Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sanad Keilmuan dan Warisan Para Nabi

Avatar photo
40
×

Sanad Keilmuan dan Warisan Para Nabi

Share this article

Dulu saya sering diajak oleh Syeikh Mula Yusuf Kurdi
mengunjungi Syeikh
Said Ramadhan al-Buthi
. Biasanya untuk urusan bisnis, lalu dilanjutkan
dengan diskusi. Bahkan kadang dua ulama
Kurdi bermazhab Syafi’i ini
sampai berdebat.

Biasanya saya terpesona melihat dua lautan ilmu beradu,
seolah tenggelam ke dalam arus laut itu, padahal saya tidak mengerti
sepenuhnya.

Suatu kali Syeikh Ramadhan al-Buthi bertanya kepadaku, “Fauzan, kamu baca apa sama Mula Yusuf?”

Saya katakan, “Fikih Syafi’i, ushul fikih, dan syamail
muhammadiyah.”

Beliau berkata, “Teruslah baca seperti itu, karena
begitulah ilmu didapat. setiap huruf dari kitab harus didengarkan penjelasannya
dari guru agar memahaminya dengan benar. Kami dulu seperti itu belajar kepada
guru kami, dan guru kami juga belajar kepada gurunya seperti itu, begitu sampai
kepada pengarang kitab. Para pengarang kitab ini mewarisi ilmunya dari gurunya
dengan cara yang sama sampai kepada
Rasulullah.”

Malaikat Jibril turun membawa risalah dari Tuhan, lalu Nabi Muhammad
SAW belajar kepada Jibril setiap detail risalah tuhan, duduk di hadapannya
sampai kedua lututnya beradu dengan lututnya jibril.

Kemudian para sahabat belajar kepada Nabi Muhammad dengan cara yang sama, siang malam mereka
habiskan dengan
Nabi, makan bareng, bercanda bareng, jalan-jalan
bareng, belajar bareng bahkan perang bareng
. Apa yang dipikirkan Nabi dalam memahami risalah tuhan benar-benar dipahami para
sahabat dengan cara yang benar. Sampai
beliau
mengatakan orang yang
paling paham halal dan haram adalah
Muadz, Ali adalah pintu kota ilmu, orang yang paling paham tentang
faraid
(ilmu waris) adalah Zaid, orang yang sering
dapat ilham dari umat
beliau adalah Umar, dll.

Intinya mereka adalah rekomendasi Nabi sendiri, sebagai bukti bahwa ilmu mereka valid seperti yang diinginkan beliau.

Para sahabat junior seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Hasan bin Ali,
Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Amr bin Ash belajar kepada senior mereka
seperti Ali, Umar, Utsman, Abdullah bin Mas’ud, Ubay, Zaid, dll. Mereka
menghabiskan masa muda mereka untuk barengan dengan murid senior Rasulullah.
Sampai kadang untuk
bertanya beberapa masalah ilmu
, mereka tertidur di depan
pintu rumah gurunya di
siang hari iklim gurun,
ketika menunggu gurunya keluar rumah.

Suhbah seperti itu membuat mereka paham betul bagaimana pemahaman Rasul
tentng risalah Tuhan dan apa yang diajarkan beliau kepada sahabat senior.
Sampai akhirnya mereka dapat pengakuan
dari sahabat senior
atas keilmuan dan benarnya pemahaman mereka tentang risalah Islam, sehingga mereka direkomendasi pada umat untuk
melanjutkan risalah kerasulan. Ilmu itulah yang kemudian diturunkan kepada
generasi selanjutnya.

Untuk memahami bagaimana memahami risalah ilahi dengan benar,
sesuai dengan yang dipahami Nabi, dan para sahabat, para tabi’in yang notabenenya
adalah murid para sahabat melakukan hal sama.
Tabiin Makkah belajar kepada Sayidina Abdullah bin Abbas, tabiin Madinah belajar kepada Abdullah bin Umar, tabiin Syam belajar kepada Abu Darda, tabiin Irak belajar kepada Anas bin Malik.

Para tabi’in
mengahabiskan waktu bersama
para sahabat
. Tak jarang di antara mereka dianggap
sebagai maula (tangan kanan
atau pelayan) guru-guru mereka. Kebersamaan ini membuat mereka memahami
bagaimana pemahaman yang benar terhadap syariah seperti yang diinginkan
Nabi Muhammad karena mereka mengambil pemahaman itu dari orang yang
memahaminya, yaitu murid rasulullah. Sampai akhirmya mereka mendapatkan
rekomendasi sahabat untuk mewariskan keilmuan dan pemahaman yang sudah benar tentang
agama ini yang merek
a dapat dari membersamai
para sahabat.

Tradisi ini kemudian terus diturunkan, sehingga muncul
mazhab-mazhab besar yang namanya dinisbatkan kepada madrasah para pemilik sanad.
Yang bertahan sampai sekarang adalah 4 mazhab fikih besar yang sanadnya jelas.
Adapun mazhab Zahiri, rantai sanadnya terputus sehingga hanya ada buku dan tidak
ada yang mewarisi perihal bagaimana memahaminya.

Sementara
mazhab lainnya malah sama
sekali tidak ada buku yang membahas
, dari bab taharah sampai
bab perbudakan
, sehingga mazhabnya punah. Belum lagi bagaimana memahami fatwa yang tidak
diwariskan.

Pemahaman tentang islam yang diwariskan, inilah yang dinamai sanad
keilmuan
. Seperti inilah pemahaman ilmu Islam diwariskan. Begitu juga cara
mereka mengambil ilmu dari para pendahulunya. Kebersamaan dalam waktu yang
panjang (suhbah) bersama guru, belajar dari mulut ke mulut yang
bersambung kepada Rasulullah, canda bareng, makan bareng, diskusi bareng,
sampai seorang murid dianggap keluarga sendiri dari sang guru. Begitulah cara
mendapatkan warisan ilmu dari ulama. Nah jika ada pendapat yang kontroversi dan
aneh-aneh dan menyalahi 4 mazhab yang pokok, patut kita tanyakan darimana sanad
keilmuannya?

Jangan heran jika banyak pendapat yang aneh-aneh, dan
memahami agama dengan cara yang mengerikan. Kebanyakan karena budaya
mendapatkan warisan sanad keilmuan mulai
ditinggalkan. Padahal sanad keilmuan inilah yang membuat ulama dijuluki pewaris
para nabi, karena mereka adalah yang paling memahami bagaimana Nabi memahami
risalah ilahi, warisan keilmuan ribuan tahun terus didiwariskan kepada generasi
selanjutnya.

Apakah itu semua cukup? Tidak! Di sana ada hal lain yang harus diperhatikan, kita harus
mengambil ilmu dari orang yang tidak berbohong
 atau yang disebut dengan
adil. Pintar, punya sanad, adil, apakah cukup? Tidak!! Disyaratkan juga
tidak beda sendiri
. Ini yang dinamakan tidak syaz. Seperti inilah kemurnian
agama
dijaga.

Kontributor

  • Fauzan Inzaghi

    Asal Banda Aceh, Indonesia. Sekarang melanjutkan studi di Universitas Syeikh Ahmad Kuftaro, Damaskus Suriah.