Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Manusia dan Agama dalam Pemikiran Buya Hamka

Avatar photo
209
×

Manusia dan Agama dalam Pemikiran Buya Hamka

Share this article
Hamka mengajarkan manusia akan selalu mencari Tuhan, dan hanya dengan tauhid pencariannya mencapai ujungnya. Agama jadi cahaya dan akal jadi pelita.
Hamka mengajarkan manusia akan selalu mencari Tuhan, dan hanya dengan tauhid pencariannya mencapai ujungnya. Agama jadi cahaya dan akal jadi pelita.

Hubungan manusia dengan agama adalah topik pembicaraan yang selalu ada di setiap zaman. Sejak dahulu, manusia selalu bergulat dengan pertanyaan eksistensial: dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan kembali. Pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan beragam jawaban, dari yang mistis hingga filsafati, dari yang berupa keyakinan primitif hingga ajaran agama-agama samawi.

Di Nusantara, perbincangan tentang manusia dan agama juga tidak pernah berhenti. Para ulama dan cendekiawan sejak zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan aktif menafsirkan hubungan keduanya. Salah satu yang paling menonjol adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka. Pria kelahiran Maninjau, 16 Februari 1908 ini tumbuh menjadi ulama, cendekiawan, sastrawan, sekaligus pahlawan nasional yang warisan intelektualnya terus berpengaruh hingga kini.

Hamka adalah penulis produktif. Tidak kurang dari 118 jilid karyanya terbit, belum termasuk ratusan tulisan di Panji Masyarakat. Beberapa di antaranya dikumpulkan menjadi buku populer seperti Pandangan Hidup Muslim, Dari Hati ke Hati, dan Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam. Dalam karya-karya inilah Hamka sering menyinggung tentang manusia dan agama, sebuah tema yang ia pandang sebagai inti dari kehidupan.

Dalam Penuntun Jiwa, Hamka menjelaskan bahwa Allah Swt. membekali manusia dengan akal dan pancaindra. Melalui keduanya, manusia mampu memahami sifat-sifat alam dan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Dengan akal itu pula, manusia sadar bahwa keteraturan alam tidak mungkin hadir tanpa pengatur. “Tuhan menjadikan segala sesuatu dengan sebab dan musababnya,” tulis Hamka.

Namun sejarah membuktikan, pencarian manusia sering keliru. Dalam Pelajaran Agama Islam, Hamka menggambarkan bagaimana manusia gua menjawab pertanyaan hidup dengan khayalan. Mereka memuja hutan, batu, gunung, hingga hewan, yang kemudian melahirkan dinamisme dan totemisme.

Seiring berkembangnya pertanian, manusia menyadari peran hujan, matahari, dan bulan. Mereka pun memuja benda-benda langit sebagai sumber kehidupan. Hamka menulis bahwa di masa itu, matahari dianggap “Batara Kala” dan bulan disembah karena memengaruhi pasang-surut laut serta kesuburan tanaman.

Belakangan, ketika pengetahuan manusia semakin maju, muncul pula pemujaan terhadap roh nenek moyang dan kekuatan gaib lain. Dalam catatan Hamka, tradisi ini dapat ditemukan di berbagai bangsa: dari konsep “Putra Langit” di Tiongkok hingga keyakinan Kaisar Jepang sebagai keturunan dewa matahari. Bahkan di Indonesia, sisa-sisa animisme, dinamisme, dan totemisme masih terlihat dalam tradisi menepung tawari, pemujaan keris, atau keyakinan akan tuah binatang tertentu.

Meski pencarian tersebut berliku, Hamka menegaskan bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa adalah fitrah manusia. Dalam Falsafah Ketuhanan, ia menulis: “Orang yang menyangkal adanya Tuhan, pada hakikatnya sedang menyangkal fitrahnya sendiri”.

Ia boleh saja menumpuk argumen filsafat atau sains, tetapi pada akhirnya ia tetap makhluk lemah yang membutuhkan tempat bersandar. Kekosongan jiwa adalah tanda manusia belum menemukan Tuhannya. Hamka menggambarkan dengan indah dalam Pandangan Hidup Muslim:

“Manusia merasa hampa karena ada kekosongan dalam hatinya. Jiwanya sepi sebab belum menemukan titik jumpa dengan Tuhannya”.

Dengan tauhid, kekosongan tersebut pun terisi, dan tujuan hidup seseorang akan menjadi terang. Hamka menolak anggapan bahwa iman dan akal bertentangan. Dalam pandangannya, akal justru menjadi alat untuk sampai kepada iman. Ia mengutip hadis Nabi SAW:

“Tidaklah Allah menjadikan suatu makhluk pun yang lebih mulia atasnya daripada akal.” (HR. At-Tirmidzi).

Akal yang sehat akan mengantar manusia kepada tauhid. Sebaliknya, ilmu yang tidak bermuara pada iman hanya akan menjerumuskan manusia pada kesombongan.

Dalam Falsafah Ketuhanan, Hamka menegaskan bahwa akal memiliki keterbatasan. Ia bisa mengenal adanya Tuhan, tetapi tidak mampu menunjukkan cara beribadah yang benar. Karena itu, Allah mengutus para nabi sebagai pembimbing.“Perkara yang tidak dapat diselesaikan akal dapat diatasi dengan sandaran agama dan iman”.

Pemikiran Hamka terasa semakin relevan di era modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi memang mampu memecahkan banyak persoalan praktis, tetapi tidak bisa menjawab kegelisahan eksistensial manusia. Di tengah arus materialisme dan sekularisme, manusia justru kembali dihinggapi kehampaan batin.

Warisan pemikiran Hamka mengingatkan kita bahwa fitrah manusia adalah bertuhan, dan agama adalah cahaya yang menuntun pencarian itu. Ilmu pengetahuan harus berpadu dengan iman, dan akal harus diarahkan kepada tauhid. Inilah keseimbangan yang menjadi inti ajaran Islam. Dan inilah pula benteng paling kokoh agar manusia tidak tergoda oleh ideologi yang menolak eksistensi Tuhan, seperti komunisme yang jelas bertentangan dengan keimanan.

Dari pemikiran Hamka, kita dapat menangkap pesan bahwa umat Islam tidak boleh sekadar menjadi penonton di tengah perubahan zaman. Kecanggihan teknologi dan derasnya arus informasi menuntut umat untuk tetap berpegang pada nilai-nilai agama, agar tidak hanyut dalam budaya instan, gaya hidup hedonis, maupun paham anti ketuhanan yang seringkali dibungkus jargon kemajuan. Islam yang dihayati dengan benar akan membuat umat berani mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan, dan di saat bersamaan waspada terhadap racun pemikiran yang bisa merusak iman.

Pada akhirnya, Hamka bukan hanya seorang penulis, tetapi juga pembimbing jiwa. Ia mengajarkan bahwa manusia akan selalu mencari Tuhan, dan hanya dengan tauhid pencarian itu mencapai ujungnya. Agama menjadi cahaya, akal menjadi pelita, dan keduanya saling melengkapi. Dari sinilah lahir ketenangan jiwa dan kebahagiaan sejati. Wallahu a‘lam.

Ditulis oleh Rusydan Abdul Hadi. Tulisan ini tayang pertama kali dalam Buletin Rumah Wasathiyah.

Kontributor

  • Redaksi Sanad Media

    Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial.