), tanah air
manusia yang terkadang disebut pula dengan “ruh al-qudsi”. Jalan taubat, talqin
zikir di hadapan syeikh, melanggengkan zikir merupakan upaya kembali ke tanah
air (al-watan) tercinta.

Saat manusia dilahirkan ke dunia, dia terasing
sekaligus kehilangan identitas dan hakikatnya. Tifl al-ma’ani terhalangi oleh al-kadarat
(kekeruhan) jiwa, disebabkan oleh keterikatan duniawi: banyak makan, minum,
bicara, tidur, dominasi keinginan untuk mengumpulkan kekayaan, kekuasaan, berhubungan
seks, kecintaan berlebih pada anak dan keluarga. Semua ini, dalam perspektif
Al-Jilani, menjadi hal-hal yang dapat mengeruhkan ruh (jiwa) meski memang
dihalalkan. Kenikmatan dunia meski diperbolehkan bisa mengeruhkan hati dan jiwa,
menurut mayoritas kaum sufi.

Posisi Tifl Al-Ma’ani

Tifl al-ma’ani berada di alam lahut,
alam qurbah atau alam sirr dalam penyebutan Al-Jilani.
Istilah-istilah ini berbeda secara etimologis namun memiliki kesamaan maksud. Lahut
antonim dari nasut (manusia), mulki (alam yang bisa diindera),
 jabarut
(alam antara), malakut (alam
yang tak bisa diindera, seperti malaikat). Mula-mula Allah menciptakan
ruh Nabi Muhammad Saw dari nur (cahaya) KeindahanNya. Lantas menciptakan
ruh-ruh lainnya di alam lahut dalam bentuk terbaik dan hakiki (fi
ahsani taqwim).
Kemudian semua diturunkan ke alam jabarut, lantas ke
alam malakut, hingga akhirnya ke alam mulki dan diciptakanlah jasad
sebagai wadah ruh manusia.

Saat ruh menempat dalam jasmani
manusia, ia melupakan perjanjian di alam lahut; tatkala Allah meminta
perjanjian dengan ruh-ruh “tidakkah Aku adalah Tuhan kalian?” mereka menjawab
“iya” (QS. Al-A’raf: 172). Maka Allah melemparkan mereka ke asfal as-safilin
(tempat terendah-dunia). Tugas para nabi dan para wali adalah mengajak dan
membimbing manusia untuk kembali merengkuh tifl al-ma’ani di alam lahut,
kembali menuju al-watan (tanah air). Namun sayangnya, kata Al-Jilani,
sedikit sekali yang mau diajak kembali, sedikit sekali yang merindukan tanah
airnya.

Al-Jilani mengutip ucapan Nabi Isa as
“manusia tak akan bisa menembus alam malakut [dan setelahnya, lahut]
kecuali telah mengalami dua kali kelahiran seperti burung yang mengalami dua
kali kelahiran.” Kelahiran kedua yang dimaksud adalah tifl al-ma’ani, yang
dilahirkan dari persetubuhan ilmu syariat dan ilmu hakekat. Burung mengalami
kelahiran dua kali: lahir dalam bentuk telur kemudian menetas. Manusia yang
belum merengkuh tifl al-ma’ani seperti anak burung yang belum menetas.

Bisa dipahami baha proses bertasawuf,
dalam konsep Al-Jilani, adalah taraqqi (jalan menanjak) dari alam mulki
ke malakut ke jabarut dan terakhir ke lahut. Proses
ini hanya bisa dilalui dengan jalan talqin zikir pada seorang syeikh yang sudah
sampai di alam lahut, bertobat, melanggengkan (mulazamah) zikir
hingga bisa menembus alam-alam yang telah disebutkan setelah hati dan ruhnya
hidup kembali dari kelalaian.

Di sini titik terpenting konsep
tasawuf yang ditawarkan Sultan Al-Awliya dan semua kaum sufi kalangan Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah. Bahwa bertasawuf tak cukup dengan jalan kontemplasi-refleksi
seperti dikenal dalam irfan Syiah atau jalan isyraq (iluminasi). Sebagaimana
sebuah alamat tak bisa dicapai kecuali dengan petunjuk seseorang atau peta
demikian pula suluk kaum sufi mengharuskan adanya mursyid yang mendapat
legitimasi dari para mursyid sebelumnya.        

Persaksian Tifl Al-Ma’ani

Alam Lahut, dalam deskripsi
Al-Jilani, adalah alam sirr (rahasia); tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Allah; seperti gurun sahara yang diselimuti oleh cahaya tanpa batas. Di
sana, tifl al-ma’ani selayaknya burung yang terbang menikmati
keajabaian-keajaiban dan keunikan-keunikan yang tak bisa diceritakan. Semua
alam yang telah disebutkan setara dengan setetes air jika dibandingkan dengan
alam lahut.

Ruh manusia yang telah merengkuh tifl
al-ma’ani disebut dengan “maqam al-muwahhidin” dalam hierarki maqamat kesufian
Al-Jilani. Tak ada yang disaksikan kecuali nur (cahaya) Keindahan Allah. Saat
itu manusia berada dalam ekstas kesufian (fana), mahwiyah (keterhapusan)
diri, hairah (merasakan batas kesadaran eksistensialnya) dihadapan nur
al-jamal
(cahaya Keindahan Allah).

“Saat manusia sampai pada maksudnya
(tifl al-ma’ani), akal tunduk merugi (karena tak sanggup memahami), hati
menjadi bingung, lisan pun kelu tak sanggup berucap, karena Allah Maha Suci
dari segenap keserupaan.” Tutup Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Jadi, tifl al-ma’ani merupakan
metafora yang dipakai Al-Jilani untuk mengungkapkan puncak penacapaian seorang
salik sekaligus penyingkapan batin seorang sufi. Metafora sering dipakai kaum
sufi untuk mengungkap sebuah pengalaman yang tak terbahasakan. Namun, ia tak
bisa dipahami sebagai permainan kata belaka karena disandarkan pada pengalaman
intuitif sejati.

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya