Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Memahami perbedaan istilah fakih dalam ilmu fikih dan usul fikih

Avatar photo
47
×

Memahami perbedaan istilah fakih dalam ilmu fikih dan usul fikih

Share this article

Di pesantren dulu, ketika ditanya apa itu fikih? Biasanya kita akan menjawab menggunakan keterangan yang ada dalam kitab Fathul Qarib:

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

Mengetahui hukum-hukum syariat amaliah yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci.

Jawaban di atas tentunya tidak salah. Hanya saja terkadang kita sering kali menisbahkan sebutan fakih (ahli fikih) untuk ulama yang belum mencapai derajat mujtahid mutlak dengan menggunakan pengertian di Fathul qarib tersebut. Padahal apabila kita pahami bersama, pengertian fikih tersebut hanya bisa dinisbahkan kepada mujtahid mutlak saja, sebab—dalam pengertian tersebut—ada beberapa syarat yang hanya dimiliki para ulama mujtahid mutlak saja. Bagi yang belum tahu, mujtahid mutlak adalah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya serta mampu menerapkan dasar pokok sebagai landasan dari ijtihadnya, seperti imam-imam empat mazhab.

Oleh sebab itu, di sini, penulis ingin menjelaskan bahwa sebenarnya ada perbedaan penggunaan istilah fikih antara ulama ushuliyyin (pakar usul fikih) dan fukaha (pakar fikih). Dengan mengetahui perbedaan ini, nantinya dapat diketahui bahwa memberi gelar fakih terhadap seorang ulama namun mengartikan fikih sebagaimana pengertian di dalam Fathul Qarib kuranglah tepat dan juga bahwa setiap diskursus keilmuan mempunyai istilah-istilah tersendiri yang sesuai dengan objek pembahasannya.

Istilah fikih mempunyai pengertian yang berbeda dalam sudut pandang ushuliyyin dan fukaha. Menurut ushuliyyin, fikih adalah mengetahui hukum-hukum syariat amaliah yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci, persis seperti yang ada dalam Fathul Qarib. Meskipun pengertian ini disebut dalam Fathul Qarib yang notabene adalah kitab fikih. Pengertian ini juga banyak disebutkan dalam kitab-kitab usul fikih, seperti al-Ibhaj, Tasyniful al-Masami’, Mukhtasar Ibn al-Hajib dan lain sebagainya. Sehingga, pengertian fikih versi ini sejatinya adalah pengertian menurut para ushuliyyin, seperti keterangan dalam kitab Mausu’ah al-Fiqh al-Islami karya dari Kementerian Wakaf Mesir.

Dalam pengertian ini, pengetahuan atas al-ahkam asy-syar’iyyah al-‘amaliyyah (hukum-hukum syariat amaliyah) haruslah muktasab (didapatkan) dari dalil-dalil terperinci. Maksudnya, pengetahuan atas hukum tersebut haruslah lewat jalur ijtihad, bukan atas dasar taklid.

Dengan pengertian ini, para ulama yang belum mencapai derajat mujtahid mutlak tidak bisa dikatakan sebagai fakih. Imam an-Nawawi, Imam Ar-Rafi’i, Imam al-Juwaini, dan imam mujtahid mazhab yang lain tidak bisa disebut sebagai fikih, karena memang belum mencapai level mampu berijtihad secara mandiri. Jika sekelas beliau-beliau saja belum bisa disebut fakih dalam pengertian ushuliyyin, maka bagaimana dengan ulama-ulama yang derajat kelimuannya di bawah mereka?! Jawabannya jelas: mereka tidak bisa disebut fakih.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa fikih dalam pandangan ushuliyyin mempunyai syarat yang cukup berat untuk dipenuhi, yaitu hasil hukum tersebut harus berasal dari kemampuan ijtihad. Dengan begitu, fakih dalam pengertian ushuliyyin juga harus mempunyai kemampuan ijtihad. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa fakih dalam pandangan ushuliyyin adalah mujtahid mutlak.

Alasan mengapa ushuliyyin mengartikan fakih sebagai mujtahid mutlak adalah karena objek kajian mereka adalah seputar piranti-piranti ijtihad yang digunakan untuk menghasilkan sebuah hukum syariat, seperti dilalah al-alfadz, qiyas, istihsan, sadd adz-dzarai’ dan lain sebagainya. Dengan demikian, fakih adalah orang yang mampu menggunakan piranti-piranti tersebut yang tidak lain dan tidak bukan adalah mujtahid mutlak. Dalam pandangan mereka, orang yang belum mencapai derajat mujtahid mutlak belum bisa disebut sebagai fakih.

