Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Ibadah

Siapa Lebih Berhak Jadi Imam Shalat, Ahli Fikih atau Hafiz al-Qur’an?

Avatar photo
32
×

Siapa Lebih Berhak Jadi Imam Shalat, Ahli Fikih atau Hafiz al-Qur’an?

Share this article

Sedang menjadi tren di masjid perkotaan, yang menjadi imam shalat adalah hafiz (orang yang hafal al-Qur’an) dan bersuara merdu. Tanpa memandang umur, asalkan suaranya enak dan hafal al-Qur’an, maka ditunjuk jadi imam. Padahal tidak semudah itu, banyak sekali pertimbangan yang dijadikan patokan dalam pemilihan imam.

Ketika calon imam merupakan dua figur yang sama-sama mempunyai kredibilitas, yang satu ahli fikih (Faqih) dan satunya lagi penghafal al-Qur’an, maka siapakah yang didahulukan untuk menjadi imam shalat?

Syekh Khatib asy-Syirbini menjawab:

 (والأصح أن الأفقه) في باب الصلاة وإن لم يحفظ قرآنا غير الفاتحة (أولى من الأقرأ) وإن حفظ جميع القرآن؛ لأن الحاجة إلى الفقه أهم لكون الواجب من القرآن في الصلاة محصورا والحوادث فيها لا تنحصر، ولتقديمه – صلى الله عليه وسلم – أبا بكر في الصلاة على غيره مع وجود من هو أحفظ منه للقرآن

Menurut Qaul ashah (pendapat yang paling sahih), ahli fikih itu lebih diprioritaskan dari pada orang yang hafal al-Qur’an, meskipun ia hafal 30 juz.

Mengapa bisa demikian? Sebab orang yang hanya berbekal hafalan al-Qur’an saja itu belum cukup. Ahli fikih lebih berhak menjadi imam, sebab kejadian dalam shalat itu tidak terbatas, ditakutkan akan terjadi suatu hal yang tak terduga, sedang ia tidak tahu bagaimana menyikapinya. Maka ahli fikih didahulukan, al-Qur’an jumlahnya terbatas, sedang kejadian dalam shalat itu tidak terbatas. Maka faqih lebih didahulukan daripada hafiz. Yang demikian juga bersandar pada penunjukan Abu Bakar as-Siddiq oleh Nabi untuk menjadi imam, padahal masih banyak orang yang lebih hafal al-Qur’an dibanding beliau. (Mughni Al-Muhtaj, 1/486)

Pendapat ini juga dipedomani oleh beberapa fuqaha. Keterangan senada tertera dalam beberapa kitab semisal Tuhfat al-Muhtaj (2/295), Nihayat al-Muhtaj (2/180), Busyra Al-Karim bi Syarh Masail at-Ta’lim dan lain-lain.


 

Adapun mengapa Nabi bersabda, Yang berhak mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalannya” adalah karena di era dahulu itu bisa dipastikan semuanya paham fikih.

Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan,

وَظَاهِرُهُ تَقْدِيمُ الْأَقْرَإِ عَلَى الْأَفْقَهِ كَمَا هُوَ وَجْهٌ وَأَجَابَ عَنْهُ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّ الصَّدْرَ الْأَوَّلَ كَانُوا يَتَفَقَّهُونَ مَعَ الْقِرَاءَةِ فَلَا يُوجَدُ قَارِئٌ إلَّا وَهُوَ فَقِيهٌ

“Secara literal, memang hadis di atas lebih memprioritaskan orang yang hafal al-Qur’an. Namun menurut Imam asy-Syafi’i, kondisi di era tersebut adalah semuanya paham fikih, bahkan di era itu tidak ada seorang penghafal al-Qur’an yang tidak paham fikih.” (Asna Al-Mathalib1/219)

Jadi, hadis tersebut harus dilihat konteksnya. Di era sahabat, semuanya paham fikih. Sedangkan di era sekarang, hanya menghafal tanpa mendalami ilmu fikih. Keduanya berhak menjadi imam shalat, namun ahli fikih yang layak diprioritaskan, daripada penghafal al-Qur’an. Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Ahmad Hidhir Adib

    Asal dari Pasuruan. Sekarang menempuh studi program Double degree di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada program studi PAI dan Fikih Muqaran dan tinggal Wisma Ma’had Aly UIN Malang.