Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Childfree dalam Pandangan Islam

Avatar photo
42
×

Childfree dalam Pandangan Islam

Share this article

Di antara pembahasan yang masih sangat hangat di media sosial adalah childfree, atau voluntary childlessness yaitu sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Isu yang satu ini menjadi polemik bagi masyarakat (internet) Indonesia.

Di saat yang bersamaan, childfree disambut dengan hangat sekaligus dingin oleh beragam kalangan. Dan bisa disimpulkan menjadi dua kelompok: (1) kelompok feminis; dan (2) kelompok progresif dengan berbagai spektrum, menyambut baik perdebatan ini sebagai gerbang untuk pembahasan lanjutan soal hal-hal mendasar lain di balik hak childfree, seperti konsep hak anak, tanggung jawab orang tua, negosiasi antara tantangan demografis dan doktrin agama, konsep akhlak, dan bahkan konsep tentang takdir rezeki beserta nasib tiap anggota keluarga.

Dalam keadaan seperti ini, penting kiranya untuk melihat dan menelaah beberapa aturan-aturan syariat dalam membahas persoalan yang satu ini. Secara umum, tidak ada kewajiban secara qath’i (tegas-pasti) dalam Islam untuk memiliki anak, sebagaimana tidak ada larangan dan keharaman secara tegas dalam keputusan tidak memiliki anak. Sebab, memiliki anak adalah sesuatu yang fitrah dan memiliki tujuan tersendiri dalam syariat. Salah satunya adalah agar manuia selaku khalifah yang diberi mandat untuk memakmurkan bumi secara terus menerus, dari satu fase menuju fase selanjutnya, dari satu waktu menuju waktu selanjutnya.

Oleh karenanya, Rasulullah saw menganjurkan bagi umat manusia untuk menikah dengan wanita yang mempunyai potensi memberikan keturunan. Imam Abu Daud dalam Sunan-nya meriwayatkan salah satu hadits:

جاءَ رَجُلٌ إِلى النَّبِيِّ فقال: إِنِّي أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ، وَإِنَّهَا لَا تَلِدُ، أَفَأَتَزَوَّجُهَا؟ قال: «لَا». ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ، ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ، فقال: «تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَم

“Seorang lelaki datang kepada Nabi saw, ia berkata, ‘Aku menyukai seorang wanita yang bernasab baik lagi rupawan, tetapi dia mandul. Apakah aku akan menikahinya?’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian lelaki itu mendatanginya lagi, namun Rasul tetap melarangnya. Kemudian dia mendatanginya sekali lagi, lalu Nabi bersabda, ‘Nikahilah seseorang yang penuh kasih sayang lagi (mampu) berketurunan, sesungguhnya aku akan bangga dengan banyaknya kalian ketimbang umat-umat yang lain.’”

Namun yang menjadi pembahasan dan pertimbangan rumit di lini masa dan beberapa kanal keislaman adalah, pertimbangan demografis yang tidak begitu populer karena di dalamnya berjalin relasi rumit antara jumlah populsi, kebijakan politik, corak pendidikan, dan kesempatan akses ekonomi di suatu wilayah tertentu.

Tentang pendidikan misalnya, sering digadang-gadang sebagai ‘alat’ yang menjanjikan perbaikan dan peningkatan hidup, baik ekonomi maupun intelektual. Meski di saat yang sama, kenyataannya pendidikan terdikte oleh pasar dan politik. Sehingga, pada derajat tertentu, walaupun orang sudah menempuh sekolah tinggi, hutang sana-sini, namun ia belum tentu mudah kerja.

Contoh lain juga datang dari tantangan zaman. Teknologi misalnya. Walaupun orang tua menanamkan nilai-nilai keluhuran, namun ketika si anak hidup dalam lingkungan yang beridentitas ganda (daring dan luring), boleh jadi nilai-nilai itu luntur seketika dan justru melahirkan bom waktu yang secara ekstrim kontras dengan ekspektasi orang tua. Hal itu juga belum ditambah oleh resiko momen sandwich, ketika si anak telah berusia 20-an dan terjepit oleh tuntutan ekonomi dirinya sendiri dan tuntutan ekonomi orang tuanya yang sedang menua atau sakit-sakitan. Artinya, ada tali ekonomi yang dapat menggelincirkan seorang anak pada ketidaksejahteraan, kemiskinan, dan pada keterpurukan kelas sosial atau mobilitas kelas.

Melihat resiko-reskio struktural tersebut, adalah sah dan wajar bila childfree dipeluk dan diimani oleh sebagian orang atau kalangan sebagai alternatif dalam mengatasi persoalan modern. Karena boleh jadi, memilih untuk memiliki anak justru melahirkan masalah sosial yang lebih besar.

Namun, benarkah Islam memandang anak sebagaimana pertimbangan di atas? Atau sebenarnya bagaimana tanggapan Islam dalam menilai pertimbangan-pertimbangan tersebut. Mari kita melihat kembali pemikiran Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.

Sayyid Muhammad memilah antara pembatasan keturunan karena kondisi personal pasangan suami istri, dan pembatasan keturunan karena dijadikan sebagai prinsip hidup semacam ideologi yang dikampanyekan agar orang lain untuk mengikutinya.

Pertama, pembatasan keturunan dalam konteks personal pasangan suami istri atau dharûrah syakhsiyyah karena alasan-alasan tertentu. Sayyid Muhammad tidak mempermasalahkannya, karena hal itu merupakan pilihan hidup yang diserahkan kepada masing-masing pasangan suami-istri. Mereka lebih tahu kondisi rumah tangga sebenarnya.  Apakah pasangan tersebut ingin menunda punya anak dahulu di awal-awal pernikahannya karena alasan tertentu; apakah mereka merencanakan punya anak dua, satu, atau bahkan memilih tidak punya anak sama sekali. Semuanya tidak masalah, selama berangkat dari motif atau niat yang dapat diterima oleh fikih Islam.

Pada masa Nabi Muhammad saw ada pula sahabat yang punya keinginan tidak punya anak dan diizinkan olehnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat hadits:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا، وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تَحَدَّثَ: أَنَّ الْعَزْلَ الْمَوْؤُدَةُ الصُّغْرَى. قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ. لَوْ أَرَادَ اللهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَالنَّسَائِيُّ وَالطَّحَاوِيُّ. وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, sungguh seorang lelaki pernah berkata: ‘Wahai Rasulullah, sungguh aku punya budak perempuan, dan aku ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vaginanya ketika bersetubuh. Aku tidak senang ia hamil dariku, aku punya kehendak sebagaimana kehendak para lelaki, sementara sungguh seorang Yahudi berkata: ‘Sungguh ‘azl merupakan pembunuhan bayi dalam skala kecil’.’ Rasulullah saw lalu bersabda, ‘Orang Yahudi itu bohong. Andaikan Allah menghendaki menciptakan anak, maka kamu tidak dapat menolaknya.’” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan ini redaksi miliknya, an-Nasa’i, dan at-Thahawi. Para perawinya adalah perawi-perawi tsiqqat). (Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulûghul Marâm min Adillatil Ahkâm, [Kediri, Dârul Ibâd, cetakan pertama: 1439 H/2018 M], tahqiq: Ahmad Muntaha AM, halaman 205).

Kedua, pembatasan keturunan dalam konteks menjadikannya sebagai prinsip hidup semacam ideologi (atau menganggapnya sebagai akhlak terpuji), Sayyid Muhammad sangat menolaknya.

Di sisi lain, pemikiran Sayyid Muhammad justru menolak adanya keputusan childfree sebagaimana yang marak didiskusikan di berbagai media. Beliau mengatakan:

وَالَّذِي  نَرَى وَنَتَدَيَّنُ بِهِ اللهَ تَعَالَى أَنَّ فِكْرَةَ تَحْدِيدِ النَّسْلِ كَمَبْدَإٍ، فِكْرَةٌ إِلْحَادِيَّةٌ خَبِيثَةٌ وَمَكِيدَةٌ صَهْيُونِيَّةٌ ظَاهِرَةٌ سَافِرَةٌ، اِغْتَرَّ بِهَا بَعْضُ الْمَفْتُونِينَ مِنَ الْمَحْسُوبِينَ عَلَى الدِّينِ. فَنَفَخُوا فِيهَا وَرَاحُوا يَدْعُونَ إِلَيْهَا بِدَعْوَ الْغَيْرَةِ عَلَى الاقْتِصَادِ الْعَرَبِيِّ وَالْإِسْلَامِيِّ وَحِمَايَةِ الْمُجْتَمَعِ مِنَ الْفَقْرِ وَالْجَهْلِ وَالْمَرَضِ الَّذِي زَادَ بِزِيَادَةِ الْأَفْرَادِ

