Genealogi dan Kontroversi Faham Salafi-Wahabi
Faham Salafi-Wahabi, yang diasosiasikan dengan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab (abad ke-18 M), merupakan gerakan pemurnian agama yang berfokus pada upaya memberantas praktik-praktik yang dianggap sebagai syirik atau bid’ah. Dalam sejarah dan diskursus Islam, istilah “Wahabi” seringkali dilekatkan oleh ulama tradisionalis terhadap individu atau kelompok yang dianggap melanggar tradisi keagamaan lokal, kepercayaan, dan bid’ah yang telah mapan, meskipun tradisi tersebut terkadang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits shahih. Klaim utama dari gerakan ini adalah menyerukan kembali kepada tauhid murni dan menolak praktik-praktik seperti memohon pertolongan kepada orang suci yang dikuburkan atau melakukan tawassul yang dianggap berlebihan.
Gerakan yang kerap mengidentifikasi dirinya sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sejati ini , menuai kritik tajam karena pendekatan puritanisnya. Kritikus tradisionalis, termasuk para pengikut empat madzhab fikih utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), menilai faham ini menyimpang dari konsensus ulama (ijma’) yang telah lama diterima. Perbedaan mendasar terletak pada metodologi pengambilan hukum dan akidah, di mana Wahabisme-Salafi menuntut pemurnian total yang seringkali berujung pada syirikisasi—yakni pelabelan praktik tradisional sebagai politeisme—terhadap ritual-ritual yang telah berakar dalam budaya Muslim, seperti ziarah kubur, peringatan Maulid Nabi, dan lain sebagainya.
Kritik institusional terhadap puritanisme Wahabi-Salafi di berbagai negara, khususnya di Indonesia melalui Nahdlatul Ulama (NU), didasarkan pada kerangka teologis Ahlusunnah wal Jama’ah (Aswaja). Aswaja yang dipraktikkan oleh mayoritas Muslim Sunni memiliki tiga pilar utama: Akidah yang berpegangan pada mazhab Asy’ari atau Maturidi, Fikih yang mengikuti salah satu dari empat mazhab, dan Tasawuf (etika spiritual) yang sering merujuk pada ajaran Al-Ghazali.
Pusat pertentangan teologis antara Aswaja tradisional dan Salafi-Wahabi terletak pada isu Taqlid (mengikuti secara otoritatif pendapat ulama mujtahid), kategorisasi Bid’ah, dan interpretasi ketat terhadap Tauhid, yang seringkali menjadi alat untuk menolak tradisi. Dalam konteks ini, penolakan Wahabisme oleh ulama tradisionalis adalah upaya untuk mempertahankan otoritas keilmuan yang telah terinstitusionalisasi. Konflik ini dapat dipahami sebagai pertarungan antara Otoritas Tekstualis (Salafi/Wahabi yang menolak Taqlid dan mendorong ijtihad langsung dari teks ) melawan Otoritas Tradisionalis (Aswaja yang menjunjung tinggi hirarki keilmuan melalui Taqlid kepada ulama mujtahid). Pertahanan terhadap Taqlid merupakan upaya untuk menjaga kesinambungan metodologi fikih yang menjamin stabilitas hukum Islam.
Penolakan terhadap faham Salafi-Wahabi bukan hanya terjadi di Nusantara, tetapi juga merupakan fenomena global yang memiliki dimensi historis, institusional, dan sosiopolitik yang serupa di berbagai kawasan, mulai dari penolakan internal hingga kebijakan negara.
Secara historis, gerakan puritan Muhammad bin Abdul Wahhab bahkan menghadapi kritik keras dari lingkaran keluarganya sendiri. Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung dari Muhammad bin Abdul Wahhab, termasuk ulama yang secara terbuka menentang ajaran yang dianggap terlalu mudah mengkafirkan kaum Muslimin lain.
Meskipun terdapat upaya kontemporer dari pendukung Wahabisme untuk mengklaim bahwa Syeikh Sulaiman pada akhirnya bertaubat dan mendukung adiknya, analisis mendalam menunjukkan bahwa klaim rekonsiliasi tersebut seringkali dianggap sebagai kebohongan yang disebarluaskan dengan tujuan membersihkan pengaruh dan citra negatif yang timbul akibat pengingkaran kakak kandung pencetus Wahabisme tersebut. Adanya penolakan internal ini menjadi bukti historis awal bahwa ideologi tersebut memang memiliki potensi memecah belah dan menyimpang dari konsensus ulama yang lebih luas.
Penolakan institusional yang paling menonjol berasal dari otoritas keagamaan yang didukung negara, terutama di Timur Tengah. Salah satu contoh penolakan dari otoritas keagamaan yang didukung negara adalah surat resmi dari Kementerian Wakaf, Urusan, dan Kesucian Islam Kerajaan Yordania, yang ditujukan kepada Jam’iyyat Markaz al-Imam al-Albani lid-Dirasat wal-Abhats (Pusat Studi dan Penelitian Imam Al-Albani), memberikan bukti konkret penolakan institusional terhadap pusat pemikiran Salafi kontemporer. Surat ini menginstruksikan penutupan dan penghentian semua kegiatan pusat tersebut.
