Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan beberapa cuplikan video tanya jawab yang ada di Youtube, isinya adalah sebuah pernyataan bahwa julukan Wahabi/Wahabiyah penisbatannya keliru jika disandarkan pada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, setelah menyimak dengan seksama, dapat disimpulkan bahwa klaim tersebut didasarkan setidaknya pada tiga hal.
Pertama, penisbatan Wahabiyah dianggap lebih tepat jika disematkan kepada salah satu sekte khawarij yang dipelopori oleh Abdul Wahab bin Rustum, salah satu pecahan dari sekte Wahbiyah Ibadiyah yang sudah ada sejak abad ke-2 H, bukan kepada sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
Kedua, alasan yang mendasari julukan Wahabiyah lebih tepat disematkan kepada sekte khawarij tersebut adalah karena julukan atau nisbat itu sesuai dengan nama pendirinya (Abdul Wahab bin Rustum), sedangkan untuk sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, seharusnya nisbat dan julukannya adalah Muhammadiyah bukan Wahabiyah, karena Wahab merupakan nama ayahnya, bukan nama dari sang pendiri sekte.
Ketiga, julukan Wahabiyah tidak pernah digunakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan ulama-ulama setelahnya yang mengikuti pemikiran beliau. Adapun julukan yang biasa digunakan oleh sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab adalah Salafiyah, karena ajaran-ajarannya yang mengacu pada salafus-saleh, sedangkan sebutan Wahabiyah bersumber dari orang-orang yang berseberangan dan tidak suka dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab.
Sepintas alasan-alasan di atas terdengar sangat rasional dan dapat kita terima, namun jika kita telisik lebih dalam mengenai fakta-fakta sejarah yang ada, maka kita akan temukan distorsi yang sangat gamblang antara alasan-alasan di atas dengan fakta sejarah yang ada.
Jika kita perhatikan baik-baik penisbatan mazhab-mazhab yang ada dalam Islam, dapat kita temukan, bahwa orang Arab memiliki kebiasaan untuk menisbatkan seorang tokoh kepada ayah, kakek atau salah satu dari keluarganya. Di antaranya ada Mazhab Hanafi, yang penisbatan mazhabnya disandarkan bukan kepada nama pendirinya, yakni Syekh An-Nu’man bin Tsabit, melainkan kepada nama anaknya ‘Hanifah’ atau biasa dikenal dalam istilah Arab dengan sebutan kunyah-nya.
Selanjutnya ada Mazhab Hambali, yang ternyata penisbatannya disandarkan kepada ‘Hambal’, kakek dari sang pendiri mazhab, bukan kepada nama Imam Ahmad itu sendiri. Lalu ada mazhab mayoritas masyarakat muslim Indonesia, Mazhab Syafi’i, yang ternyata penisbatan nama mazhabnya disandarkan bukan kepada sang penggagas mazhab melainkan kepada kakek buyutnya yang bernama Asy-Syafii, sedangkan nama asli dari penggagas Mazhab Syafi’i sendiri adalah Imam Muhammad bin Idris, bukan Asy-Syafii. Dan masih banyak lagi contoh lainnya dari mazhab-mazhab yang penisbatannya tidak disandarkan kepada nama pendirinya, seperti Mazhab Al-Asy’ari, Al-Maturidi dan lain-lain.
Maka dapat kita simpulkan bahwa ‘klaim keliru’ atas penisbatan julukan Wahabi kepada mendiang ayah dari pendiri sekte Wahabi merupakan klaim yang tidak tepat dan tanpa dasar.
Lalu bagaimana dengan alasan bahwa nama Wahabiyah bersumber tak lain dari pihak yang berseberangan dan tidak suka dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahab serta tidak pernah digunakan olehnya maupun pengikutnya?
Alasan atau klaim ini merupakan klaim yang sangat-sangat mengherankan. Apakah para pembesar Wahabi – khususnya yang bermukim di Indonesia – tidak pernah membaca kumpulan kitab atau bacaan yang ditulis oleh para penggagas sekte ini? Atau mungkin mereka memang sengaja untuk pura-pura tidak tahu dan berusaha menutup-nutupi fakta sejarah ini?
Jika kita menengok salah satu mausu’ah Wahabi yakni kitab Ad-Durar As-Saniyyah fī Al-Ajwibah An-Najdiyah yang berisi kumpulan kitab-kitab dan risalah-risalah yang dikarang oleh para pembesar Wahabi, maka akan kita temukan fakta bahwa penggunaan sebutan Wahabi sangat jelas dan gamblang digunakan oleh mereka, bahkan dengan penuh rasa bangga.
