وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ
يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ
“Perangilah
di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian dan jangan berlebih-lebihan.
Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)
Jihad bukanlah istilah baru dalam kamus
Islam. Sejak 14 abad yang lalu Al-Quran dan Hadis telah menyebut kata jihad
tidak hanya sekali dua kali, akan tetapi berkali-kali. Jihad merupakan salah
satu pilar dan dasar syariat Islam, hanya saja pengertian dan pemahaman tentang
jihad kerap disalahartikan dan disalahgunakan oleh sebagian kelompok/pemeluk
Islam.
Mereka mempersempit makna jihad dan
mengartikan jihad hanyalah perang, membawa senjata, dan membunuh. Mereka juga
tidak memahami tata cara dan ketentuan-ketentuan jihad dalam Islam.
Menghancurkan tempat ibadah, membunuh siapa saja, mereka anggap sebuah ibadah
yang berpahala.
Pemahaman seperti ini sangat berbahaya dan
mengancam keamanan dan kenyamanan kehidupan berbangsa dan beragama, sehingga
persepsi tentang jihad perlu diluruskan dan dijelaskan sesuai dengan yang
dikehendaki Allah (Al-Quran) dan Rasulullah (Hadis).
Dalam bahasa Arab, jihad tercetak dari tiga
huruf yaitu Jim, Ha’, Dal yang terangkai menjadi kata Juhdun, Jahdun
atau Jahada yang berarti daya, upaya, sungguh-sungguh, dan kesulitan.[1]
Jika kata Juhdun atau Jahada ditelusuri lebih dalam, maka akan
muncul setidaknya 3 kata turunan yaitu Jihad (fisik), Ijtihad (pemikiran/nalar),
Mujahadah (jiwa/batin) yang seluruhnya berarti sungguh-sungguh. Segala
sesuatu yang dilakukan secara sungguh-sungguh akan bermakna jihad.
Secara terminologi jihad adalah mengerahkan
segenap usaha untuk memerangi orang-orang kafir dan murtad yang menyerang dan
memerangi Islam, juga pemberontak kepada pemerintahan yang sah.[2]
Seorang ulama besar bergelar al-Imam
yaitu Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan secara luas dan detail tentang makna
jihad. Penulis kitab Fathul Bari itu menegaskan, jihad tidak hanya
sebatas memerangi orang-orang yang disebutkan pada definisi jihad di atas,
namun jihad juga berarti usaha kita memerangi hawa nafsu, setan, dan juga
orang-orang pelaku dosa. Memerangi hawa nafsu dengan cara mempelajari ilmu-ilmu
syariat Islam dan mempraktekkannya. Melawan setan dengan menolak ajakan dan
rayuan yang mengajak pada pemuasan syahwat. Jihad kepada orang-orang pelaku
dosa dengan amar makruf nahi mungkar.[3] Jihad dalam kacamata ahli hadis
tersebut bermakna sangat luas. Lalu bagaimana Al-Quran dan Hadis menggunakan
istilah jihad?
Maulana Abul Kalam Azad menulis satu bab
khusus tentang jihad yang ia namai Jihad Difa’an ‘an al-Islam, jihad
sebagai pembela Islam. Sarjana Islam keturunan Afghanistan itu merinci makna
jihad perspektif Al-Quran dan Hadis. Dalam Al-Quran jihad tidak selalu berarti
perang, berbeda dengan Qital yang selalu diartikan perang. Jihad,
menurutnya, tidak terbatasi waktu dan kondisi tertentu karena maknanya sangat
luas. Surat Al-Furqan ayat 52 menyebut term jihad namun bukan bermakna perang.
فَلَا تُطِعِ ٱلۡكَٰفِرِينَ
وَجَٰهِدۡهُم بِهِۦ جِهَادًا كَبِيرًا
“Jangan patuhi orang-orang kafir dan jihadlah melawan mereka (dengan Al-Quran) dengan jihad
yang sungguh-sungguh.”
