Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Ontologi, Metafisika dan Logika Teror

Avatar photo
36
×

Ontologi, Metafisika dan Logika Teror

Share this article

Dari
lima penjagaan primer—yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—mana yang
memiliki eksistensi rill? Atau lebih khusus: dari kelima hal itu, mana yang
merupakan manusia itu sendiri? Pertanyaan ini harus diajukan sehubungan dengan
ontologi teror
yang bakal membantu kita untuk menentukan logika teror.

Pertanyaan
pertama dapat dijawab dengan mengandaikan suatu keadaan darurat, suatu keadaan
yang berada di
ambang hidup
dan mati
. Maka ketika pertanyaan itu dilontarkan berdasarkan asumsi keadaan
darurat, jawabannya tidak lain: jiwa, atau kehidupan itu sendiri.

Agama
adalah komunitas terbayang, ia tidak memiliki entitas riil. Akal, keturunan,
dan harta adalah bagian dari manusia yang strata keterjagaannya bisa berubah
tergantung situasi. Namun jiwa adalah penopang. Jiwa adalah kehidupan itu
sendiri yang memungkinkan adanya agama, akal, keturunan, dan harta. Tanpa jiwa,
bagaimana mungkin keempatnya bisa dijaga?

Pertanyaan
kedua sebenarnya sudah terjawab melalui pertanyaan pertama, hanya saja saya
ingin menambahkan satu hal: manusia adalah individu. Keadaannya tidak
tergantikan oleh siapa pun dan bahkan sosial tidak dapat meleburnya menjadi
tiada. Sosial berisi semua manusia, kata sebagian pakar ilmu sosial, kecuali
individu manusia itu sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial adalah ‘konsep
terbayang’ yang mengandaikan idealitas tertentu: sistem, standar, nilai, norma,
dan seterusnya. Jadi, manusia adalah kehidupannya. Tanpa kehidupannya, ia bukan
manusia. Kehidupan manusia ditopang oleh jiwa. Rusaknya jiwa, yakni ruh,
berarti berhentinya kehidupan manusia.

Setelah
mukadimah ini, kita akan masuk ke ontologi teror.

Apa
saja yang ada di dalam teror? Ini adalah pertanyaan ontologis. Pertanyaan
metafisisnya: apa
itu teror
? Atau apa itu kesejatian teror? Jika kita bertanya secara
ontologis, maka kita mengandaikan adanya semacam ‘rukun’ teror. Apa saja?
Jawabannya: (i) orang yang melakukan teror, (ii) sarana melakukan teror, dan
(iii) objek atau sasaran teror. Ketiga rukun ini pasti dan harus ada dalam
teror.

Suatu
teror pasti ada pelakunya, atau aktornya. Pelaku di sini bisa siapa saja, dan
kadangkala menyentuh: apa saja. Alam semesta bisa menjadi teror bagi manusia.
Macan yang berkeliaran di kampung-kampung bisa menjadi teror bagi penduduk
kampung tersebut.

Sarana
teror bisa berbentuk apa saja. Sarana adalah alat, dan segala hal dapat
dijadikan alat untuk teror. Kata kuncinya adalah ‘ancaman’. Segala sesuatu
dapat dijadikan ancaman, tergantung ‘ketakutan objek’. Kata-kata atau
intimidasi juga bisa menjadi teror. Pun ‘pengungkapan’ sejarah, bisa menjadi
teror bagi orang yang tidak nyaman dengan kebenaran sejarah. Apa pun bisa
menjadi sarana teror.

Sedangkan
objek teror adalah sasaran bagi subjek teror yang menggunakan sarana teror.
Objek ini tidak bisa lain kecuali makhluk hidup, dan jika lebih rinci: makhluk
hidup berakal. Benda mati tak mungkin merasakan ancaman dari pihak luar. Benda
mati adalah “Ada-untuk-dirinya” sendiri, kata Sartre, yang artinya: ia selalu
dikondisikan orang Liyan dan tidak punya pilihan untuk mengaktualkan dirinya
sendiri, dan dengan demikian tak ada satu pun yang bisa mengancam eksistensinya
karena ia tidak bisa merasakan eksistensinya tersebut.

Itulah
basis ontologis teror. Bagaimana dengan basis metafisisnya? Sudah disinggung di
atas bahwa pertanyaan metafisis soal teror adalah mempertanyakan kesejatian
eksistensi teror. Menjawab hal ini, saya berkata: kehidupan adalah inti dari
teror. Teror tidak berurusan dengan objek mati.

Dalam
strata makhluk, benda mati adalah makhluk terendah. Ia tidak punya kehendak
untuk mengaktual. Eksistensinya selalu dikondisikan oleh sesuatu di luar
dirinya. Maka tak ada teror apa pun yang dapat mengancamnya.

Strata
setelahnya adalah makhluk hidup tidak berakal. Kita menyebutnya binatang. Dalam
bahasa manusia, binatang bisa menerima ancaman dan bisa mengancam. Di sini
berarti kita berbicara rantai makanan. Binatang satu memangsa binatang lain.
Satu sama lain saling mengancam, sampai kepada tingkat tertinggi dan tingkat
terendah rantai makanan. Tingkat tertingginya adalah binatang yang tidak
menjadi makanan bagi binatang lain, sementara tingkat terendah adalah binatang
yang memakan tumbuhan. Binatang yang berada di puncak rantai makanan tidak
lepas dari ancaman. Kadang objek makanannya dapat melawan dan mengancam
kelangsungan hidupnya. Pun di strata selanjutnya ada makhluk berakal. Ialah
manusia yang menjadi ancaman bagi seluruh makhluk hidup tak berakal.

Manusia
adalah mahluk hidup dengan tingkat otomatisasi paling rendah. Ketika manusia
lahir, ia tidak langsung terarahkan kepada objek makanannya. Untuk bertahan
hidup, ia masih membutuhkan manusia dewasa. Hewan lain lahir dengan sejenis
pengetahuan secara otomatis. Kita menyebutnya dengan ‘instisng’. Bayi kambing
otomatis akan tahu bahwa makananya bukanlah daging melainkan rerumputan. Begitu
juga bayi singa atau s
erigala.

Tersebab
manusia adalah makhluk hidup dengan tingkat otomatisasi terendah, ia harus
belajar. Dan karena ia harus belajar, ia diberkati dengan akal. Dari akal
inilah ia bisa membedakan mana yang merupakan objek makanannya dan mana yang
tidak. Artinya, manusia punya pilihan yang didasarkan pada akal budinya.
Pilihan adalah inti dari moralitas. Dan moralitas adalah timbangan baik dan
buruk. Adanya kebaikan dan keburukan dikondisikan oleh pilihan akal budi manusia.
Amat banyak teori moral yang bertebaran, tetapi satu hal yang agaknya
menyatukan semuanya: kehidupan adalah tonggak dari moralitas. Kita mampu
menimbang kebaikan sejauh yang mendukung kelangsungan hidup, dan begitu juga
sebaliknya.

Dari
sinilah kita mendapati konsep teror berhubungan dengan moralitas. Kehidupan
adalah nilai tertinggi dari moralitas. Segala sesuatu yang mengancam kehidupan
adalah teror. Tentu tidak hanya soal ancaman ‘hidup’ dan ‘mati’. Ancaman
kehidupan juga mencakup ancaman terhadap kenyamanan, keamanan, dan ketentraman.
Ketiga unsur inilah yang m
encakup empat penjagaan primer setelah jiwa. Jiwa adalah
kehidupan itu sendiri. Urusannya adalah hidup dan mati. Sementara yang lainnya
adalah soal kenyamanan, keamanan, dan ketentraman. Lima penjagaan primer adalah
parameter teror. Dan jiwa berada di puncak parameter tersebut.