Alasan penutupan yang diuraikan dalam surat tersebut sangat penting. Keputusan tersebut didasarkan pada temuan bahwa pusat tersebut melakukan aktivitas dan pengajaran yang “bertentangan dengan pemikiran agama umum bagi masyarakat Yordania” (yata’aradh ma’a al-fikr al-dini al-‘aam) dan “mengganggu persatuan nasional dan keragaman budaya dan sosial” (al-wahdah al-wathaniyyah wat-tanawwu’ ats-tsaqafi wal-ijtima’i).
Hal ini menunjukkan bahwa penolakan ideologi puritan di tingkat negara didasarkan pada dimensi sosiopolitik dan keamanan nasional, bukan semata-mata teologis. Pemerintah Yordania secara tegas menempatkan ideologi puritan sebagai destabilisator, yang bertentangan dengan visi Kementerian untuk mempromosikan moderasi (wasathiyyah) dan dakwah yang bijaksana. Konservasi kohesi sosial dan keragaman budaya menjadi garis merah universal yang dilewati oleh faham puritanis.
Lembaga keagamaan lainnya adalah Lembaga keagamaan utama di Mesir, Universitas Al-Azhar, secara konsisten mempertahankan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah yang berpegangan pada mazhab teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah serta empat mazhab fikih Sunni. Institusi ini secara historis menolak puritanisme yang mengkritik otoritas ulama (taqlid) dan praktik sufistik. Penolakan ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan tradisional yang kuat berfungsi sebagai benteng metodologis dan teologis terhadap gelombang pemurnian transnasional.
Konflik teologis yang mirip juga terlihat di Asia Selatan antara gerakan Deobandi dan Barelvi. Meskipun Deobandi memiliki akar dalam mazhab Hanafi dan mendukung Taqlid , mereka memiliki pendekatan reformis yang keras terhadap bid’ah, mirip dengan posisi Ibn Taymiyyah dan Salafi-Wahabi, terutama dalam menolak Tawassul (perantara). Sebaliknya, Barelvi adalah gerakan yang sangat tradisionalis dan Sufistik, yang berpegang teguh pada Tawassul dan praktik-praktik spiritual tradisional. Polarisasi ini mereplikasi titik-titik konflik Wahabi-Aswaja, terutama terkait definisi Bid’ah dan legitimasi praktik Sufi. Fenomena ini memperkuat pandangan bahwa isu-isu puritanisme selalu berpotensi memicu perpecahan mendalam di kalangan umat Muslim di berbagai konteks budaya.
Benteng Ideologi di Nusantara
Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, memainkan peran sentral dalam merumuskan dasar epistemologis penolakan terhadap faham puritanisme di Indonesia melalui karya utamanya, Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah (RAWJ).
RAWJ adalah karya fundamental yang disusun oleh KH Hasyim Asy’ari sebagai respons langsung terhadap masuknya pemikiran puritan yang mengancam keutuhan praktik Islam tradisional di Jawa pada awal abad ke-20. Tujuan eksplisit penulisan kitab ini adalah untuk mengokohkan akidah umat, memberikan argumentasi (hujjah) dan dalil yang mendasar bagi kemuliaan kaum Muslimin, dan memastikan mereka tetap berada dalam bingkai Firqah al-Najiyah (golongan yang selamat), yaitu Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Dalam kitab ini, KH Hasyim Asy’ari melakukan counter terhadap ahli kesesatan (ahlul Dlolalah) dan para pembuat bid’ah yang dianggap sebagai sumber perpecahan. Kitab ini menjadi deklarasi metodologi Aswaja di Nusantara, yang secara sistematis menangkis klaim-klaim puritanis.
Pilar utama pertahanan teologis yang dibangun oleh KH Hasyim Asy’ari adalah penetapan kewajiban Taqlid (mengikuti) salah satu dari empat mazhab fikih. Kitab Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah memuat “Pasal Mengenai Khittah Ajaran Salafussaleh, Penjelasan Tentang ‘Assawaadul A’zham’ Di Zaman Ini, dan Mengenai Pentingnya Berpegang Teguh Pada Salah Satu Madzhab Yang Empat.”
Argumen yang mendasari kewajiban Taqlid adalah konsep Assawadul A’zham (mayoritas terbesar). KH Hasyim Asy’ari berpandangan bahwa mayoritas ulama dan umat telah mengikuti salah satu dari empat mazhab yang diakui. Oleh karena itu, menolak Taqlid—seperti yang dilakukan oleh faham puritanis yang menolak mazhab—dianggap sebagai penolakan terhadap konsensus mayoritas, yang pada gilirannya dapat menyebabkan perpecahan.
Penekanan pada Taqlid berfungsi sebagai disiplin keilmuan dan kedaulatan teologis. Dengan mewajibkan masyarakat yang tidak mampu ber-ijtihad untuk terikat pada metodologi empat mazhab, KH Hasyim Asy’ari memastikan bahwa interpretasi hukum Islam di Indonesia tetap stabil dan tidak terombang-ambing oleh ijtihad bebas yang berpotensi menyimpang dan memecah belah, sehingga menjaga kemurnian Fikih Syafi’i yang dominan di Nusantara.
Isu Bid’ah adalah titik serangan utama faham Wahabi terhadap tradisi lokal. KH Hasyim Asy’ari menangani ini dengan kerangka metodologis yang sangat bernuansa dalam RAWJ. Ia mengutip hadits terkenal:
“Setiap perkara yang baru adalah bid’ah, segala bid’ah adalah penyimpangan, dan setiap penyimpangan adalah bermuara pada Neraka.”
Namun, ia segera menyertakan penjelasan ulama untuk mencegah tafsir yang terlalu harfiah dan puritanis. KH Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa bid’ah yang tercela (madzmumah) adalah segala sesuatu yang dijadikan rujukan untuk mengubah hukum, khususnya dengan “mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah”.
Faham Wahabi-Salafi sering menganggap Ziyarah Kubur sebagai praktik yang menjurus pada syirik atau bid’ah sayyi’ah. RAWJ secara tegas melegitimasi praktik ini. KH Hasyim Asy’ari mendasarkan legitimasinya pada hadits yang menganjurkan praktik ini, setelah sempat dilarang pada masa awal Islam.
Tujuan utama Ziyarah Kubur ditekankan sebagai dzikrul maut (mengingat kematian), yang bertujuan untuk menguatkan keimanan, menjauhkan keduniawian, dan mengingatkan pada akhirat. Hal ini didukung oleh kutipan hadits :
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Aku pernah melarang kamu sekalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah. Karena sesungguhnya ziarah kubur itu dapat menjauhkan duniawi dan dapat pula mengingatkanmu akan akhirat.” (HR. Ibnu Majah).
Melalui legitimasi ini, RAWJ mempertahankan praktik spiritual yang telah mengakar dalam Islam Nusantara, termasuk ziarah ke makam awliya’, yang dipandang sebagai manifestasi cinta dan sarana refleksi, bukan pemujaan terhadap selain Allah.
Penolakan terhadap faham Salafi-Wahabi di berbagai negara menunjukkan konsistensi dalam mempertahankan tiga titik utama: otoritas madzhab, kategorisasi bid’ah yang nuansal, dan legitimasi praktik spiritual tradisional.
Komparasi Titik Konflik Teologis: Aswaja KH Hasyim Asy’ari vs. Salafi-Wahabi
Penolakan terhadap ideologi Salafi-Wahabi, baik dalam bentuk kritik historis internal oleh Syeikh Sulaiman maupun tindakan keras pemerintah Yordania, memiliki benang merah yang sama: kekhawatiran terhadap perpecahan sosial dan delegitimasi status quo keagamaan yang mapan. Ideologi puritan, dengan kecenderungan syirikisasi dan penolakan terhadap tradisi yang mengakar, secara inheren dianggap merusak kohesi sosial dan legitimasi ulama tradisional.
Dalam konteks Indonesia, Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah menempatkan NU sebagai penjaga identitas keagamaan nasional. Melalui pertahanan metodologi Taqlid dan kategorisasi Bid’ah yang berlandaskan Furu’ al-Syari’ah, KH Hasyim Asy’ari berhasil menciptakan benteng ideologis yang tangguh. Strategi ini selaras dengan kebijakan Wasathiyyah yang kini diadvokasi oleh banyak negara, termasuk Yordania, untuk memastikan bahwa pemikiran keagamaan yang diakui mayoritas adalah yang moderat dan kondusif bagi persatuan nasional.
Rejeksi terhadap faham Salafi-Wahabi yang berasal dari Muhammad bin Abdul Wahhab adalah fenomena transnasional yang didorong oleh kebutuhan teologis untuk mempertahankan ortodoksi Sunni tradisional (Aswaja) dan kebutuhan institusional untuk menjaga stabilitas sosial-politik.
Di Indonesia, Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah karya KH Muhammad Hasyim Asy’ari berfungsi sebagai landasan epistemologis utama penolakan tersebut, khususnya melalui penetapan kewajiban Taqlid pada Mazhab Empat dan adopsi metodologi Bid’ah yang mengakui Bid’ah Hasanah berdasarkan kaidah Syekh Zaruq. Secara global, seperti yang ditunjukkan oleh tindakan pemerintah Yordania, penolakan ini bergerak dari ranah teologis murni ke ranah kebijakan publik, di mana faham puritanis ditolak karena ancamannya terhadap keragaman budaya dan persatuan nasional. Dengan demikian, RAWJ adalah dokumen krusial yang merumuskan ketahanan teologis Aswaja, menjamin resiliensi Islam Nusantara terhadap upaya purifikasi yang disruptif.













Please login to comment