Al-Furqan merupakan surat makkiyah, surat yang turun sebelum
Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Jamak diketahui bahwa peperangan dalam Islam
terjadi pasca Rasulullah saw. meninggalkan kota Mekkah. Makna jihad pada ayat
tersebut adalah konsisten dalam ajaran Islam dan sabar terhadap siksaan dan
gangguan orang-orang kafir.[4] Ibnu Jarir at-Tabari salah satu penulis kitab
tafsir klasik memaknai jihad para ayat tersebut dengan mendakwahkan Islam dan
mengajarkan Al-Quran.[5]
Perspektif hadis, jihad juga tidak hanya bermakna perang. Ada
beberapa hadis yang membahasakan jihad dengan beragam makna, di antaranya:
nasehat, haji dan umrah, serta berbakti kepada kedua orang tua. Maulana Abul
Kalam Azad juga mengurai hadis-hadis jihad yang memiliki beragam makna dalam
bukunya tersebut, antara lain:
كَلِمَةُ حَقٍّ
عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Kebenaran atau nasehat yang disampaikan di hadapan pemimpin
yang zalim.” (HR. An-Nasai dari Thariq bin Syihab ra).
Hadis di atas merupakan jawaban Rasulullah saw. saat ditanya oleh salah
seorang sahabat tentang jihad apa yang paling utama? Nabi menjawab, “Kebenaran
yang disampaikan kepada pemimpin yang zalim.” Jihad dalam hadis tersebut
bermakna nasehat, saran, dan masukan untuk pemimpin.
Rasulullah saw. pernah ditanya perihal jihad oleh salah satu istri
beliau yaitu Aisyah r.a. Putri Abu Bakar As-Siddiq itu bertanya, apakah
perempuan juga berjihad? Nabi menjawab,
نَعَمْ، جِهَادٌ
لَا قِتَالَ فِيهِ، الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
“Ya, perempuan juga berjihad tapi bukan berperang. Jihad
perempuan dengan menunaikan ibadah haji dan umrah.” (HR. Abu Dawud
dari Aisyah ra).
Di lain waktu lagi-lagi Rasulullah saw. didatangi salah seorang sahabat
yang bertanya dan meminta izin ikut serta pada suatu peperangan.
فَقَالَ:
«أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟»، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
“Lalu Rasulullah saw. bertanya, apakah masih hidup kedua orang
tuanya? Dia menjawab, kedua orang tuanya masih hidup. Rasulullah saw. memerintahkannya
pulang, berjihadlah merawat kedua orang tuamu.” (HR. Bukhari
dari Abdullah bin Amr ra).
Hadis di atas dengan jelas menegaskan bahwa merawat kedua orang tua,
terlebih yang sudah papa dan berusia sepuh dibahasakan Rasulullah ﷺ sebagai jihad.
Dalam hadis-hadis lain, Rasulullah saw. menyetarakan
kebaikan menyantuni janda, orang-orang miskin dan semangat bekerja untuk
mencukupi kebutuhan keluarga dengan jihad fi sabilillah.
السَّاعِي
عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالمِسْكِينِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ
القَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ
“Orang yang gemar
mencukupi kehidupan para janda dan orang-orang miskin seperti orang yang sedang
jihad di jalan Allah atau seperti orang yang beribadah di malam hari dan puasa
di siang hari.” (HR. Bukhari dari Abu
Hurairah ra).
عَنْ كَعْبِ
بْنِ عُجْرَة، قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
جِلْدِهِ وَنَشَاطِهِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ: لَوْ كَانَ هَذَا فِي
سَبِيلِ اللهِ؟، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ
كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ
كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ
اللهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ،
وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ.
“Ada seseorang berjalan
melalui tempat Rasulullah saw. Orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan semangat.
Lalu Para Sahabat berkata, Wahai Rasul, andaikan dia bekerja seperti itu bisa
digolongkan fi sabilillah (di jalan Allah). Lalu Rasulullah bersabda, “Jika ia
bekerja untuk mengidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu adalah fi sabilillah.
Jika ia bekerja untuk mencukupi kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah berusia
lanjut, maka itu fi sabilillah. Jika ia bekerja untuk kepentingan dirinya
sendiri agar tidak mengemis, maka itu fi sabilillah. Jika ia bekerja hanya
untuk pamer dan terlihat kaya maka ia fi sabilissyaiton (di jalan setan).” (HR. Tabrani dari Ka’b bin Ujrah ra.)
