Sanad telah menjadi ciri tradisi keilmuan Islam. Para ulama menyatakan bahwa sanad termasuk keistimewaan Umat nabi Muhammad Saw.
Dengan sanad, bangunan keilmuan Islam menjadi kuat dan memiliki kredibilitas. Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan, “Allah telah memuliakan umat ini dengan isnad, hal ini tidak diberikan oleh Allah Swt kepada umat selainya. Maka berhati-hatilah kalian dari mengikuti jalan orang Yahudi dan Nasrani kemudian kalian berbicara tanpa adanya Isnad.”
Pentingnya sanad dalam tradisi keilmuan Islam jelas bukan tanpa sebab. Ia bukan hanya ibarat penyebutan suatu riwayat dari mana hal itu didapat. Sanad pada intinya adalah bentuk jaminan bahwa suatu naqli (riwayat atau transmisi) dibenarkan dan diterima keberadaanya. Siapapun tidak serta merta berdalil dan berbicara menggunakan naqli seenaknya. Para ulama menulis suatu kitab yang bertajuk tsabat atau fihrist. Kitab-kitab ini memiliki posisi penting dalam sanad keilmuan Islam.
Apa yang dimaksud kitab tsabat atau fihrist? Apa perbedaanya dengan mu’jam asy-syuyukh?
Sebelum membahas perbedaannya, kiranya dipahami bahwa tradisi sanad dalam keilmuan Islam sangat erat kaitannya dengan ilmu hadits dan periwayatnya.
Mu’jam asy-syuyukh dalam tradisi ahli hadits adalah kitab yang menyebutkan nama-nama para guru dari seorang ulama secara berututan sesuai abjad. Sedangkan tsabat dan fihrist adalah kitab yang menyebutkan riwayat-riwayat seoarang alim berupa kitab-kitab dengan sanadnya sampai pada penulis kitab tersebut.
Tsabat dan fihrist berfungsi sebagai penjelasan terkait sanad ilmu seorang alim kepada siapa dia belajar, kitab apa saja yang dia pelajari dan selanjutnya ia menjadi garis sanad keilmuan pada murid-muridnya secara terus-menerus.
Tsabat dan fihrist adalah hal yang sama. Perbedaanya sebagaimana disebutkan Syekh Abdul Hayy al-Kattani dalam Fahras al-Faharis wa al-Astbath bahwa istilah fihrist lebih banyak digunakan oleh ulama Maghrib (wilayah barat dunia Islam) sedangkan tsabat lebih banyak digunakan oleh ulama Masyriq (wilayah timur).
Kitab tsabat dan fihrist menjadi penting karena manfaatnya begitu banyak dan nyata. Kitab ini menjadi model dan cara paling ampuh untuk melestarikan dan menjaga sanad dalam tradisi keilmuan Islam.
Manfaat kedua, kitab tsabat dan fihrist menjadi legitimasi atau pembuktian sanad keilmuan seorang alim pada generasi selanjutnya. Seseorang tidak bisa serta merta mendaku suatu riwayat atau sanad keilmuan tertentu tanpa memiliki bukti yang diakui.
Manfaat ketiga dari kitab tsabat dan fihrist adalah ia sebagai bukti yang nyata bahwa tradisi keilmuan Islam begitu peduli dan menjaga sejarah dan peninggalannya. Ia juga bukti bahwa dalam tradisi keilmuan Islam betapa ilmu ditempatkan di tempat yang tinggi dan mulia dengan menghargai dan mempedulikan darimana ilmu-ilmu tersebut diambil.
Jika dihayati, yang demikian bukan hanya sebuah bentuk simbol penghargaan dan penghormatan. Di balik itu terdapat etika yang dalam terhadap ilmu dan para ahli ilmu. Masih banyak lagi manfaat dari kitab tsabat dan fihrist yang disebutkan oleh para ulama.
Ulama-ulama yang menulis kitab Fihrist dan Tsabat
Fihrist yang banyak menjadi rujukan di ataranya adalah Fihrist Ibnu Nadhim yang ditulis pada tahun 385 H. Di Ibnu Nadhim membagi kitabnya itu berdasarkan tema keilmuan. Dia menulis 10 macam ilmu, di antaranya ilmu nahwu, bahasa, fikih, filsafat dan lainya.
Ibnu Atiyyah al-Andalusi juga menulis fihrist. Dia memaparkanya dengan menyebut nama-nama ulama yang ia temui dan yang belajar dan mendapatkan ijazah darinya.
Qadhi Iyadh, alim dari Maroko juga menulis fihrist. Sama dengan Ibnu Atiyyah, dia juga menulis berdasarkan nama ulama tempat ia belajar dan ulama yang memberinya ijazah. Bahkan dia menyertakan ulama yang berkirim surat dengannya namun tidak pernah jumpa. Uniknya dia mengawali kitabnya ini dengan guru-guru dan ulama yang bernama Muhammad.
Kemudian ulama yang menulis kitab tentang Tsabat di antaranya seperti Syekh Hasan Masyat, ulama tanah Hijaz yang hidup pada abad 19 M. Pada abad sebelumnya (18 M), salah satu yang memiliki kitab tsabat adalah Khoiruddin Nu’man al-Alusi, seorang alim dari Bagdad dari keturunan al-Alusi, penulis Tafsir Ruh al-Ma’ani.
Lalu pada abad 20 M, di antara yang memiliki kitab tsabat adalah Habib Salim bin Abdullah as-Syathiri al-Hadrami. Dia memberi judul kitabnya dengan Nafahat al-Misk. Kitab ini ditulis oleh salah satu murid Habib Salim as-Syathiti atas seizinnya.
Di Indonesia sendiri ada banyak ulama yang menulis tsabat. Di antaranya adalah Syaikh Muhammad Yasin bin Isa Al-Fadani, beliau menulis kitab Mathmah al-Wijdan fi Asanid al-Syaikh ‘Umar Hamdan. Kemudian juga Ats-Tsabat Al-Farid fi Asanid al-Syaikh Ibnu ‘Abdul Majid yang ditulis oleh Dr. Abdul Aziz Sukarnawadi. Lalu ada Ats-Tsabat al-Indunisi yang ditulis oleh Nanal Ainal Faiz, di dalamnya dihimpun karya dan sanad ulama-ulama Indonesia.