Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Maaf Kanjeng Nabi, aku tidak mencintainya

Avatar photo
36
×

Maaf Kanjeng Nabi, aku tidak mencintainya

Share this article

Syekh Ali Jum’ah berpendapat bahwa seorang perempuan juga memiliki hak untuk memilih lelaki yang dia inginkan untuk menjadi pasangan hidupnya. Hak tersebut sama halnya dengan seorang lelaki ketika memilih seorang wanita untuk dilamar lalu dinikahi.

Pendapat tersebut dituliskan oleh Syekh Ali Jum’ah dalam bukunya Al-Mar’ah fil Al-Hadarah Al-Islamiyyah, Bayna Nushus Asy-Syar’i wa Turatsil Fiqhi wa Al-Waqa’i’ Al-Ma’isy (Perempuan dalam Peradaban Islam: antara teks-teks syariat, turast fikih, dan realita kehidupan),

Dalam buku itu, Syekh Ali Jum’ah juga mengungkapkan bahwa tidak bisa lagi ada ketentuan seorang wali dari seorang perempuan yang boleh memaksakan kehendaknya untuk menikahkan tersebut tanpa persetujuan perempuan tersebut.

Ketika mengungkapkan pendapat tersebut, Syekh Ali Jum’ah mengutip dua kisah menarik tentang dua orang Shahabiyah (perempuan dari golongan Sahabat Nabi, golongan yang masih bertemu langsung dengan Kanjeng Nabi).

Kisah pertama sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, sepupu Kanjeng Nabi SAW.

Alkisah, ada seorang budak laki-laki muslim bernama Mughits. Dia memiliki istri bernama Barirah. Pada suatu hari, Kanjeng Nabi yang sedang bersama dengan Ibnu Abbas melihat Mughits berjalan di depan Barirah, karena mereka baru saja bercerai. Dan Mughist berjalan sembari menangis, hingga air matanya mengalir membasahi jenggotnya.

Kanjeng Nabi berkata pada Ibnu Abbas, “Wahai Abbas, apakah kamu tidak merasa takjub dengan cinta Mughits pada Barirah?”

Kemudian Kanjeng Nabi melanjutkan, “Bagaimana jika aku merujukkan (membuat mereka balikan)?”

Ketika Barirah mendengar perkataan Kanjeng Nabi tersebut, Barirah berkata pada Kanjeng Nabi, “Apakah engkau memerintahkan kepadaku untuk rujuk, Kanjeng Nabi?”

Kanjeng Nabi SAW menjawab, “Aku sebenarnya sedang mengajak untuk bermusyawarah.”

Barirah menjawab, “Maaf Kanjeng Nabi, saya merasa tidak membutuhkan dia (Mughits).”

Syekh Ali Jum’ah menggarisbawahi bahwa dalam kisah ini, Kanjeng Nabi memposisikan diri sebagai seorang penengah dan mediator pada permasalahan perceraian Mughits-Barirah. Nabi memberikan pilihan pada Barirah untuk memilih antara rujuk (balikan) atau tidak.

Kanjeng Nabi sama sekali tidak memaksakan agar mereka berdua rujuk, dan Kanjeng Nabi juga menghormati hak Barirah sebagai seorang wanita merdeka untuk menentukan pilihan dalam hubungan rumah tangganya.

Kisah kedua, ada seorang perempuan yang memiliki suami bernama Tsabit bin Qais datang kepada Kanjeng Nabi SAW dan mencurahkan isi hatinya tentang pernikahannya dengan Tsabit.

Wanita itu berkata kepada Kanjeng Nabi SAW, “Ya Rasulullah, bukannya saya mempermasalahkan agama dan akhlak Tsabit (Tsabit adalah orang yang baik dalam agama dan akhlaknya), namun hanya saja aku tidak mencintainya.”

Kemudian Kanjeng Nabi SAW menjawab, “Apakah kamu siap untuk mengembalikan kepadanya kebun yang telah Tsabit berikan kepadamu?”

Wanita itu menjawab, “Siap, Kanjeng Nabi.”

Singkat cerita, wanita tersebut mengembalikan kebun yang telah diberikan oleh Tsabit, lalu Kanjeng Nabi Muhammad SAW memerintahkan Tsabit untuk menceraikan istrinya itu. Mereka berdua pun akhirnya berpisah.

Dua kisah singkat dari dua orang Sahabiyah ini menunjukkan betapa Kanjeng Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung dan memperhatikan perasaan wanita dalam berumah tangga. Sehingga Syekh Ali Jum’ah mengulangi kembali pentingnya menghormati hak wanita dalam memilih lelaki untuk menjadi pasangan hidupnya, dan menghargai kehendak wanita, bahkan ketika wanita tersebut ingin untuk berpisah dari pasangannya.

Kontributor

  • Landy T. Abdurrahman

    Asal Purworejo, Jawa Tengah. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Sekarang sedang menyelesaikan program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta