Apabila berbicara tentang niat dalam ibadah, maka sebenarnya tujuh pertanyaan ini tidak akan lepas dari pembicaraan kita.
Tujuh pertanyaan itu meliputi: (1) apa hakikat dari niat, (2) apa hukum berniat, (3) tempatnya di mana, (4) waktunya kapan, (5) caranya bagaimana, (6) syaratnya apa saja, dan (7) berfungsi sebagai apa niat itu?
Ketujuh pembahasan tersebut sudah diuraikan secara rinci oleh K.H. M.A. Sahal Mahfudh dalam karyanya bertajuk “Faidhul Hijâ“. Silakan kunjungi kalau ingin mengetahuinya.
Pada kesempatan kali ini, kita tidak membahas semua pertanyaan ini, tetapi akan membahas secara khusus pertanyaan yang terakhir, yakni berfungsi sebagai apa niat itu?
Berkaitan dengan pertanyaan ini, telah kita ketahui bersama bahwa setiap aktivitas muslimin secara garis besar terbagi menjadi dua, aktivitas bernilai ibâdah dan tidak bernilai ibâdah, kerap disebut aktivitas âdah. Dan dari aktivitas âdah tersebut ada yang bersifat mubâh. Dalam konteks ini, konteks pembahasan niat, âdah yang bersifat mubâh lah yang menjadi objek pembahasan di dalam pembicaraan kita. Sehingga, pertanyaan sederhananya, yang akan dijawab, adalah berfungsi sebagai apa niat di dalam ibâdah dan âdah-mubâh?
Aktivitas yang bernilai ibâdah adalah setiap amal ketaatan kepada Allah Taala, yang oleh-Nya dituntut untuk dilaksanakan. Baik amal ketaatan itu bersifat wajib atau sunah. Seperti salat, puasa, sedekah, dan lain-lain. Semua amal ketaatan itu selalu bertautan dengan niat; harus mengandung sebuah niat.
Apabila suatu amal ketaatan sudah mengandung niat dan dilakukan sesuai cara yang benar, maka secara kasat mata amal ketaatan itu sudah sah. Sah dalam arti sudah bernilai ibâdah. Sebaliknya, setiap amal ketaatan hukumnya tidak sah/batal, apabila tidak diniati atau cara niatnya keliru. Amal ketaatan tersebut tidak layak disebut ibâdah kecuali hanya “shûrahnya” atau bentuknya saja. Bahkan, jika amal ketaatan dengan sengaja dilaksanakan tanpa adanya niat yang diwajibkan di dalamnya, maka amal ketaatan itu malah menjadi sebuah kemaksiatan. Sebab, ada unsur kesengajaan yang dianggap telah memainkan ibâdah atau bermain-main dalam urusan agama. Dan hal tersebut dilarang.
Sedangkan, pengertian aktivitas âdah-mubâh adalah setiap amal yang tidak ada unsur ketaatan. Ya, gampangnya sebagaimana pengertian yang disampaikan oleh fukaha, yaitu setiap sesuatu yang tidak bernilai pahala jika dilaksanakan, pun tidak berefek dosa ketika ditinggalkan. Seperti minum, makan, tidur, dan semacamnya.
Lantas, apa fungsi dari niat di dalam ibâdah dan âdah-mubâh?
Pertama, fungsi di dalam ibâdah. Fungsi paling pokok, seperti yang disampaikan oleh fukaha, adalah sebagai pembeda:
1) sebagai pembeda antara aktivitas yang bernilai ibâdah dan âdah;
Contoh, mandi. Kita ketahui bahwa seseorang mandi pasti punya tujuan. Apakah dia karena kepanasan, sekadar membersihkan badan, atau bahkan menghilangkan sebuah hadas besar. Dengan adanya niat, aktivitas mandi tersebut memiliki makna tersendiri.
Apabila dia niat menghilangkan hadas besar, maka mandi itu bernilai ibâdah. Sehingga, cara mandinya pun harus sesuai dengan ketentuan dalam bab “ghuslun“. Kalau dia hanya sekadar supaya badannya tidak panas, cukup menyiramkan air secukupnya, setelah itu selesai. Lah, di sinilah niat berperan sebagai pembeda antara mandi junub yang bernilai ibâdah dengan hanya sekadar mandi biasa; âdah.
2) sebagai pembeda antara tataran ibâdah itu sendiri.
Contoh, salat. Ada salat fardhu, sunah, atau salat nadzar. Simpelnya, fungsi niat yang kedua adalah menjadi pembeda tingkatan suatu ibadah. Apakah bersifat fardhu, sunah, atau lainnya.
Kedua, fungsi di dalam âdah-mubâh. Para ulama mengatakan bahwa fungsi lain dari niat, selain fungsi yang telah disebutkan sebelumnya, adalah pengubah. Yakni pengubah amal, yang asalnya hanya âdah-mubâh, menjadi amal yang bernilai ibâdah. Imam Sya’rani, di dalam “Lawâqihu al-Anwâr al-Qudsiyyah, mengatakan:
“ومن القوم من يقلب المباح بالنية الصالحة إلى خير، فيثاب عليه ثواب المندوب، كأن ينوي بأكله التقوي على عبادة الله تعالى …” (في مقدمة لواقح الأنوار القدسية)
Artinya: “Sebagian kaum ada yang mengubah aktivitas mubâh menjadi sebuah kebaikan (bernilai ibâdah). Ia mengubahnya dengan niat baik. Oleh karena itu, ia mendapatkan pahala sebagaimana pahala mengerjakan hal sunah. Contoh, ia makan berniat supaya kuat beribadah kepada Allah Taala …”
Kesimpulan
Apabila aktivitas itu nyata ibadah, mari perhatikan dan lakukan niat sesuai dengan cara yang benar. Mari kita perbanyak niat kebagusan dalam segala aktivitas yang dilakukan dalam aktivitas âdah. Yang penting bukan aktivitas kemaksiatan, niat bagus akan menjadikan aktivitas sehari-hari kita penuh dengan nilai ibadah.
Mari perhatikan uraian Habib Aidrus bin Umar al-Habsyi rahimahullah:
«من لا يحسن النية يقلد الأكابر من السلف، وينوي ما نووه فيقول عند شروعه في العمل بعد ما يستحضر ما استطاع من النيات: نويت بهذا العمل ما نوى سيدنا الفقيه المقدم مثلا.. وفلان، وفلان، ممن يعلم سعة علمه ومعرفته أو اطلاعه على صالح النيات». ( انتهى نقلا عن «المنهج السوي شرح أصول طريقة السادة آل باعلوي» للعلامة الحبيب زين بن إبراهيم بن سميط، ص: 688)
Artinya: “Siapa saja yang tidak bisa berniat sebagaimana niatnya para ulama salaf, maka setelah selesai menghadirkan niat sebisanya di hati, ia hendaklah ketika melaksanakan suatu amal dengan berniat seperti contoh ini: saya berniat melaksanakan amal ini sesuai dengan niatnya Sayid Faqih Mukaddam, misalnya. Atau sesuai ulama-ulama yang masyhur keilmuannya.”
#Rujukan:
– Habib Sa’d Muhammad bin Alawi al-Aidrus al-Adhramî. 2021. Kitâb an-Niât. Depok: Maktabah Turmusy;
– K.H. M.A Sahal Mahfudh. Tth. Faidlu al-Hajâ. PDF.