Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Polemik toa azan?

Avatar photo
19
×

Polemik toa azan?

Share this article

Padahal pengajian Isra Miraj, dari tempat ke tempat, tapi yang ditanya jamaah tetap masalah pengaturan toa untuk azan. Jadi terpaksa saya harus berpendapat, intinya adalah, terlalu banyak ibarat (pendapat ulama yang mu’tabar) yang mengharuskan untuk mengatur toa, karena alasan-alasan tertentu.

Lalu saya mencontohkan fatwa-fatwanya, di Arab Saudi, ada Syaikh Soleh Bin Fauzan, Syaikh bin Baz, Muhammad bin Salamah, di Mesir ada Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi.

Begitu juga amat banyak yang berpendapat tetap harus meninggikan kalimat jalalah dalam azan, jadi tidak perlu diatur-atur, lalu saya menukil pendapat Syaikh Abdullah Latief, Syaikh Nayf bin Jam’an, lalu Komite Fatwa Al-Azhar yang memandang hukum asalnya diutamakan, tentu dengan tetap mengacu pada argumentasi maslahat dan madaratnya.

 

Apalagi argumen mengeraskan ini didukung dengan hadis Nabi.

عن عبدالله بن عبد الرحمنِ أَبِي صَعْصَعَةَ: أَنَّ أَبَا سَعِيد لْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَهُ: إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ.َ فَإذَا كُنْتَ فِي غَنَمِك -أَوْ بَادِيتِكَ فَأَذَّنْتَ لِلصَّلاَةِفَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ المُؤذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَومَ الْقِيَامَةِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسولِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُِّ

Artinya, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata kepadanya, ‘Sungguh aku melihatmu menyenangi kambing dan tinggal di daerah badui (pedalaman). Maka bila kamu sedang (mengembala) kambingmu atau sedang di daerah pedalamanmu, lalu azan untuk shalat, maka keraskanlah suara azanmu. Sebab, sungguh tidaklah jin, manusia, dan makhluk apa pun yang mendengar ujung suara muazin kecuali akan menjadi saksi yang menguntungkan baginya di hari kiamat.’ Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata, ‘Aku mendengarkannya dari Rasulullah SAW.’” (HR Al-Bukhari) (Lihat Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, [Beirut, Daru Ibni Katsir: 1407 H/1987 M], juz I, halaman 221).

Menurut saya, kesimpulan keduanya itu arif dan baik, hanya saja berbeda perspektif, yang pertama lebih menekankan aspek sosiologis, yang kedua alasannya lebih bersifat teologis (syiar), dua nalar yang berbeda tapi satu kesatuan dalam spirit Islam.

Jadi tidak boleh dipisah-pisah, apalagi dibenturkan satu sama lain, sebab kedua perspektif fatwa diatas, sejatinya tetap menggunakan nalar sosiologis-theologis.

Mungkin jalan tengahnya, jika secara sosial ada yang terganggu, peraturan itu sangat bijak. Masih ingat kasus Meliana, 3 tahun yang lalu? Soal protes kebisingan suara adzan.

Begitu juga jika dalam masyarat tertentu kehadiran toa itu tidak mengganggu, bahkan mungkin dibutuhkan, silahkan. Karena kondisi berbeda-beda, sekiranya perlu ada peraturan lanjutan dari Perda yang lebih khusus paham sosiologi wilayah.

Nah, menurut saya pribadi, sedikit persoalan justru saat mensosialisasikan penertiban toa ini ada kata “anjing”nya, meski bagi saya yang asli dari Jawa Timur, kata anjing itu biasa saja, bahkan tidak sedikit teman-teman di Jatim memanggil teman dekatnya dengan panggilan “asu”, misal “su asu sini tak traktir?”, apa ada yang marah? Tidak! Itu panggilan akrab.

Tetapi sekali lagi ini konteknya privat, sayangnya kalimat itu disiarkan secara publik oleh pejabat publik, jadi tanggapan publik juga berbeda, itu wajar, sebab bagaimanapun frase kata anjing itu negatif, bahkan sangat negatif, karena itu tak mungkin saya menyampaikan soal kemuliaan anjing ashabul kafi, sebab ini berbeda konteks.

Meski demikian, tetap saja ada dampak positifnya, yaitu peratutan SE Menag jadi lebih luas terpublikasi. Mungkin kegaduhan frase anjing ini disudahi dengan tabayun, syukur yang bersangkutan minta maaf, akan lebih elok dan harmoni. Wallahu’alam

Kontributor

  • Aguk Irawan

    Seorang sastrawan, budayawan, juga pengasuh pondok pesantren kreatif Baitul Kilmah, Bantul, Yogyakarta.