Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sisi Esoteris dalam Sanad Hadis

Avatar photo
23
×

Sisi Esoteris dalam Sanad Hadis

Share this article

Dalam kitab Ihyâ Ulumiddin, karya Imam Al-Ghazali banyak ditemukan hadis dha’if bahkan palsu”, ungkapan menyedihkan yang membuat saya tergugah untuk membaca ulang hadis-hadis dalam kitab tersebut.

Betapa tidak menyakitkan, kitab yang telah diakui isinya oleh kalangan Ahlus Sunnah ini dijatuhkan dengan ungkapan yang jauh dari etika dalam menghargai karya ulama-ulama terdahulu. Bahkan jika menilik ke belakang, karya ini menjadi kitab Tasawuf Akhlak pertama yang sangat otoritatif di tengah kerusakan akhlak para penguasa dinasti Abbasiyah saat itu.

Sekarang pun, kitab ini masih menjadi ‘primadona’ bagi para kyai yang mengajarkan tentang akhlak sekaligus suluk-suluk kesufian secara dasar. Melalui kitab ini, Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M/ 505 H) memberikan pengajaran tentang kaidah dan prinsip dalam penyucian jiwa. Tujuannya tidak lain untuk menyeru pada kebersihan jiwa dalam beragama. Di dalamnya tak luput pula membahas konsep takwa, zuhud, rasa cinta yang hakiki, serta sifat ikhlas dalam beramal.

Tema-tema di atas mudah dipahami kalangan santri dan masyarakat umum karena berkaitan langsung dengan laku keseharian. Sehingga memudahkan mereka dalam melaksanakan praktik-praktik ajaran Islam dengan rasa ikhlas. Dan juga diperkuat dengan perilaku zuhud, wara’, tawakkal dan lain sebagainya.

Perjalanan muhaditsin memperoleh hadis hingga dibukukan tidaklah mudah. Proses seleksi hadis atas dasar kualitas sebenarnya bertujuan untuk memilah hadis-hadis yang tidak cacat dari perawi maupun dalam matan (redaksi) nya. Aturan sangat ketat yang diberlakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim membuat jumlah hadis yang masuk dalam kategori shahih terbilang sedikit. Adapun Ibnu Majah, At-Tirmidhi, Abu Dawud, An-Nasa’i dan lainnya masih banyak menerima hadis hasan dan dha’if.

Persoalannya, seleksi hadis yang sedemikian ketat itu demi memperoleh hadis-hadis yang dapat digunakan untuk hujjiyatul hukmi (argumentasi hukum). Sesuai kesepakatan para fukaha, hadis yang kualitasnya shahih dan hasan dapat dipergunakan untuk argumentasi hukum Islam. Sedangkan hadis dha’if dipersilahkan untuk fadhâil al-a’mâl (keutamaan amal). Biasanya ketegori terakhir dipergunakan untuk pelaksanaan amalan-amalan sunnah dan untuk memperkuat argumentasinya.

Dengan demikian, pola perolehan dan penerimaan hadis dalam Islam sangat ketat. Hadis memiliki perjalanan sejarah yang berbeda dengan turunnya wahyu Al-Qur’an. Para mufassirin tidak mempersoalkan perawi maupun redaksi ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab Rasulullah langsung menyampaikan saat wahyu tersebut turun. Bahkan ditulis di atas pelepah kurma, bebatuan, tulang belulang dan lainnya. Sedangkan pembukuan hadis setelah melewati beberapa tingkatan perawi. Hal ini membuat hadis terkadang perlu pengecekan ulang terkait status perawi dan matan dengan takhrîj al-hadîs.

Perjalanan Kaum Sufi dalam Memperoleh Hadis

Dalam salah satu ceramahnya yang tayang di YouTube pada 6 Desember 2019, Said Agil Husen Al-Munawar menyampaikan bahwa Al-Ghazali setelah menulis kitab Tahâfut Al-Falasifah dan Al-Munqidz min Al-Dzalâl justru melakukan uzlah selama 6 tahun. Baginya, apa yang ditulisnya merupakan ilmu. Sedangkan Al-Ghazali ingin mencari al-Ma’rifah yang langsung dari Allah. Sebab panca indra manusia banyak kebohongannya.

