Dalam ilmu fiqih, musik masuk dalam persoalan khilafiyyah. Bukan persoalan aqidah. Maka, tidak layak seorang muslim memfasikkan muslim lain hanya karena berbeda pendapat mengenai hal ini.
Ulama berbeda pendapat mengenai musik. Ada yang membolehkan, ada pula yang melarang.
Seseorang boleh ikut kepada pendapat ulama yang membolehkannya, dan juga kepada ulama yang mengharamkannya. Namun, lebih dari itu jangan sampai karena adanya perbedaan pendapat di sini malah menghancurkan persatuan umat Islam.
Di antara ulama yang memperbolehkan musik ialah Imam Ghazali Ra beliau berkata, “Senda gurau merupakan obat hati dari penyakit, sudah sewajarnya jika hal tersebut menjadi perkara yang mubah (boleh), akan tetapi tidak boleh memperolehnya secara banyak, sebagaimana seseorang yang tidak diperbolehkan mengonsumsi obat terlalu banyak.”
Imam Ghazali juga bertutur, “Sesungguhnya alat musik yang digunakan bangsa Arab dan dimainkan oleh sekelompok golongan yang suka mabuk atau alat musik yang bersuara sengau yaitu seruling, pita suara dan gendang merupakan alat-alat yang dilarang oleh syariat. Dan selain itu, maka akan tetap pada hukum asalnya yaitu boleh.”
Sebagian ulama melihat bahwa dalam sebuah lagu dan mendengarkannya mengandung pelajaran tersendiri bagi siapa yang memahami isyarat dan mampu membangkitkan ruhnya, salah satunya ialah Imam Qodhi Iyadh, beliau pernah ditanya tentang hukum mendengarkan music, beliau menjawab,
ظاهره فتنة وباطنه عبرة فمن عرف الإشارة حل له استماع العبرة
“Secara dzohir (jelasnya) adalah fitnah, sedangkan secara batin adalah pelajaran. Barangsiapa yang mengetahui isyarah (petunjuk), maka dia akan menghalalkan mendengarkan pelajaran.”
Sulthan Ulama, yaitu Imam Izz bin Abdus Salam menyatakan bahwa lagu yang dibawakan dengan alat musik ataupun tidak merupakan jalan dalam memperbaiki hati, beliau berkata, “Metode untuk memulihkan hati agar kembali sehat adalah dengan perkara luar. Yaitu dengan Al-Qur’an karena itu sebaik-baiknya kalam yang didengarkan. Setelah itu dengan nasihat dan peringatan, kemudian dengan nasyid yang dilantunkan secara tenang, dan juga dengan lagu yang dibawakan diiringi oleh alat musik lainnya.”
Imam Syaukani menukil dari kitab Nailul Author tentang perkataan-perkataan ulama yang mengharamkan dan membolehkan dalam masalah mendengarkan lagu. Kedua belah pihak memiliki argumennya masing-masing. Di antaranya adalah hadist Nabi,
كل لهو يلهو بها المؤمن فهو باطل إلا ثلاثة ملاعبة الرجل أهله وتأديبه فرسه ورميه عن قوسه (رواه أحمد في مسنده)
“Setiap segala sesuatu yang menjadikan seorang mu’min bersenda gurau maka hal tersebut adalah batil kecuali 3 perkara, yaitu bermainnya seorang lelaki dengan keluarganya (isterinya), mendidik kuda berperangnya, dan melemparkan anak panah dari busurnya.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya)
Kalimat bathil di atas, tidak menunjukan atas pengharaman perkara tersebut akan tetapi hanya menunjukan ketiadaan manfaat dari apa yang dikerjakan. Imam Syaukani bertanggapan bahwa jawaban tersebut adalah benar, kemudian beliau melanjutkan bahwa hal yang tidak bermanfaat termasuk dari kategori perkara yang mubah (boleh), bukan haram.
Beliau juga mengambil landasan dalil tentang riwayat seorang perempuan yang bernadzar di hadapan Rasulullah Shallahu Alaihi Wasaallam untuk bernyanyi dan memukul rebana jika Allah mengembalikan NabiNya pulang dalam keadaan selamat dari peperangan yang akan dihadapi oleh Rasul dan para sahabat, kemudian Rasul mengizinkan perempuan tersebut.
Dan ketika Rasul kembali dengan keadaan sehat wal afiat, perempuan tersebutpun langsung melakukan apa yang telah dinadzarkan sebelumnya, tentunya hal ini dengan persetujuan Rasulullah Shallahu Alaihi Wasaallam. Oleh karena itu, riwayat ini menjadi argument atas kebolehannya memperdengarkan musik, karena jika memang musik itu haram, maka sudah pasti Rasulullah Shallahu Alaihi Wasaallam melarang wanita tersebut.
Ringkasan dari pengetahuan yang telah dipaparkan di atas ialah, Lagu akan berubah hukum menjadi haram apabila diiringi dengan perkataan kotor, keji, tidak terpuji dan semua hal yang merujuk kepada maksiat. Dan akan berubah menjadi boleh ketika di dalamnya terdapat unsur pujian kepada Allah dan Rasul-Nya, atau dilakukan demi meramaikan acara-acara yang diperbolehkan secara syariat seperti hari pernikahan dll, dengan syarat yang menyanyi bukanlah wanita jika tercampurnya antara pria dan wanita di acara tersebut.
Adapun bernyanyi sembari diiringi musik, terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Namun, ketika alat musik yang dimainkan adalah alat yang secara sepakat telah diharamkan oleh syariat, maka hukumnya akan haram.
Wallahu A’lam bis Showab…