Nah,
setelah kita tahu ontologi dan metafisika teror, kita akan menyitir soal logika
teror. Logika ini berkisar pada kesalahan dalam menerapkan strata penjagaan
primer. Dalam kondisi apa pun, penghilangan
jiwa
adalah puncak dari kesalahan itu.

Para
pakar Maqashid asy-Syari’ah berdebat soal strata lima penjagaan primer.
Ada yang meletakkan agama di awal dan ada yang meletakkan jiwa. Saya setuju
dengan pakar yang meletakkan jiwa di awal. Salah satu pakar itu adalah Syekh
Ali
Jum’ah.
Kenapa jiwa? Karena ia adalah inti dari semua penjagaan yang lain. Agama tidak
akan ada tanpa jiwa, yaitu tanpa kehidupan.

Dalam
kondisi yang sangat mendesak di antara hidup dan mati, seseorang harus
mengorbankan larangan agama agar jiwanya selamat. Dalam Fikih, memakan bangkai
hukumnya haram. Tetapi jika ada orang yang kelaparan sampai hampi
r mati dan tidak menemukan makanan selain
bangkai, maka ia wajib memakan bangkai tersebut untuk menyelamatkan hidupnya.
Pun kisah tawaran
Jibril untuk memusnahkan penduduk Thaif
dengan menghempaskan gunung, ditolak oleh Nabi Muhammad. Tentu pertimbangan
Nabi soal kehidupan. Iman atau agama adalah proses. Tak ada proses tanpa
kehidupan. Membiarkan penduduk Thaif hidup adalah membiarkan mereka belajar
agama. Mereka berproses dan akhirnya mereka, atau keturunan mereka, mendapatkan
hidayah keimananan.

Logika
berurusan dengan timbangan akal. Timbangan ini, pada prakteknya, berurusan
dengan pertimbangan. Keadilan adalah kata kuncinya. Timbangan kebenaran logika
adalah keadilan dalam meletakkan prinsip dan hukum logis pada tempatnya.
Sedikit saja prinsip atau hukum itu melenceng, maka logika akan melenceng, atau
keadilan logis tidak bisa ditegakkan.

Dalam
kehidupan praktis, logika adalah soal pertimbangan logis. Kita tidak bisa
secara spontan menerapkan timbangan logika ke kehidupan praktis. Maka,
pertimbangan logis adalah jalan tempuhnya. Pertimbangan logis paling bisa
diterima semua manusia adalah petimbangan penjagaan primer.

Di
masa modern, lima penjagaan itu dinamakan ‘hak asasi’. Segala hal yang dapat
mengancam hak asasi adalah teror, dan dengan demikian tak ada teror yang dapat
dikatakan adil. Orang tidak boleh serampangan dalam beragama. Keadilan harus
ditegakkan di tingkat individu yang memeluk agama. Tanpa keadilan ini ia akan
fanatik dan mengabaikan pertimbangan logis. Pun orang tidak boleh serampangan
dalam bernegara. Tak ada harga mati bagi negara. Harga mati adalah kehidupan
itu sendiri. Kekuasaan negara nyatanya bisa melegalkan penghilangan jiwa.
Negara tak mungkin ada tanpa jiwa, tanpa kehidupan. Negara hanyalah komunitas
terbayang. Ia ada karena dibayangkan ada oleh sekumpulan orang. Kehidupan
adalah subjek dan objek riil. Tak ada kehidupan tanpa individu.

Dengan
demikian, yang paling rill adalah kehidupan
individu
. Individu inilah yang dapat merasakan afeksi, cinta, kasih,
kemarahan, dan teror. Ancaman bagi negara tidak lebih penting ketimbang ancaman
bagi individu yang ada di dalamnya. Pun ancaman bagi penjagaan primer selain
jiwa. Berpikir logis yang merupakan keadilan pikiran adalah kunci utama.
Bertindak adil yang merupakan logika perimbangan adalah kunci selanjutnya.
Tanpa kedua kunci itu, apa artinya hidup, apa artinya beragama, dan apa artinya
bernegara?

 

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.