Beberapa sabda Nabi di atas menjelaskan
beragam arti jihad yang tidak hanya bermakna perang melawan musuh dengan
senjata, melainkan jihad juga berarti nasehat atau saran yang baik, ibadah haji
dan umrah, merawak kedua orang tua, menyantuni janda dan orang miskin, juga
bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jihad memiliki makna yang amat luas,
meskipun tidak bisa dipungkiri, bahwa jihad berperang melawan orang-orang kafir
yang menyerang Islam mempunyai keutamaan yang begitu agung di mata Islam
apabila dilakukan sesuai tuntunan Al-Quran.
Setidaknya ada dua ayat Al-Quran yang perlu
dipahami secara mendalam terlebih dahulu sebelum seorang muslim mengucapkan
kalimat “jihad”. Pertama, surat Al-Hajj ayat 39 yang membincang tentang izin
berperang dari Allah. Kedua, surat Al-Baqarah ayat 190 tentang perintah
berperang. Jika kedua ayat tersebut dipahami dengan baik sesuai pemahaman para
ulama, maka tidak akan ada seorang muslim yang bertindak anarkisme,
radikalisme, dan terorisme.
أُذِنَ
لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ
لَقَدِيرٌ
“Diizinkan berperang
bagi orang-orang yang selama ini diserang dan diperangi secara zalim. Sungguh
Allah Maha Kuasa menolong/memenangkan mereka.” (QS. Al-Hajj: 39)
Para pakar tafsir menyatakan, bahwa ayat
ini turun merespon keinginan para Sahabat untuk tidak hanya berpangku tangan
dan diam setelah bertahun-tahun lamanya mereka dihina, disiksa, disakiti secara
mental dan fisik oleh orang-orang kafir Mekkah. Mereka berkali-kali datang
kepada Rasulullah mengeluhkan perihal luka memar dan kucuran darah dari kepala
mereka. Rasulullah saw. hanya bisa
menghibur mereka bersabar sampai Allah mengizinkan berperang.[6]
Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut,
juga mengomentari ayat tersebut. Ulama popular berkebangsaan Mesir itu
mengatakan, ayat tersebut menjelaskan tentang pembelaan terhadap kehidupan
manusia, menjaga hak-hak kesetaraan, dan mencegah kelaliman. Sekian lama umat
Islam bersabar dan menahan diri mereka untuk melawan kezaliman orang-orang
kafir Mekkah sampai akhirnya mereka dipaksa keluar dari tanah kelahiran mereka
dan pindah ke kota Madinah. “Ayat itu juga melindungi marwah aqidah dan syariat
agama,” tulisnya dalam Al-Quran wal Qital.[7]
Terlebih setelah umat Islam hijrah dan
menetap di Madinah, mereka memiliki dua hak yang harus mereka lindungi; negara
dan bernegara. Madinah merupakan negara Islam pertama yang dipilih oleh Allah
sehingga umat Islam bisa menjalankan aktifitas keagamaan dengan tenang tanpa
ada tekanan. Madinah juga merupakan negara pertama yang memberlakukan
undang-undang yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduknya, baik yang beragama
Islam atau di luar Islam. Dua hak ini yang harus dipertahankan dengan cara
berperang melawan musuh-musuh Islam yang mencoba merampas keamanan dan
kenyamanan negara dan bernegara. Inilah faktor yang saling berkaitan antara
diizinkanya berjihad/perang dengan hijrah/pindah ke Madinah.[8]
Ayat izin berperang di atas mempunyai latar
belakang peristiwa yang begitu panjang dan memilukan. Setelah hampir lima belas
tahun bersabar dan bertahan terhadap kezaliman, Allah mengizinkan para Sahabat
membela dan meraih hak-hak mereka dalam kehidupan beragama dan berbangsa.
Jihad/perang dalam ayat tersebut berperan sebagai pembelaan bukan penyerangan.
Surat Al-Baqarah ayat 190 yang berbicara
tentang perintah perang juga harus dipahami dengan baik dan benar.
وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ
ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ
“Berperanglah di jalan Allah melawan
orang-orang yang menyerang kalian dan jangan keterlaluan. Sungguh Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Ada tiga kalimat yang harus digarisbawahi pada ayat tersebut;
perang di jalan Allah, melawan orang-orang yang menyerang terlebih dahulu, dan
tidak berlebihan.
“Ayat tersebut -menurut sebagian ulama- adalah ayat pertama
perintah jihad. Jihad juga harus fi sabilillah (diniatkan dan ditujukan
hanya karena Allah), untuk kepentingan agama. Larangan berlebih-lebihan yang
dimaksud pada ayat itu adalah tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak,
orang-orang renta, tokoh agama yang tidak ada sangkut pautnya dengan peperangan
melawan Islam,” jelas penulis Tafsir At-Tabari.[9]
Selaras dengan keterangan Imam At-Tabari,
Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi juga menguatkan kandungan ayat 190 surat
Al-Baqarah tersebut. Ahli tafsir kharismatik lulusan Universitas Al-Azhar Mesir
itu menegaskan, jihad/perang harus benar-benar niat karena Allah bukan untuk
menunjukkan eksistensi, arogansi, dan juga tidak untuk memuaskan nafsu politik
kekuasaan. As-Sya’rawi juga sependapat dengan At-Tabari, dilarang membunuh
orang-orang yang tidak bersalah dan tidak ada kaitannya dengan peperangan
karena perang/jihad dalam Islam bertujuan untuk mengkisi permusuhan bukan
justru memantik permusuhan.[10]
Penjelasan Al-Quran, hadis, dan pemahaman
para ulama di atas membuka wawasan kita tentang makna jihad yang sesungguhnya.
Jihad yang bermakna sangat luas, tidak hanya terbatas pada peperangan saja.
Jihad yang memiliki tujuan suci. Jihad yang dilakukan karena kepentingan Allah.
Jihad yang menghapus kezaliman dan permusuhan. Jihad yang ditujukan untuk
orang-orang yang memusuhi, memerangi dan menyerang kita terlebih dahulu. Jihad
yang mengasihani bukan menghabisi. Jihad yang tidak jahat karena jihad bukan
kejahatan dan segala tindak kejahatan tidak boleh dibungkus dengan kata jihad. Wallahu
A’lam.
Referensi:
[1] Majma’ Lughoh, Al-Mu’jam Al-Wasith (Kairo:
Darus Syuruq Ad-Dauliyah, 2010), hlm. 146.
[2] Said bin Ali al-Qahtani, Al-Mafahim As-Sahihah
lil Jihad fi sabilillah fi Dlauil Quran was Sunnah (Riyadl: Safir, 1433 H),
hlm. 5.
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari (Kairo:
Darul Hadis, 1998), vol. 6, hlm. 6.
[4] Maulana Abul Kalam Azad, Jihad Difa’an ‘an
al-Islam dari kitab Mas’alatul Khilafah wa Jaziratil Arab (Kairo: Al-Azhar
Magazine, 1434 H), hlm. 37-38.
[5] Muhammad bin Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan
(Tafsir at-Tabari) (Mekkah: Dar Tarbiyah wat Turas, t.th), vol. 19, hlm.
280-281.
[6] Husein bin Mas’ud Al-Baghowi, Ma’alimut Tanzil
(Beirut: Dar Ihya Turast, 1420 H), vol. 3, hlm. 343.
[7] Mahmud Syaltut, Al-Quran wal Qital (Kairo:
Al-Azhar Magazine, 1435 H), hlm. 27.
[8] Muhammad Said Ramdlan Al-Buty, Al-Jihad fil
Islam Kaifa Nafhamuhu wa kaifa Numarisuhu (Damaskus: Darul Fikr, 1993),
hlm. 93.
[9] Muhammad bin Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan
(Tafsir at-Tabari) (Mekkah: Dar Tarbiyah wat Turas, t.th), vol. 3, hlm.
563.
[10] Muhammad Mutawalli As-Sya’rowi, Tafsir
As-Sya’rowi (Kairo: Akhbar Yaum, 1997), vol. 2, hlm. 822.