Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Berita

Ultimatum Emmanuel Macron Membuat Muslim Prancis Tertekan

Avatar photo
34
×

Ultimatum Emmanuel Macron Membuat Muslim Prancis Tertekan

Share this article

Warga muslim Prancis merasa tertekan ketika Presiden Emmanuel Macron berusaha menetapkan lebih banyak batasan tentang bagaimana mereka menjalankan keyakinan mereka.

Presiden Prancis itu, menurut sebuah koran Paris, menekan Dewan Ibadah Muslim Prancis (CFCM) untuk menandatangani piagam “nilai-nilai Republik”.

Ultimatum 15 hari itu keluar di tengah tuduhan bahwa pemerintah Macron sedang menstigmatisasi pemeluk Islam menyusul tiga serangan teroris yang terjadi di sana.

Macron ingin Dewan Ibadah Muslim Prancis itu menyatakan secara terbuka bahwa Islam hanyalah sebuah agama dan bukan gerakan politik.

Ia juga ingin menghentikan bantuan negara-negara muslim lain bagi komunitas muslim Prancis, yang dipandang pemerintah sebagai “campur tangan asing”.

Rencana kaku Macron dalam menangani “ekstrimisime” ini telah dikecam oleh banyak masyarakat muslim di dalam dan luar negeri.

Menurut Yasser Louati, pembela hak asasi manusia Prancis yang memimpin LSM ‘Committee for Justice & Liberties For All’, langkah terbaru Macron itu sebenarnya hendak “mengalihkan perhatian publik dari kegagalannya sendiri dalam mencegah serangan.”

“Ini juga mengafirmasi kembali gagasan bahwa ada hubungan antara terorisme dan pengawasan terhadap minoritas muslim,” ujar Louati dikutip TRT World Sabtu (21/11).

Baca juga: Reaksi Al-Azhar atas Ketegangan yang Terjadi di Perancis

“Sangat mudah untuk melihat alasannya. Tanggapan Macron terhadap serangan yang terjadi adalah untuk menekan LSM Muslim dengan alasan yang tidak tepat,” tambahnya.

Rancangan undang-undang yang akan dibahas bulan depan, bisa membubarkan lembaga-lembaga LSM muslim jika tindakan mereka dianggap “mengancam martabat manusia” atau jika “melakukan tekanan psikologis atau fisik pada orang lain”.

Amnesty International mengatakan bahwa beberapa ketentuan ancaman akan menimbulkan “efek mengerikan pada pembela hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil”.

“Undang-undang tentang pembubaran organisasi di Prancis sudah sangat bermasalah,” kata Marco Perolini, peneliti Eropa Barat Amnesty International.

“Ini tidak termasuk pengamanan yang diperlukan karena pemerintah dapat membubarkan organisasi dengan alasan yang tidak jelas dan tanpa izin sebelumnya dari hakim,” tambahnya.

Badan amal Muslim terbesar Prancis, BarakaCity, sebelumnya telah ditutup oleh Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, tanpa pengawasan yudisial. Pendirinya, Idriss Sihamed, baru-baru ini berbicara kepada TRT World dan mengatakan penutupan itu bermotif politik.

Undang-undang yang baru dibuat, menurut Perolini, tidak hanya akan memberikan lebih banyak alasan kepada negara untuk membubarkan LSM, tetapi juga, misalnya, “organisasi akan bisa dibubarkan jika kegiatannya mengancam ‘martabat manusia’, meskipun sangat ambigu.”

“Rancangan tersebut juga memperkenalkan prosedur darurat yang menjadi dasar Menteri Dalam Negeri untuk menangguhkan kegiatan suatu organisasi selama tiga bulan,” tambahnya.

Lebih luas lagi, Perolini mengatakan bahwa undang-undang yang tidak jelas dapat digunakan oleh pemerintah untuk membungkam perbedaan pendapat dan menyerang pembela HAM dan LSM.

Dewan Ibadah Muslim Prancis menghindar dari bersikap menentang tuntutan Macron dan berusaha untuk mengakomodasi retorikanya yang notabenenya bertentangan dengan komunitas muslim yang diwakilinya.

Baca juga: Berikut Enam Pertanyaan yang Jelaskan Ketegangan di Perancis

Awalnya, Dewan CFCM itu didirikan pada tahun 2003 oleh Menteri Dalam Negeri saat itu dan calon Presiden Prancis Nicolas Sarkozy.

Meskipun tidak memiliki status hukum khusus, namun lembaga itu sering digunakan oleh pemerintah Prancis sebagai cara untuk mempengaruhi komunitas muslim secara lebih luas.

Mengingat betapa beragamnya komunitas muslim di Prancis, beberapa orang berpendapat bahwa badan tersebut sama sekali tidak mencerminkan pemangku kepentingan kelompok muslim yang ada di sana.

Banyak yang “sangat khawatir” tentang niat pemerintah terhadap mereka, kata Louati. Dia menambahkan, “Mereka bahkan tidak tahu atau tidak percaya kepada Dewan Ibadah Muslim Prancis.”

Keinginan Macron terhadap komunitas muslim, menurut Louati, memberi kesan bahwa dia “bertindak sebagai kepala administrasi kolonial.”

Dalam salah satu pidatonya, Macron menggambarkan Islam sedang “dalam kondisi krisis” dan membela hak-hak majalah Charlie Hebdo menyusul penerbitan kartun Nabi Muhammad, yang dipandang masyarakat muslim Prancis dan dunia sebagai serangan.

Kontributor