Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Al-Quran Sebagai Metode Berpikir

Avatar photo
19
×

Al-Quran Sebagai Metode Berpikir

Share this article

Dalam beberapa disiplin keilmuan Islam, sebut saja
Fikih, al-Quran diletakkan sebagai sumber hukum. Sumber dari suatu ilmu tidak
dipertanyakan melalui ilmu tersebut, melainkan oleh ilmu yang lain.

Dalam konteks Fikih, ilmu yang dimaksud adalah
Ilmu Ushul Fikih. Ilmu inilah yang meneliti bukti-bukti yang dipakai untuk
menentukan hukum dalam Fikih. Boleh dikata bahwa Ushul Fikih adalah upaya
rasional dari ilmu yang sepenuhnya tekstual (kalaupun tidak tekstual
sepenuhnya, selalu ada unsur tekstual).

Tetapi Ushul Fikih bekerja melalui aksioma yang
diterima dalam bidang yang dikajinya. Ilmu ini tidak bertugas untuk menentukan
apakah sumber dalam penggalian hukum Fikih dibenarkan dalam konteks selain
Fikih atau tidak.

Dengan kata lain, Ushul Fikih dapat meletakkan
sumber bagi fikih tapi ia membatasi dirinya untuk membuktikan kebenaran
sumbernya di luar lingkup kajian fikih. Maka, ilmu Ushul Fikih, yang merupakan
bagian dari ilmu rasional, harus dibasiskan pada ilmu yang di atasnya, dan ilmu
tersebut adalah Ilmu Kalam atau teologi.

Tak ada satu pun ilmu rasional yang tidak memiliki
tiga komponen berikut ini: (i) prinsip, (ii) objek, dan (iii) masalah.

Prinsip adalah postulat yang diterima dalam rangka
membuktikan objek yang ingin ditetapkan dalam ilmu bersangkutan.

Objek adalah sesuatu yang status-statusnya dibahas
dalam suatu ilmu, di mana ia dikehendaki dalam ilmu tersebut atau dinafikan
darinya. Suatu ilmu harus menangkap objeknya sekaligus menafikan objek lain
yang di luar kajiannya.

Sementara masalah adalah proposisi itu sendiri.
Proposisi memuat subjek dan predikat.

Dengan sangat ringkas Ibnu Sina berkata, “Prinsip,
darinyalah argumen, dan masalah, miliknyalah argumen, dan objek, kepadanyalah
argumen.”

Prinsip membuktikan masalah di mana objek kajian
diletakkan atasnya. Ilmu fisika, misalnya, prinsipnya adalah postulat yang
diambil dari ilmu di atasnya, yakni ilmu metafisika, kemudian objek yang
dikajinya adalah jasmani, sedangkan masalahnya adalah jasmani dari perspektif
yang bergerak dan diam.

Tiap ilmu memiliki tiga komponen di atas, dan jika
prinsip dari suatu ilmu tidak bisa dibuktikan melalui ilmu tersebut, maka ia
butuh ilmu yang ada di atasnya. Fikih membutuhkan Ushul Fikih, dan Ushul Fikih
membutuhkan Ilmu Kalam. Keterbutuhan di sini tidak saya maknai sebagai
‘hirarki’. Keterbutuhan harus dimaknai sebagai bagian dari integralitas
bangunan keilmuan secara umum.

Jika prinsip dari suatu ilmu tidak bisa dibuktikan
melalui ilmu tersebut dan membutuhkan ilmu lain, maka dari manakah ilmu yang
lain itu mengambil prinsipnya?

Jawaban paling lumrah: harus ada ilmu yang tidak
mengambil prinsip dari ilmu lainnya karena menghindari serial ananta atau
lingkaran setan. Baik serial ananta maupun lingkaran setan akan membatalkan
tiap pembuktian dalam suatu disiplin ilmu dan dengan demikian praktis tidak
akan ada ilmu yang dapat dipercaya kebenarannya.

Tetapi jawaban ini kini bergelut dengan berbagai
macam jargon, salah satunya jargon untuk kembali kepada teks, yakni kembali
kepada al-Quran dan Hadis. Kelompok pengusung jargon ini menganggap bahwa
al-Quran adalah sumber yang tidak bisa dipertanyakan lagi. Sementara soal
bagaimana keabsahan al-Quran sebagai sumber yang mana tidak mungkin diambil
dari teks itu sendiri, mereka bungkam. Masalah ini begitu pelik hingga
melahirkan banyak perdebatan, tak jarang terjadi aksi saling mengkafirkan.

