Kita bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang tak terhingga, terutama nikmat iman dan Islam. Kita juga bersyukur atas nikmat persatuan dan kedamaian yang kita rasakan di tanah air tercinta, Indonesia. Shalawat serta salam semoga senantiasa mengalir kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Allah berfirman dalam Al-Quran:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًاۗ
Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah: 143).
Dalam kitab al-Mufradat karya Ar-Raghib Al-Ashfahani, dijelaskan bahwa: “Al-Wasath” (الوَسَطُ) adalah sesuatu yang berada di antara dua ujung dengan ukuran atau jarak yang seimbang. Kata ini biasa digunakan untuk sesuatu yang menyatu atau bersambung, seperti bagian dari satu tubuh. Contohnya: “Tengah tubuhnya keras” (وَسَطُه صُلبٌ), atau “Dia memukul tengah kepalanya” (ضَربَ وسَطَ رَأْسِهِ). Dalam hal ini, huruf sin dibaca dengan harakat fathah (wasath).
Sedangkan “Al-Wasth” (وَسْطٌ), dengan huruf sin yang dibaca sukun, digunakan untuk menyebut posisi tengah pada sesuatu yang terpisah-pisah. Misalnya seperti: “Di tengah-tengah suatu kaum” (وَسْطُ القَوْمِ), yaitu sesuatu yang berada di antara dua kelompok atau dua hal yang terpisah. Inilah maksud Allah dengan ummatan wasathan dalam firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah: 143. Dari penjelasan ini, kita bisa mengambil satu kesimpulan bahwa term wasath atau moderat adalah sikap yang selalu berada di tengah-tengah antara dua kutub ekstrem.
Menjadi moderat bukanlah hal yang mudah. Moderat adalah sikap mulia yang hanya bisa dicapai dengan usaha sungguh-sungguh, pemahaman yang dalam, ilmu yang memadai, dan kesabaran yang teruji. Untuk bersikap moderat, seseorang harus mampu menarik diri dari dua sisi ekstrem, sekaligus berhati-hati agar tidak tertipu oleh hal-hal yang tampak seperti moderat, padahal bukan.
Hal ini juga senada dengan pendapat Imam al-Auza’i yang dikutip oleh Murtadha al-Zabidi dalam kitab Takhrij Ahadits Ihya’ Ulum al-Din:
مَا مِنْ أَمْرٍ أَمَرَ اللَّهُ بِهِ، إِلَّا عَارَضَ الشَّيْطَانُ فِيهِ بِخَصْلَتَيْنِ، وَلَا يُبَالِي أَيُّهُمَا أَصَابَ: الْغُلُوُّ، أَوِ التَّقْصِيرُ.
Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu, melainkan setan akan menghalangi di dalamnya dengan dua cara, dan setan tidak peduli mana saja cara yang berhasil: ghuluw (berlebihan), atau taqshir (meremehkan/mengurangi).
Dalam proses tarik menarik ini, pasti ada tantangan dan hambatan. Tapi di situlah nilai perjuangannya. Ketabahan dan kesabaran dalam menjalani jalan tengah inilah yang akhirnya bisa mengangkat seseorang ke tingkat yang tinggi, yang bisa kita sebut sebagai maqam al-wasathiyah, kedudukan orang yang benar-benar hidup dalam nilai-nilai moderasi. Imam al-Thabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan-nya juga memberikan penegasan tentang siapa sejatinya mereka yang disebut sebagai ummatan wasathan:
إِنَّمَا وَصَفَهُمْ بِأَنَّهُمْ “وَسَطٌ”، لِتَوَسُّطِهِمْ فِي الدِّينِ، فَلَا هُمْ أَهْلُ غُلُوٍّ فِيهِ، غُلُوَّ النَّصَارَى الَّذِينَ غَلَوْا بِالتَّرَهُّبِ، وَقَوْلِهِمْ فِي عِيسَى مَا قَالُوا فِيهِ – وَلَا هُمْ أَهْلُ تَقْصِيرٍ فِيهِ، تَقْصِيرَ الْيَهُودِ الَّذِينَ بَدَّلُوا كِتَابَ اللَّهِ، وَقَتَلُوا أَنْبِيَاءَهُمْ، وَكَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ، وَكَفَرُوا بِهِ؛ وَلَكِنَّهُمْ أَهْلُ تَوَسُّطٍ وَاعْتِدَالٍ فِيهِ. فَوَصَفَهُمُ اللَّهُ بِذَلِكَ، إِذْ كَانَ أَحَبَّ الْأُمُورِ إِلَى اللَّهِ أَوْسَطُهَا.