Berbeda dengan ushuliyyin, menurut fukaha, fikih setidaknya mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama, fikih adalah:

حفظ طائفة من مسائل الأحكام الشرعية العملية الواردة بالكتاب والسنة وما استنبط منها, سواء أحفظت مع أدلتها أم مجردة عن هذه الدلائل

Menghafal sekelompok permasalahan hukum syariat amaliah yang bersumber dari Al-Qur’an, sunah, dan istinbat hukum para ulama, baik dihafalkan dengan dalil-dalilnya maupun tidak.

Sedangkan pengertian kedua adalah:

مجموعة الأحكام والمسائل الشرعية العملية

Kumpulan hukum dan permasalahan syariat amaliah.

Secara umum, dua pengertian di atas mempunyai kesamaan, yaitu bahwa menurut fukaha, fikih adalah sekumpulan hukum syariat amaliah entah hukum tersebut didapatkan dari ijtihad langsung maupun dari jalur taklid. Bahkan, dalam pengertian pertama, kumpulan hukum saja meskipun tanpa disertai dalil-dalilnya juga sudah bisa dikatakan sebagai fikih. Dengan demikian, menurut kelompok ini, fikih adalah produk hukum itu sendiri, entah didapatkan dari ijtihad sendiri ataupun tidak.

Fikih dari sudut pandang fukaha ini mempunyai makna yang lebih luas daripada fikih versi ushuliyyin. Kalau dalam versi ushuliyyin fakih itu adalah mujtahid, maka dalam versi fukaha, fakih adalah semua orang yang mempunyai fokus kajian dalam hukum syariat, entah ia sudah mencapai derajat mujtahid ataupun belum. Dengan demikian, fakih versi fukaha ini dapat mencakup mulai dari mujtahid mutlak hingga mujtahid tarjih. Bahkan, para ulama yang memang fokus menghafal kesimpulan hukum dari kitab-kitab fikih mazhab—seperti yang biasa kita temui di Indonesia—sudah dapat dikatakan sebagai fakih menurut pengertian ini.

Pengertian fikih versi fukaha ini punya cakupan lebih luas dibanding pengertian versi ushuliyyin disebabkan karena fokus kajian fukaha adalah produk-produk hukum syariat itu sendiri atau biasa dikenal sebagai furu’. Sehingga, setiap produk hukum—entah didapat dari ijtihad ataupun taklid—dapat dikatakan sebagai fikih. Dengan begitu pun, semua ulama yang memang fokus kajiannya adalah produk hukum syariat dapat dikatakan sebagai fakih, entah ia sudah mencapai derajat mujtahid mutlak atau tidak.

Dengan semua keterangan di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pengertian fikih antara ushuliyyin dan fukaha. Karena perbedaan tersebut, terjadilah perbedaan pula mengenai pengertian fakih antara dua kelompok tersebut. Fakih menurut ushuliyyin adalah mujtahid mutlak yang mampu berijtihad atas sebuah hukum. Sedangkan fakih versi fukaha bermakna lebih luas, yaitu setiap ulama yang fokus kajiannya adalah fikih meskipun ia belum mencapai derajat mujtahid dan masih taklid terhadap mazhab seorang mujtahid.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa menggelari sebutan fakih versi ushuliyyin—seperti pengertian dalam kitab Fathul Qarib—kepada ulama yang belum mencapai derajat mujtahid mutlak jelaslah kurang tepat. Jika kita ingin menyebut para ulama seperti Imam an-Nawawi, Imam ar-Rafi’i dan mungkin bahkan kyai-kyai kita di Indonesia yang pakar dalam fikih, maka haruslah menggunakan pengertian fakih versi fukaha. Dapat dipahami pula bahwa setiap bidang keilmuan pasti mempunyai istilahnya sendiri sesuai dengan objek pembahasan yang dikaji. Semoga bermanfaat.

 

Sumber bacaan:

Kementerian Wakaf dan Urusan Keagamaan Mesir, Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Ahram Press, 2015).

Al-Ghazi, Ibn Qasim, Fathul Qarib al-Mujib, (Kairo: Darul Fadhilah, 2012).

As-Subki, Tajuddin, Tasnif al-Masami’, (Makkah: Maktabah Cordoba, 1998).

Kontributor

  • M Jauharil Ma'arif Annur

    Mahasiswa Universitas al-Azhar asal Sumatera Selatan. Hanya Seorang Pembelajar yang Tak Kunjung Mencapai Tujuannya. Dapat dihubungi melalui IG: @jauharil_maarif.