Kelompok yang memegang jargon kembali kepada
al-Quran lebih sering menafikan Ilmu Kalam beserta kaidah yang ada di dalamnya.
Baginya, upaya rasionalisasi tidak lebih bisa dipegang daripada teks itu
sendiri. Mereka seolah memisahkan antara teks sebagai sumber dan teks sebagai
konten atau metode.

Sebetulnya, kalau kita teliti lebih serius, tak
ada satu postulat pun dari kajian ketuhanan yang murni bersumber dari teks.
Karena tak ada teks yang dapat membenarkan dirinya sendiri tanpa rasio.

Untuk membuktikan kebenaran al-Quran dan
keberadaan Tuhan, Muhammad Abduh membutuhkan separuh bukunya Risalah
at-Tauhid
untuk membuktikan secara rasio dan sejarah bahwa Nabi Muhammad
adalah sebenar-benarnya utusan Allah dan bahwa wahyu yang diterimanya adalah
sebenar-benarnya wahyu. Hal yang sama juga ditempuh oleh murid Abduh, yakni
Rashid Ridlo dalam bukunya Al-Wahyu al-Muhammadi.

Untuk memecah kebuntuan dalam perdebatan yang
seolah tiada ujungnya tersebut, saya berpendapat, melalui domain filsafat
Rusydian dan juga ontologi Ghazalian, bahwa al-Quran semestinya diberdayakan
sebagai metode dalam menentukan postulat.

Artinya, al-Quran juga harus didayagunakan sebagai
metode berpikir. Upaya ini, sekeyakinan saya, dapat memecah perdebatan soal
tekstualis murni dan rasionalis murni. Upaya ini ingin menunjukkan bahwa teks
bisa menjadi senjata berpikir rasional, dan di waktu yang sama, rasio juga bisa
menjadi bukti atas kebenaran teks. Dalam hal ini, saya hanya akan menyinggung
masalah ketuhanan sebagai contoh acuan.

Jika boleh saya petakan, maka masalah ketuhanan
dibahas oleh tiga jenis teologi berikut ini: (i) teologi tradisional, (ii)
teologi liberal, dan (iii) teologi natural. Pada masa Romawi kuno, tiga jenis
itu juga disebut: (i) teologi politis, (ii) teologi sipil, dan (iii) teologi
natural.

Teologi jenis pertama mengambil teks sebagai
satu-satunya sumber. Teologi yang kedua menggabungkan antara teks dan rasio.
Dan teologi yang ketiga hanya mengandalkan rasio sebagai sumber satu-satunya
untuk menemukan dan membahas Tuhan.

Menengok klasifikasi ini, sebetulnya kita langsung
mendapatkan kesimpulan bahwa teologi liberal atau telogi sipil berada di
tengah-tengah dua keekstriman. Teologi ini berusaha mengakui kebenaran teks,
tetapi di waktu yang sama mengakui bahwa teks tak mungkin dibenarkan kecuali
oleh rasio.

Dalam hal ini saya cenderung ke teologi kedua,
hanya saja dengan beberapa penekanan, yakni: (i) teks bisa menjadi sumber
sekaligus metode, (ii) akal dapat tercerahkan melalui teks, (iii) teks yang
penalarannya benar tidak akan menjadi dogmatis dalam dirinya sendiri.

Hal yang paling utama dalam memetakan metode
berpikir al-Quran adalah menentukan objek eksternalnya. Al-Quran tidak idealis
dan mengawang-awang dengan mengatakan bahwa semua tingkat pemahaman manusia itu
sama.

Al-Quran membagi tingkat pemahaman manusia menjadi
tiga: (i) tingkatan awam, (ii) tingkatan khusus, dan (iii) tingkatan di antara
awam dan khusus. Dalam menghadapi tiga tingkatan ini, al-Quran membedakan
metodenya: (i) tingkatan pertama cocok dengan metode pesan-pesan baik (mau’idhah
hasanah
), (ii) tingkatan kedua cocok dengan metode hikmah, dan (iii)
tingkatan ketiga cocok dengan metode dialektika (jadal).

Hal ini tertuang dalam Surat An-Nahl: 125. Pemahaman
tiap tingkatan tidak boleh dipukul rata. Suatu proposisi mengandung konsep dan
tiap konsep mengandung konsep lain yang membangunnya. Konsep tiap tingkatan
haruslah berbeda titik tuju dan titik berangkat. Konsep ketuhanan kaum awam
haruslah berangkat dari titik yang mereka pahami melalui pikiran awam, yakni
pikiran faktis keseharian mereka. Cukuplah bagi mereka, misalnya, Tuhan sebagai
pemberi rezeki dan penolong mereka dari kesusahan hidup. Masalah yang lebih
rumit semestinya dihindarkan dari pikiran praktis mereka.

Soal pembuktian adanya Tuhan, al-Quran berpikir
dengan cara yang sederhana tetapi dapat mencakup seluruh kalangan. Metode
al-Quran boleh disebut realis nan ilmiah. Kalangan teolog yang membuktikan
Tuhan melalui filsafat Yunani terbukti sangat susah dicerna.

Edward Feser dalam bukunya Five Proofe of the
Existence of God
meneliti adanya 49 premis dalam menentukan adanya Tuhan
sebagaimana ditempuh oleh Aristoteles dan diikuti oleh beberapa kalangan teolog
Islam melalui pembuktian kausalitas (lebih khusus materia-forma), seperti yang
saya tunjukkan di gambar.


Sementara itu, al-Quran menunjukkan bahwa untuk
membuktikan adanya Tuhan, kita hanya perlu memahami bahwa kehidupan manusia
tidak kebetulan berada di tempat yang layak. Semua yang berada di sekeliling
manusia senantiasa mendukung kehidupan: bergantinya siang dan malam, adanya
hujan dan terik matahari, adanya hewan dan tumbuhan yang menjadi penopang
sumber makanan mereka. Semua hal ini ditegaskan di banyak ayat dalam al-Quran.

Kesesuaian semesta dengan kehidupan manusia
menunjukkan bahwa alam semesta dikehendaki oleh Pencipta dan tidak terjadi
secara kebetulan (by accident). Semua manusia, tanpa terkecuali,
merasakan adanya ‘pertolongan’ ini.

Bagi orang awam, mereka cukup dengan kehidupan sehari-hari
yang banyak menunjukkan kesesuaian antara diri mereka dengan alam. Dalil
al-Quran ini tidaklah spekulatif; ia melibatkan eksistensi manusia yang luruh
dalam dunia yang sesuai dengan tabiat kehidupannya.

Itu dari segi pembuktian adanya Tuhan. Dari segi
bahwa Tuhan haruslah esa, al-Quran tidak bertele-tele sebagaimana beberapa
pembuktian dalam ilmu kalam.

Dengan bahasa yang singkat, al-Quran berkata dalam
surat Al-Anbiya’: 22 bahwa “Apabila di langit dan bumi ada tuhan selain
Allah maka keduanya akan binasa.”
Hanya sekali mendayakan akal kita,
argumen ini akan berfungsi sepenuhnya, yakni dengan melihat ke alam semesta itu
sendiri.

Pada kenyataannya, alam semesta tidaklah binasa,
dan hal itu membuktikan bahwa Tuhan itu esa. Karena kalau ada lebih dari satu
Tuhan, maka alam semesta akan binasa tidak tersisa. Pembuktian ini mencakup
semua kalangan. Tak ada kalangan yang ditinggalkan oleh al-Quran. Kaum
intelektual dapat memperdalam pemahaman atas argumen ini, sementara bagi orang
awam cukup dengan kenyataan sehari-hari yang menunjukkan bahwa dua kekuasaan
yang sama-sama absolut akan menjadikan objek kekuasaannya jadi tidak stabil
atau bahkan kaos.

Alhasil, al-Quran adalah sumber sekaligus metode.
Darinya kita dapat belajar berpikir dengan benar. Al-Quran diturunkan untuk
manusia dan tak ada satu pun kontennya yang melenceng dari pengalaman
eksistensial-manusiawi.

Jika berpikir membutuhkan sumber berupa adakalanya
(i) apriori murni, dan (ii) empiris murni; maka berpikir berdasarkan al-Quran
bukanlah tekstualis buta, jika ternyata melalui al-Quran itu kita menemukan
metode intuitif dan derivatif di waktu yang sama. Metode yang pertama adalah
pra-penalaran, sementara metode yang kedua adalah pasca-penalaran.

Dengan intuisi kita menemukan objek partikular,
sementara dengan derivasi kita menemukan objek universal. Manusia tidak mungkin
lepas darinya. Dan Tuhan, sebagai dzat, adalah objek intuisi-imani, sementara
Dia, sebagai wujud yang niscaya, adalah objek universal-akali. Inilah yang kita
pelajari dari al-Quran.

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.