Syekh Abdul Wahhab Khallaf, adalah seorang cendikiawan muslim yang lahir pada tanggal 1888 M di kampung bernama Kafr al-Zayyat, Mesir. Ia memulai karir pendidikanya di lembaga al-Azhar dan menyelesaikan kuliah Kehakiman Islam (Madrasah al-Qadla’ al-Syar’i) di Sekolah Tinggi yang juga berada di bawah naungan kampus tertua kedua dalam sejarah Islam itu. Ia kemudian berkembang menjadi sosok ulama yang mampu memadukan dua kutub keilmuan sekaligus, yakni ilmu hukum perundang-undangan dan ilmu ushul fikih.
Prestasi akademisnya cukup mentereng, setelah menamatkan kuliahnya, Abdul Wahhab Khallaf dilamar untuk menjadi salah satu tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Kehakiman Islam tempat ia belajar dulu. Lantaran satu dan lain hal, usai mendapat pinangan dari pihak Cairo University agar menjadi guru besar di kampus ternama itu, ia memutuskan pindah instansi. Di tempat inilah ia mencurahkan segala usaha dan tenaganya untuk mengajar hingga akhir hayatnya.
Syekh Abdul Wahhab Khallaf merupakan seorang penulis produktif, khususnya di bidang hukum dan ushul fikih. Di antara karya-karyanya : ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyah, Khulashah al-Tasyri’ al-Islami, Syarh Wafi Li Qanunai al-Waqf wa al-Mawarist, al-Siyasah al-Syar’iyyah, al-Suluthat al-Tsalats fi al-Islam, Nur min al-Islam.
Untuk judul kitab yang pertama disebut, Ilmu Ushul al-Fiqh termasuk salah satu pegangan wajib bagi mahasiswa yang meminati kajian ushul fikih. Bahasanya cukup ringan, dan disajikan dengan sangat sistematis. Menikmati karya syekh Abdul Wahhab ini lebih enjoyable, asyik dan menyenangkan bagi mereka yang hendak menyelami tema-tema ushul fikih tetapi dengan bahasa yang tidak rumit. Ada banyak hal menarik yang akan dijumpai setelah membacanya. Misalnya dalam hal contoh, beliau tidak hanya menyajikan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis melainkan juga undang-undang Mesir. Ini membuat ushul fikih tidak hanya mandek pada teks-teks syariat saja. Di tangan beliau, ushul fikih juga mampu berbicara banyak dalam hal-hal yang berkaitan dengan qonun negara.
Perilaku Nabi yang Bukan Syariat
Dari sekian banyak bahasan menarik lainnya, dosen Universitas Kairo itu memberi satu sub tema dengan judul “Ma Laisa Tasyri’an Min Aqwal Rasul wa Af’alihi”.
Sebagaimana jamak diketahui, Nabi Muhammad saw. adalah manusia mulia yang diberi amanah membawa risalah ke seluruh alam. Melalui beliau, syariat agama Islam diturunkan. Baik melalui al-Qur’an maupun perilaku, ucapan dan persetujuan (iqrar) beliau yang selanjutnya dikenal dengan hadis. Dalam hierarki sumber hukum (dalil) yang menjadi rujukan umat Islam, Hadis atau sunnah menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Artinya, jika dalam sebuah persoalan tidak dijumpai pijakan hukumnya melalui teks wahyu, maka para juris Islam sebagai pakar hukum diharuskan untuk merujuk pada perilaku yang dilakukan Nabi. Akan tetapi perlu dicatat, tidak semua tingkah laku beliau adalah syariat yang harus diikuti oleh umatnya.
Mengenai hal ini, Syekh Abdul Wahhab memberikan penjabaran sebagaimana berikut :
ما صدر عن رسول الله من أقوال وأفعال إنما يكون حجة على المسلمين واجبا اتّباعه إذا صدر عنه بوصف أنه رسول الله وكان مقصودا به التشريع العام والإقتداء.
Artinya: “Segala perilaku yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan maupun perbuatan adalah undang-undang yang mengikat kepada setiap umatnya jika ditinjau dari kapasitas beliau sebagai utusan Allah (rasulullah) dan dalam rangka menyampaikan syariat kepada umat.”
Namun terlepas bahwa Nabi menjadi sumber syariat Islam, menurut beliau, kita perlu pula mempertimbangkan bahwa Rasulullah adalah seorang manusia biasa. Jadi tentunya perilaku kesehariannya tidak terlepas dari tindakan manusiawi sebagaimana umumnya orang. Hal ini disebutkan Allah dalam al-Qur’an surat al-Kahfi, ayat 110 :
قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۟ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰىٓ اِلَيَّ
Artinya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku.’”
Menurut pemikir Islam asal Mesir tersebut, sekurang-kurangnya perilaku Nabi saw yang bukan termasuk syariat bagi umatnya terbagi menjadi tiga bagian :
Pertama, perilaku Nabi sebagai manusia biasa seperti berdiri, duduk, berjalan, tidur, makan, minum dan lain sebagainya. Kecuali jika terdapat dalil yang menyatakan perbuatan manusiawi Nabi ini merupakan syariat bagi umat.
Kedua, kebijakan Nabi terkait urusan duniawi mulai dari cara berdagang, bertani, mengatur strategi perang hingga pengobatan ala Nabi (thib an-nabawi). Tentu, ini juga bukan bagian dari aturan yang mengikat. Seperti halnya manusia biasa, Nabi juga tak luput dari kesalahan terkait persoalan duniawi. Dikatakan dalam sebuah riwayat, beliau pernah keliru menempatkan posisi prajurit perang. Kemudian Nabi ditegur oleh salah seorang sahabat yang sekaligus menunjukkan tempat lain yang lebih strategis.
Ketiga, keistimewaan yang diberikan Allah kepada Nabi seperti menikah lebih dari 4 orang istri. Dalam hal ini, Nabi bukan sebagai uswah bagi umatnya. Al-Qur’an menyatakan batas maksimal menikah dengan empat perempuan adalah ketentuan yang tak bisa dibantah. Contoh lain misalnya, beliau mencukupkan persaksian Khuzaimah (nama laki-laki) seorang diri padahal teks-teks wayu sudah menyatakan persaksian harus terdiri dari dua orang laki-laki.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada ranah tertentu dari perilaku Nabi saw,. yang murni bukan syariat. Kelihaian memilih dan memilah menjadi tugas kita saat ini. Tak lain agar terhindar dari kesalah pahaman dan suul adab kepada Nabi Muhammad saw. Wallahu a’lam bis showab.