Sesungguhnya Allah menggambarkan mereka sebagai “ummatan wasathan” (umat pertengahan/moderat) karena sikap moderat mereka dalam beragama. Mereka bukan kaum yang berlebihan (ghuluw) dalam agama, seperti kaum Nasrani yang melampaui batas dalam kerahiban dan perkataan mereka tentang Isa (Yesus sebagai anak Tuhan). Dan mereka juga bukan kaum yang meremehkan (taqshir) dalam agama, seperti kaum Yahudi yang mengubah Kitab Allah, membunuh nabi-nabi mereka, berdusta atas Tuhan mereka, dan mengingkari-Nya. Akan tetapi, mereka adalah umat yang berada di posisi tengah dan moderat dalam beragama. Maka, Allah menggambarkan mereka demikian, karena perkara yang paling dicintai Allah adalah yang paling moderat (pertengahan).
Seorang penyair Arab juga pernah menggambarkan soal sikap wasathiyyah dalam sebuah syair terkenal:
عَلَيْكَ بِأَوْسَاطِ الْأُمُورِ فَإِنَّها نَجَاةٌ وَلَا تَرْكَبْ ذَلُولاً وَلَا صَعْبَا
Hendaklah engkau mengambil jalan tengah (moderat) dalam segala urusan, karena sesungguhnya itulah keselamatan. Janganlah engkau menempuh jalan yang terlalu mudah, pun jangan pula jalan yang terlalu sulit.
Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya bersabda:
بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Aku diutus dengan agama hanif yang toleran (penuh kelapangan/kemudahan). (HR. Imam Ahmad).
Hadis tersebut bisa dimaknai sebagai fondasi penting dari karakter Islam sebagai agama yang moderat, mudah, dan manusiawi. Kata ḥanīfiyyah merujuk pada jalan yang lurus, murni dari penyimpangan dan kemusyrikan, sementarah al-samhah menunjukkan kelapangan, toleransi, dan kemudahan dalam menjalankan ajaran agama. Dengan kombinasi ini, Islam hadir bukan sebagai beban, melainkan sebagai tuntunan yang membebaskan dan memberdayakan.
Kemudahan dan kelapangan inilah yang memungkinkan Islam diterima oleh berbagai kalangan dan menyebar luas ke berbagai penjuru dunia. Islam tidak datang dengan paksaan, tetapi dengan hujjah (argumen), akhlak, dan kebijaksanaan. Ia mengatur hidup dengan keseimbangan antara tuntutan spiritual dan kebutuhan jasmani, antara hak-hak Allah dan hak-hak manusia.
Kemajuan umat Islam dalam sejarah, baik di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, tata negara, maupun etika sosial, semuanya tidak lepas dari semangat samhah ini. Para ulama dan ilmuwan muslim terdahulu memahami bahwa agama yang hanif dan samhah memberi ruang besar untuk pengembangan ilmu, dialog, dan inovasi. Justru karena bersifat lapang dan moderat, Islam bisa merangkul peradaban lain, menerjemahkan pengetahuan Yunani, Persia, dan India, lalu mengembangkannya dalam kerangka tauhid dan syariat.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang moderat, sehingga kita bisa berkontribusi dalam menjaga persatuan umat. Marilah kita menjadi umat yang senantiasa meningkatkan ketakwaan dan keimanan, serta menumbuhkan sikap wasathiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ.
Ditulis oleh Rusydan Abdul Hadi. Tulisan ini tayang pertama kali dalam Buletin Rumah Wasathiyah.















Please login to comment