“Prinsip yang saya anut dan saya gunakan sebagai sikap beragama kepada Allah Ta’ala adalah sungguh pemikiran pembatasan keturunan sebagai prinsip hidup merupakan pemikiran ateisme yang keji, tipu daya zionis yang sangat nyata dan mencolok. Pemikiran itu meracuni sebagian orang-orang yang terkena fitnah dari kalangan tokoh-tokoh beragama. Lalu mereka mengampanyekan pemikiran tersebut dan semangat mengajak orang untuk mengikutinya dengan dalih prihatin terhadap kondisi ekonomi bangsa Arab dan umat Islam, serta dengan dalih melindungi masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, dan penyakit yang semakin bermunculan seiring bertambahnya populasi manusia.” (Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, Adabul Islâm fî Nizhâmil Usrah, [Surabaya, Haiatush Shafwah al-Mâlikiyyah], halaman 160).

Sayyid Muhammad menegaskan, bahwa sebagian orang yang terpengaruh pemikiran seperti itu pada hakikatnya merupakan kebodohan dan kelemahan mereka sendiri. Sebab bila alasannya adalah keprihatinan terhadap kondisi kemiskinan, kebodohan dan masalah kesehatan masyarakat, semestinya yang wajib mereka lakukan adalah mengoptimalkan semangat dan pemikiran mereka untuk menanggulanginya.

Terus menggunakan kemahiran menulis mereka untuk membahas cara penanggulangannya, yang di antaranya dengan mengajak masyarakat untuk kembali pada ilmu pengetahuan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, membuka seluas-luasnya kesempatan riset atau penelitian, dan mendorong orang-orang muda untuk aktif dalam berbagai bidang ini. Selain itu juga mendorong orang kaya dan konglomerat untuk menggunakan hartanya demi kepentingan publik; mengampanyekan kesadaran atas urgensi kesehatan secara sempurna dan menyeluruh, di mana hal tersebut dapat menjaga kesehatan masyarakat, membuat mereka peduli terhadap berbagai sarana-sarana medis, memenuhi berbagai sebab dan upaya kesehatan, baik yang bersifat preventif pencegahan, maupun yang bersifat represif pengobatan. (Al-Hasani, Adabul Islâm: 160).

Imam Al-Ghazali dalam salah satu masterpiece-nya menegaskan, bahwa childfree bisa memiliki legalitas ketika memenuhi beberapa motif sebagai berikut: (1) finansial, atau akan menjadi repot hidupnya; (2) khawatir menganggu karir atau dalam keadaan memprioritaskan karir; (3) khawatir justru menimbulkan kesengsaraan anak di masa depannya; (4) khawatir perihal masalah kesehatan atau kelainan genetic; (5) alasan sosial, misalnya masih banyak anak-anak terlantar atau kurang beruntung yang bisa dirawat; (6) overpolution atau semakin meledaknya penduduk bumi berbanding terbalik dengan kondisi yang semakin rusak. Demikian beberapa motif yang bisa memperbolehkan childfree dalam rumah tangga.

Berbeda apabila motifnya berangkat dari pemahaman dan pemikiran keliru tentang adanya anak. Misalnya; (1) memandang rendah anak perempuan; (2) antinatalisme yaitu keyakinan bahwa melahirkan manusia-manusia baru ke dunia merupakan sikap tak bermoral yang dilakukan secara terus-menerus; (3) mengikuti keyakinan sesat yang menolak memiliki anak dan semisalnya, motif-motif seperti inilah yang mempengaruhi legalitas childfree. Artinya, hukum tersebut menjadi haram disebabkan adanya pemahaman keliru dan pemikiran menyimpang dari ketentuan yang sebenarnya.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.