“Mereka menyeru agama baru“. Demikian rangkuman krisis yang diungkapkan oleh Imam Besar al-Azhar asy-Syarif Dr. Ahmed At-Tayeb, dalam pidatonya pada peringatan 10 tahun berdirinya Baitul Ailah Mashriyah (Rumah Keluarga Mesir).
Pernyatan Grand Syekh al-Azhar itu bermula dari seruan yang bermaksud untuk menyatukan agama-agama samawi (Islam, Kristen dan Yahudi) yang telah mencuat belakangan ini di bawah nama satu agama, agama Ibrahim baru atau Abrahamisme.
Berikut penjelasan tentang apa itu agama Ibrahim dan siapa yang memunculkan istilah itu, dirangkum dari harian Mesir al-Ahram.
Apa Itu Abrahamisme?
Agama Ibrahim atau agama monoteistik yang mengimani adanya Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta merupakan sekumpulan perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim yang dari sana muncul agama-agama Ibrahim atau apa yang dalam syariat Islam dikenal sebagai agama-agama samawi. Yaitu Yahudi, Kristen dan yang terakhir adalah agama Islam.
Siapa Orang Pertama yang Mencetuskan Abrahamisme?
Yang pertama menggunakan istilah ini–untuk tujuan politik murni–adalah mantan Presiden AS Donald Trump, saat mengomentari hubungan Emirat-Israel dengan istilah yang terdengar untuk pertama kalinya. Trump menggambarkan kesepakatan normalisasi dua negara itu sebagai “Perjanjian Abraham”.
Kemudian muncul gelombang sporadis muncul di kalangan intelektual Amerika, terutama di Peace Islands Institute yang mulai berkampannye kepada negara-negara Arab agar melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel, kemudian menyerukan untuk menyatukan agama-agama monoteistik di bawah satu agama yang disebut “agama Ibrahim”.
Lewat ajakan untuk memeluk agama gabungan ini, terlihat jelas niat-niat politik yang ternyata bermuara pada misi mengegolkan normalisasi total yang diupayakan Israel dengan negara-negara Arab.
Organisasi Interfaith Encounter Association atau yang disingkat dengan (I I I) menjadi pendukung utama upaya penyatuan agama-agama samawi itu. Mereka berusaha mendirikan sebuah negara di bawah satu kepercayaan yang menyatukan semua orang di wilayah tersebut.
Bagaimana Sikap Imam Besar Al-Azhar?
Imam Besar Al-Azhar menolak sebutan agama Abrahamisme yang dicetuskan oleh Donald Trump. Beliau tidak menerima agama-agama samawi digabungkan ke dalam satu agama gabungan.
Grand Syekh Al-Azhar mengatakan dalam perayaan Baitul Ailah Mashriyah bahwa Islam tidak menerima seruan penggabungan agama dan menyebut hal itu tidak mungkin terjadi.
“Seruan agama gabungan yang bernama Abrahamisme adalah upaya untuk mengacaukan persaudaraan Islam dan Kristen dalam membela hak warga negara Mesir untuk hidup aman, damai dan tentram.” katanya.
Syekh Ahmed at-Tayeb menjelaskan bahwa seruan penggabungan agama ini sama seperti seruan globalisasi. “Meskipun di permukaan tampak sebagai seruan untuk penyatuan manusia dan penghapusan akar konflik, namun ia sendiri menjadi seruan untuk menyita harta paling berharga bagi umat manusia. Yaitu, kebebasan berkeyakinan, beragama dan memilih agama yang kesemuanya itu dijamin oleh agama.” kata beliau dikutip dari Al-Ahram.
Abrahamisme Menjadi Sayap Freemasonry?
Dr. Ahmed Karimah, Profesor Perbandingan Jurisprudensi dan Hukum Islam di Universitas Al-Azhar Asy-Sharif menggambarkan seruan kepada Abrahamisme sebagai sayap kedua dari gerakan Freemasonry sekuler.
Beliau mengatakan, “Abrahamisme adalah seruan agama yang salah. Dalam Surat Al-Ma’idah Allah menegaskan, “Untuk masing-masing umat di antara kamu, telah Kami berikan aturan dan jalan yang terang.’ Umat Islam Muslim percaya pada ajaran hanifiyah, memurnikan tauhid kepada Allah.”
Dr. Karimah menegaskan bahwa seruan agama gabungan ini adalah skema masonik Amerika yang telah menarik beberapa sistem dan institusi keagamaan “non-Islam” untuk menghapuskan hukum-hukum agama samawi, terutama Islam dan Kristen.
Dijelaskan olehnya bahwa seruan agama gabungan ini bertujuan untuk memuluskan ambisi zionisme Israel dan meleburkan masyarakat Arab khususnya ke dalam entitas Zionisme, dengan mengklaim bahwa sebagian besar nabi dan rasul berafiliasi kepada Nabi Ibrahim.
Ulama besar Al-Azhar itu menjelaskan bahwa detail keyakinan dan hukum antara tiap agama berbeda-beda. Setiap agama memiliki kekhasan sendiri termasuk Yahudi, Kristen dan Islam. “Al-Azhar akan menghalangi upaya mengzioniskan wilayah Arab.” ujarnya.
Darimana Rujukan Seruan Abrahamisme?
Sumber agama Ibrahim baru adalah pusat-pusat kajian besar dan misterius yang baru-baru ini menyebar ke seluruh dunia dan menyebut diri mereka “Pusat Diplomasi Spiritual.”
Istilah ini diluncurkan murni untuk tujuan politik. Pusat-pusat diplomasi ini, yang bekerja dalam kerangka penyebaran cinta dan toleransi, bertugas untuk mengundang ulama senior dari tiga agama Ibrahim, untuk menemukan nilai-nilai umum yang ada di ketiga agama samawi seperti: cinta, toleransi, kesetaraan, koeksistensi dan penerimaan terhadap orang lain yang berbeda.
Pusat-pusat diplomasi spiritual mengklaim mengusung misi pencerahan dan religiusitas. Mereka bekerja dalam upaya melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan dan teks-teks tafsir untuk membuka jalan bagi kerja-kerja pusat-pusat diplomasi spiritual yang tersebar di pusat-pusat konflik, dan fokus pada nilai-nilai toleransi, terutama yang berkaitan dengan masalah pelik di Timur Tengah.
Apa Misi Terselubung Abrahamisme?
Meskipun semua agama samawi sudah meyakini keberadaan Nabi Ibrahim, Ishaq dan Yaqub, tetapi ada perbedaan antara mempercayai risalah para nabi sebelumnya dan menggabungkan risalah mereka menjadi satu agama baru.
Gamal Asaad, pemikir Koptik Mesir, menegaskan bahwa kepercayaan pada agama-agama samawi bersifat alamiah dan wajar. “Tetapi ketika kita berbicara tentang satu agama yang disebut Abrahamisme di bawah klaim bahwa Ibrahim adalah bapak para nabi, ini berarti mengekang kebebasan beragama, dan menciptakan agama baru yang tidak ada hubungannya dengan esensi agama monoteistik.” jelasnya dikutip Al-Ahram.
Aspek lain yang dirujuk oleh Gamal Asaad adalah bahwa agama gabungan ini ternyata adalah seruan Israel yang bersamaan dengan awal-awal normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab.
Dia percaya bahwa seruan penggabungan agama ini tidak ada hubungannya dengan agama karena tidak logis. “Ini hanya strategis politik bagaimana Israel dapat masuk ke negara-negara Islam di Timur Tengah.”