Salah satunya terdapat pada Risalah yang ditulis oleh Syekh Muhammad bin Abdul Latif (w. 1367 H) kepada penduduk Yaman untuk menjelaskan akidah penduduk Najd:
»وصار بعض الناس يسمع بنا معاشر الوهابية، ولا يعرف حقيقة ما نحن عليه، وينسب إلينا، ويضيف إلى ديننا ما لا ندعو إليه«
“Sebagian orang sudah mendengar kehadiran kami kelompok Wahabiyah, namun mereka belum mengetahui siapa kami sebenarnya, dan banyak menyematkan kepada kami, apa-apa yang sebenarnya tidak kami ajarkan.”[1]
Penulis Risalah di sini secara gamblang menggunakan nama Wahabi, tanpa ada rasa keberatan sama sekali untuk menisbatkan nama Wahabi kepada diri mereka sendiri, lalu mengapa para Wahabi mu’ashirin enggan untuk menggunakan nama ini?
Kemudian masih dalam Ad-Durar As-Saniyyah, ada satu Risalah yang ditulis oleh Syekh Sulaiman bin Sahman (w. 1349 H) salah satu pembesar Wahabi yang dia beri judul Ar-Radd ‘alā Man Ankara ‘alā Ahl Ad-Da’wah Al-Wahabiyyah Inkāruhum[2] Asy-Syirk yang kurang lebih artinya: Bantahan bagi Orang yang Menentang Para Dai Wahabi yang Membasmi Kemusyrikan.
Salah seorang pembesar Wahabi juga menyebutkan dalam bantahannya atas Syekh Abdul Latif bin Abdul Muhsin As-Shahaf (w. 1273 H):
«فأبيتم هذا كله، وقلتم هذا دين الوهابية، ونعم هو ديننا، بحمد الله»
“Kalian telah mengabaikan semua – ajaran kami – dan mengatakan bahwa ini merupakan agama Wahabi . . . Memang betul alhamdulillah inilah agama kami.”[3] Jelas sekali bahwa penulis Risalah ini tidak menampik sama sekali penamaan sekte mereka dengan Wahabi, berbanding terbalik dengan keadaan para Wahabi mu’ashirin yang menentang penamaan ini.
Dan ternyata terdapat sebuah fatwa dari Syekh Bin Baz (w. 1420 H) yang menyoalkan penamaan Wahabi ini. Bin Baz menjawab pertanyaan yang isinya tentang tanggapannya atas pelabelan Wahabi kepada kebanyakan Ulama Saudi. Alih-alih membantah Bin Baz malah justru mengamininya:
«هذا لقب مشهور لعلماء التوحيد علماء نجد، ينسبونهم إلى الشيخ الإمام محمد ابن عبد الوهاب رحمة الله عليه … فهو لقب شريف، عظيم، يدل على أن من لقب به فهو من أهل التوحيد»
“Ini merupakan laqob (julukan) yang masyhur untuk para Ulama Tauhid Najd, dan julukan ini dinisbatkan kepada Syekh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahmatullah alaih . . . Maka – Wahabi – adalah sebuah julukan yang agung nan mulia, dan barang siapa yang tersemat padanya julukan ini maka berarti dia merupakan salah seorang Ahli Tauhid. . .”[4]
Lalu setelah fakta-fakta di atas menjawab dan mematahkan semua klaim yang dibawa oleh para Wahabi mu’ashirin, apa sebenarnya tujuan mereka mengganti sampul Wahabi dengan Salafi?
Menurut Syekh Muhammad Ramadan al-Buthi (w. 1434 H) pergantian sampul Wahabi dengan nama Salafiyah ini timbul disebabkan oleh rasa jenuh mereka terhadap nama Wahabiyah itu sendiri, karena nama ini memberikan kesan bahwa pondasi sekte ini berujung hanya sampai kepada pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab saja, sehingga kalimat Salafiyah dipilih sebagai nama baru, agar orang-orang mengira bahwa ajaran yang dibawa sekte ini tidak terhenti hanya sampai pendirinya saja, melainkan tersambung sampai kepada salafus-saleh sehingga timbul kesan bahwa dalam membangun sekte ini mereka berpatokan dengan akidah, pemikiran dan metode ulama salaf.[5]
Maka jangan heran, jika dewasa ini kita temukan banyak dari pendakwah Wahabi mu’ashirin yang malu-malu untuk memakai sampul lama julukan Wahabi sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.
Sekian.
[1] Ad-Durar As-Saniyyah fī Al-Ajwibah An-Najdiyah, juz. 1, hal. 566.
[2] Ibid, juz. 10, hal. 511.
[3] Ad-Durar As-Saniyyah fī Al-Ajwibah An-Najdiyah, juz. 12, hal. 267.
[4] Simak selengkapnya: http://www.binbaz.org.sa/mat/4726 sebelumnya penulis dapat mengakses fatwa serupa dalam bentuk video di Youtube, namun ketika akan menyalin tautan video tersebut di sini, ternyata video terkait sudah dihapus oleh pihak pengunggah.
[5] As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islamiy, hal. 237-238.