Saeb Erekat, tokoh penting dan juru bicara negosiasi Palestina wafat pada Selasa kemarin (10/11) dalam usia 65 tahun. Dia meninggal setelah dirawat di rumah sakit karena komplikasi virus Covid-19.
Pihak keluarga menceritakan pesan Saeb Erekat sebelum wafat. “Al-Quds atau Yerusalem adalah ibukota Palestina,” pesan dia, “dan setiap warganya harus memperoleh hak tanah air mereka sendiri.” Dia berharap Palestina bersatu dan pertikaian berakhir.
Al-Azhar turut menyampaikan belasungkawa atas kepergiannya. Grand Syekh Ahmed At-Tayeb menyebut dia sebagai sosok pejuang yang menghabiskan seluruh usianya untuk melawan penjajahan Israel dan memperjuangkan Palestina di kancah diplomasi internasional.
Erekat adalah negosiator, tokoh politik Palestina dan anggota Fatah, yang mengawal hubungan negaranya dengan kekuatan dunia selama beberapa dekade.
“Dengan tidak adanya pembicaraan dengan Israel dalam beberapa tahun terakhir, yang melihat runtuhnya hubungan Palestina-AS selama kepresidenan Donald Trump, Erekat tetap menjadi suara yang fasih untuk perjuangan rakyatnya.” tulis Asharq Al-Awsat, Selasa (10/11).
Dalam kapasitasnya sebagai akademisi dan cendekiawan, Erekat adalah bagian dari setiap tim yang bernegosiasi dengan Israel sejak 1991, kecuali dari tim delegasi yang diam-diam menyusun Kesepakatan Oslo 1993.
“Sebagai tokoh kunci dalam negosiasi Kesepakatan Oslo, Erekat selalu menganjurkan solusi dua negara yang adil dan bertahan lama untuk konflik Israel-Palestina. Dia berkontribusi dalam hubungan dekat antara Uni Eropa dan Palestina.” kata Josep Borell, Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa.
Presiden Palestina Mahmud Abbas menghormatinya dengan menyatakan, “Kepergian seorang saudara dan seorang teman dari pejuang besar, Dr. Saeb Erekat, adalah kerugian besar bagi Palestina dan rakyat kami, dan kami sangat sedih”.
Baca juga: 100 Tahun Deportivo Palestino, Klub Sepak Bola Orang Palestina Di Chili
Saeb Erekat dilahirkan di Yerusalem pada tahun 1955, dan dibesarkan dalam bayang-bayang kekalahan Arab melawan Israel dalam Perang Enam Hari 1967.
Erekat mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk mencari penyelesaian atas krisis tersebut. Tapi dia menyaksikan dengan putus asa solusi dua negara yang dia kerjakan begitu lama, menjadi semakin terancam oleh pembangunan pemukiman Israel dan kekerasan tentara Isarel serta perpecahan di tubuh Palestina sendiri.
Pada 2015, ketika terjadi gelombang serangan pisau oleh warga Palestina terhadap pasukan Israel, Erekat menyalahkan kebijakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas kekerasan tersebut.
“Saya mengutuk mereka yang menghancurkan harapan,” kata Erekat ketika ditanya apakah dia melihat perlunya mengutuk serangan Palestina.
“Saya mengutuk mereka yang memilih pemukiman dan pendiktean daripada perdamaian dan negosiasi. Dan saya katakan kepada Anda, saya tidak memaafkan pembunuhan warga sipil baik srael atau Palestina.” kata dia.
“Saya orang yang cinta damai. Saya ingin berdamai. Saya mengakui hak Israel untuk hidup.” imbuhnya.
Presiden Mahmud Abbas dalam pidato televisi menyerukan agar rakyat Palestina menggelar aksi damai melawan agresi Israel di Palestina. Dia juga mengecam Israel sebagai pemicu aksi kekerasan tersebut dan meminta masyarakat internasional berperan aktif menjadi penengah.
Erekat menjadi anggota parlemen Palestina sejak 1996 dari fraksi Fatah dan terhitung salah satu orang terdekat Yasser Arafat, pemimpin bersejarah gerakan nasional Palestina.
Dia menjadi tokoh kunci dalam lanskap politik Palestina, seorang utusan yang sangat bsia diandalkan dan seorang ahli taktik ramah yang tahu kapan harus marah.
Dalam beberapa tahun terakhir, dia menjabat sebagai sekretaris jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dan merupakan pendukung pemerintahan Abbas.
Baca juga: Edward Said, Pikiran Palestina di Tanah Amerika
Pria bertubuh gemuk yang selalu mengenakan setelan jas, ini adalah lawan bicara utama dengan pejabat asing serta suara Palestina terkemuka di media sosial. Dia adalah salah satu kritikus paling keras terhadap kebijakan Israel untuk tidak mengembalikan jenazah orang Palestina yang tewas dalam serangan terhadap Israel, terutama setelah keponakannya sendiri ditembak mati di pos pemeriksaan Tepi Barat pada bulan Juni.
Selama berjuang puluhan tahun, Erekat mengambil bagian dalam KTT Camp David yang gagal pada Juli 2000, dan pembicaraan September 2010 di Washington, yang berhenti secara berturut-turut mengenai pembangunan pemukiman Israel.
Dia juga menjadi kepala negosiator pada tahun 2014 ketika Presiden AS Barack Obama mencoba memulai kembali upaya perdamaian.
Ditunjuk pada 2003 untuk memimpin tim perunding PLO, Erekat sempat mengundurkan diri dari jabatannya pada 2011 karena “bertanggung jawab atas pencurian dokumen dari kantornya”.
Dia merujuk pada lebih dari 1.600 dokumen tentang pembicaraan dengan Israel antara 1999 dan 2010, yang dirilis pada Januari 2011 oleh saluran Al-Jazeera di Qatar dan diberi judul “The Palestine Papers”.
Pihak berwenang Palestina bekerja untuk membatasi kerugian yang disebabkan oleh publikasi itu, di mana isinya menunjukkan bahwa para negosiator Palestina siap untuk menawarkan konsesi yang signifikan tanpa mengamankan jaminan Israel dalam masalah-masalah utama seperti status Yerusalem timur dan nasib para pengungsi.
Meski dokumen tersebut tidak menimbulkan gejolak besar dalam opini publik Palestina, posisi Erekat saat itu melemah dengan adanya pengumuman bahwa para tersangka pelaku kebocoran bekerja untuk tim negosiasi PLO yang dipimpinnya.
Erekat memperoleh gelar BA dan MA dalam ilmu politik dari Universitas San Francisco. Dia juga memegang gelar doktor dalam studi perdamaian dari Universitas Bradford di Inggris. Dia mengajar di Universitas An-Najah di kota Nablus, Tepi Barat dari 1979 hingga 1991.
Baca juga: Kala Mahmoud Darwish Menjadi Mimpi Buruk Bangsa Israel
Erekat pernah menjadi wartawan pada harian independen Al-Quds di Yerusalem timur. Erekat menulis banyak buku tentang politik.
Ayah empat anak ini tinggal di kota oasis Tepi Barat, Jericho. Setelah beberapa tahun berjuang melawan penyakit fibrosis paru, Erekat menjalani transplantasi paru-paru di AS pada 2017.
Pada 9 Oktober, PLO mengumumkan bahwa Saeb Erekat telah tertular Covid-19, dan pada 18 Oktober dia dirawat di rumah sakit Hadassah Ein Kerem Yerusalem, di mana dia meninggal pada hari Selasa kemarin.