Entah karena kedinginan atau sedang syahwat, zakar acap kali berdiri ketika shalat. Bahkan zakar bisa bergerak-gerak secara terus-menerus (continue atau muwalah) dan melebihi dari 3 kali gerakan.
Dalam literatur fikih, adalah masyhur bahwa bergerak tiga kali secara berturut-turut dapat membatalkan shalat. Lantas bagaimana hukum shalat jika yang bergerak itu adalah zakar?Apakah zakar bergerak-gerak dapat membatalkan shalat?
Imam asy-Syarbini menyatakan bahwa shalat dalam keadaan seperti itu tidak batal, meski kemaluannya bergerak berkali-kali (miraran) dan secara terus menerus (wala’an).
Dalam Iqna’ Fi Halli Alfadz Abi Syuja’ (1/150) cetakan Dar al-fikr, beliau menulis:
قَالَ الإِمَام ينقدح فِيهِ ثَلَاثَة أوجه أظهرها أَنه لَا يُؤثر وَتبطل بالوثبة الْفَاحِشَة لَا الحركات الْخَفِيفَة المتوالية كتحريك أَصَابِعه بِلَا حَرَكَة كَفه فِي سبْحَة أَو عقد أَو حل أَو نَحْو ذَلِك كتحريك لِسَانه أَو أجفانه أَو شَفَتَيْه أَو ذكره مرَارًا وَلَاء فَلَا تبطل صلَاته بذلك
Kemudian Zainuddin Al-Malibari dalam Fath Al-mu’in, hal.46 cetakan Dar al-kutub al-ilmiyah menulis:
)لا ) تبطل ( بحركات خفيفة ) وإن كثرت وتوالت بل تكره ( كتحريك ) أصبع أو ( أصابع ) في حك أو سبحة مع قرار كفه ( أو جفن ) أو شفة أو ذكر أو لسان لأنها تابعة لمحالها المستقرة كالأصابع
Mengapa shalatnya tidak batal, meskipun zakarnya bergerak berkali-kali dan terus-menerus padahal di antara beberapa hal yang bisa membatalkan shalat ialah bergerak 3 kali dan atau secara terus-menerus? Alasannya, sebab zakar tetap berada di tempat asalnya. Walau bergerak, kemaluan laki-laki itu tetap berada di tempatnya, tidak berpindah dari tempat semula.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani. Dalam Nihayatuz zain, hal. 90 cetakan Dar al-kutub al-ilmiyah, beliau menulis:
وخرج بالثقيل الخفيف كما قال ( لا بحركات خفيفة ) فلا بطلان بذلك ما لم يكن على وجه اللعب فإن كان كذلك بطلت الصلاة ( كتحريك أصابع ) في سبحة بلا تحريك الكف ( أو جفن ) أو لسان أو شفتين أو ذكر أو أنثيين
Sebegitu juga tidak batal ketika orang yang shalat menggerak-gerakkan jari saat menggaruk dengan syarat telapak tangannya tetap (tidak ikut bergerak), dan juga tidak dihukumi batal (meskipun bergeraknya itu berkali-kali dan terus menerus) jika yang bergerak itu adalah lisan, kelopak mata, kedua bibir, zakar (penis) dan testis. Namun dengan catatan orang yang shalat tidak berniat untuk tala’ub (bermain-main). Adapun jika ia berniat demikian maka seketika itu shalatnya batal.
Dari beberapa argumentasi di atas, kita dapat mengetahui bahwa anggota tubuh yang tetap menempel pada tempat asalnya (seperti kasus zakar yang disebutkan di atas) jika bergerak berkali-kali dan terus-menerus itu tidaklah membatalkan shalat. Dengan catatan tidak ada niatan untuk tala’ub (bermain-main) dalam melakukannya, yakni anggota tubuhnya itu bergerak sendiri atau sedang ada kebutuhan.
Lantas apa batasan dari tala’ub itu? Yang demikian itu dikembalikan kepada orang yang mengerjakan shalat itu sendiri. Hanya ia sendiri yang mengetahui apakah ia punya niatan bermain-main ataukah tidak. Wallahu a’lam bi as-shawab.