Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Berita

Hipokritnya Macron dan Ketegasan Syekh Al-Azhar dalam Polemik Charlie Hebdo

Avatar photo
26
×

Hipokritnya Macron dan Ketegasan Syekh Al-Azhar dalam Polemik Charlie Hebdo

Share this article

Reaksi kemarahan umat Islam terhadap karikatur Nabi Muhammad SAW yang diterbitkan ulang oleh Charlie Hebdo belum selesai. Usaha Al-Azhar membuka kantor di Eropa terganjal pasca Grand Syekh Al-Azhar mengecam keras majalah satir mingguan Perancis itu.

Dalam laporan harian Mesir El-Nabaa Minggu (13/9), Departemen Misi Luar Negeri Al-Azhar menyatakan bahwa beberapa negara Eropa telah menolak permintaannya untuk membuka kantor Al-Azhar di wilayah mereka guna menyambut kedatangan lebih banyak delegasi Al-Azhar.

Departemen Misi Luar Negeri Al-Azhar mengaitkan penolakan permintaan tersebut dengan kampanye penolakan oleh Grand Syekh Al-Azhar Ahmed At-Tayeb terhadap Charlie Hebdo lantaran mempublikasikan ulang beberapa karikatur yang merendahkan kehormatan Nabi Muhammad SAW.

Grand Syekh Ahmed At-Tayeb telah mengeluarkan pernyataan dalam tiga bahasa (Arab, Inggris dan Prancis) pada 3 September lalu. “Menghina seorang nabi menunjukkan rusaknya semua nilai kemanusiaan dan peradaban,” ujar beliau dalam pernyataannya.

Baca juga: Terbitkan Ulang Kartun Satir Rasulullah, Al-Azhar Kecam Charlie Hebdo

Dilansir dari Al-Monitor Senin (21/9), beberapa surat kabar dan pengamat Timur Tengah percaya bahwa pernyataan Grand Syekh Al-Azhar itu secara terbuka mengkritik Presiden Prancis Emmanuel Macron yang membela Charlie Hebdo dengan alasan kebebasan pers.

Grand Syekh Al-Azhar menyatakan, “Membenarkan penghinaan semacam itu dengan dalih melindungi kebebasan berekspresi adalah kesalahan dalam memahami perbedaan antara hak asasi manusia untuk kebebasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah pembelaan melindungi kebebasan.”

Dua hari sebelum pernyataan Grand Syekh Al-Azhar, Emmanuel Macron mengumumkan bahwa dia tidak akan melarang atau mengutuk karikatur Nabi Muhammad dan membenarkan apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo. “Perancis adalah negara yang menikmati kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kebebasan pers. Sama sekali bukan urusan presiden untuk menilai pilihan editorial wartawan di ruang redaksi.” kata Macron pada 1 September lalu.

Sehari kemudian, majalah satir Charlie Hebdo mulai menerbitkan ulang karikatur yang menghina Nabi Muhammad bertepatan dengan dimulainya persidangan sekelompok anggota al-Qaeda yang terlibat dalam penyerangan kantor majalah itu pada 2015. Sebanyak 12 orang dan 11 lainnya luk-luka dalam serangan itu.

Seorang dosen Universitas Al-Azhar mengatakan kepada Al-Monitor bahwa Dewan Ulama Senior Al-Azhar dan Grand Syekh Ahmed At-Tayeb tidak meminta otoritas Mesir untuk membuat tanggapan resmi atas kebungkaman pemerintah Prancis terkait karikatur Charlie Hebdo dan atas penolakan sejumlah negara Eropa terkait pembukaan kantor administrasi Al-Azhar untuk misi di negara mereka.

Namun dosen yang meminta tidak disebutkan namanya itu mencatat bahwa beberapa dosen Al-Azhar berharap otoritas Mesir mengeluarkan pernyataan sikap menanggapi kebijakan pembiaran dari pemerintah Perancis.

Lebih luas lagi, sikap resmi pemerintah Arab memainkan peran kunci dalam meringankan serangan terhadap kesucian simbol Islam dan dalam meredam ujaran kebencian terhadap masyarakat muslim Eropa.

Mesir dan Arab Saudi memanggil duta besar mereka untuk Denmark pada 2006 dan 2008 serta menyampaikan keberatan resmi mereka atas harian Denmark Jyllands-Posten yang menerbitkan gambar-gambar kartun Nabi Muhammad pada 2006 dan diterbitkan ulang pada 2008. “Gambar-gambar itu dihentikan di Denmark pada 2008 dan tidak terulang dalam 12 tahun terakhir.” tulis Al-Monitor.

Namun itu tidak terjadi dalam kasus Charlie Hebdo. Sumber Al-Monitor menyebutkan bahwa para dosen Al-Azhar memahami sikap lunak pemerintah Mesir dengan memilih jalur negosiasi dalam menanggapi masalah karikatur majalah satir Perancis itu.

“Kami yakin Presiden Abdel Fattah el-Sisi akan berkontribusi untuk menyelesaikan krisis pendirian kantor Al-Azhar di Eropa, karena Mesir melihat Al-Azhar sebagai salah satu alat soft power utama diplomasi dan sarana memerangi terorisme dan ekstremisme.” tandas mereka.

Baca juga: Grand Syekh Ahmad At-Tayeb Jelaskan Alasan Al-Azhar Menganut Paham Asy’ariyah

Jurnalis oposisi Mesir, Akram Azab mengatakan bahwa kemungkinan pemerintah Mesir menekan Al-Azhar agar menghentikan kampanye melawan Charlie Hebdo dan Perancis. Namun Abdul Qader Atta, profesor ilmu politik Universitas Assiut Mesir mengesampingkan kemungkinan adanya potensi perselisihan akibat kampanye Al-Azhar antara Prancis dan Mesir di satu sisi dan antara Mesir dan Al-Azhar di sisi lain.

Pernyataan Al-Azhar menurut dia, mengindikasikan kemungkinan mempercepat dialog antar pejabat Mesir dan Perancis tentang bagaimana membatasi ujaran kebencian terhadap umat Islam dan simbol kesucian agama mereka.

Perancis sendiri dinilai memiliki standar ganda dalam mendukung kebebasan pers. Yang terakhir, Presiden Macron mencela seorang jurnalis Perancis karena mengungkap detail pertemuannya dengan para pemimpin Hizbullah selama kunjungannya ke Beirut. Namun otoritas Prancis tidak melihat sikap pemimpinnya itu sebagai perilaku yang menentang kebebasan pers.

Kontributor

  • Abdul Majid

    Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka. Penulis dapat dihubungi di IG: @amajid13.