Selesai uzlah, barulah Al-Ghazali menulis kitab-kitab Tasawuf, salah satunya Ihya Ulumiddin. Di sinilah proses perolehan hadis Al-Ghazali dimulai. Dalam menuliskan sabda-sabda Nabi, Al-Ghazali terlebih dahulu bertemu langsung dengan Rasulullah. Proses perolehan hadis seperti ini biasa disebut dengan “mukâsyafah”.

Di dalam Ihya’, Al-Ghazali menyebutkan 2 macam ilmu; ilmu mukâsyafah dan mu’âmalah. Ilmu mukâsyafah adalah ilmu bathin yang merupakan tujuan daripada seluruh ilmu. Dari perjalanan yang telah dilaluinya, Al-Ghazali mendapatkan karunia dalam wujud bertemu dengan Rasulullah untuk men’tashih’ hadis-hadis yang ditulisnya, kapan saja dan di mana saja.

Empat abad setelah itu, pengalaman spiritual yang sama juga dialami Abdul Jalil bin ‘Udhum Al-Qairawany. Ia menuliskan kitab Jami’ As-Syamâil Al-Muhammadiyah wa As-Shalawât Az-Zakiyyah ‘ala Khairil Bariyyah setelah bertemu dengan Rasulullah. Hal tersebut lantaran ayahnya yang merupakan wali mendoakannya supaya menjadi wali yang lebih besar ketimbang dirinya.

Jika di antara kita mungkin belum yakin akan proses perolehan maupun tashih hadis melalui mukâsyafah, bagaimana kalau kita tambah contohnya di zaman sekarang.

Said Agil Al-Munawar saat merasa kesulitan mendapatkan sumber rujukan hadis yang dicarinya, ia datang kepada gurunya, Syaikh Yasin Isa Al-Fadani. Di kemudian hari, Syaikh Yasin memberikan tashih hadis kepada muridnya setelah malamnya berjumpa dengan Rasulullah.

Sampai disini, kaum sufi seakan memberikan jawaban pada proses tashih hadis di luar tradisi kalangan muhaditsin. Toh, para pelaku suluk-suluk kesufian setidaknya punya tujuan yang mulia pula terkait hadis-hadis Nabi. Di samping itu, karya-karya mereka sampai saat ini juga dijadikan sebagai rujukan dalam ranah ilmiah.

Barangkali dalam sisi periwayatan, klasifikasi hadis-hadis di atas tidak sepenuhnya ditemukan perawi yang adil, perawi yang tidak syadz (cacat/janggal) dan terkena illat sehingga cacat dalam penerimaannya. Namun proses perolehan dan tashih hadis seperti Al-Ghazali, Al-Qairawani dan Syaikh Yasin tetap sah. Tergantung dasar ilmunya.

Menggunakan ilmu hadis untuk takaran hadis-hadis dalam kitab Ihya’ mungkin tidak sepenuhnya cocok. Walaupun Al-‘Iraqi (725-806 H) juga telah melakukan takhrij kitab tersebut dengan judul kitab “al-Mughni ‘an Hamli al-Ashfar fi al-Ashfar”. Kitab takhrij al-hadis pertama dalam Islam.

Sebagai akademisi, saya tetap punya harapan besar ke depannya bahwa sanad hadis melalui mukâsyafah bisa diterima dalam Ulumul Hadis yang aturannya sebegitu ketat. Karena hadis-hadis tersebut merupakan sabda-sabda yang memang berasal dari Rasulullah. Di samping itu, penerimaan mukâsyafah juga akan memudahkan umat Islam dalam memilah amalan-amalan sunnah. Di mana umat Islam memang hanya bisa melaksanakan sebagian dari sunnah-sunnah Rasulullah. Tidak semuanya. Wallâhu A’lam.

Kontributor

  • Andi Luqmanul Qosim

    Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.