Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tradisi Kerajaan Islam Unjuk Kekuatan Saat Hari Raya

Avatar photo
40
×

Tradisi Kerajaan Islam Unjuk Kekuatan Saat Hari Raya

Share this article

Nilai-nilai
hari raya dalam perspektif Islam bukan sekadar rutinitas tahunan, atau perayaan
biasa tanpa ada makna di dalamnya. Hari raya menjadi sangat berarti dan luar
biasa karena pada hakikatnya berkaitan dengan ibadah-ibadah penting dalam
Islam. Hari raya Idul Fitri dilakukan setelah umat Islam menunaikan ibadah
puasa selama satu bulan penuh, dan hari raya Idul Adha dirayakan bersamaan
dengan ibadah Haji yang sedang dikerjakan.

Jika
melihat dari kejadian-kejadian yang bersamaan dengan hari raya, khususnya Idul
Fitri, tentu hari raya bukan sekedar tentang perayaan yang dikemas dengan
ibadah shalat sunnah, silaturahim, saling memaafkan, dan tentu pakaian serba
baru.

Lebih
dari itu, hari raya seharusnya menjadi tanda paling istimewa untuk menampakkan
kekuatan dan kemuliaan Islam. Syekh Muhammad bin Ahmad asy-Syatiri dalam kitabnya
Syarah Yaqutun Nafis, mengungkapkan sejarah pada bebarapa abad silam,
bahwa kerajaan-kerajaan Islam pada zaman dahulu mempunyai kebiasaan menampakkan
kekuatan kerajaannya pada setiap hari raya. Hal itu tidak lain kecuali untuk
menunjukkan kekuatan dan kemuliaan Islam.

Dalam
kitab itu, Syekh asy-Syatiri mengatakan:

وملوك المسلمين يستحب لهم اظهار القوة
وعز الاسلام. وكان الملوك السابقون يقومون باستعراض الجيوش

“Dianjurkan (baca: sunnah) bagi pembesar-pembesar umat Islam
menampakkan kekuatannya dan kemuliaan Islam. Raja-raja pada zaman dahulu, memperlihatkan
(kekuatannya dan kemuliaan Islam) dengan menunjukkan dan mempertontonkan bala
tentaranya.” (Syekh Muhammad bin Ahmad asy-Syatiri, Syarah Yaqutun Nafis,
juz 1, h. 265)

Sebagaimana
penjelasan Syekh Muhammad bin Ahmad asy-Syatiri, kebiasaan menampakkan bala
tentara dengan tujuan memperlihatkan kekuatannya dan kemuliaan Islam itu terus
terjadi sampai pada masa kesultanan Utsmaniyah di bawah pemimpin Sultan Abdul
Hamid. Setelah beliau wafat, kebiasaan itu tidak lagi ada, padahal perayaan
hari raya juga tidak lepas dari sejarah perang, yaitu kemenangan umat Islam
dalam perang badar.

Syekh
Muhammad asy-Syatiri juga menjelaskan kebiasaan pembesar umat Islam pada hari
raya sebagai berikut:

ومن عاداته في يوم العيد أن يخرج في
الحرس التركي، الذي يقدر بثلاثين ألف من الشباب الشجعان الموحدي اللباس، تتقدمهم
السيارات والعربات، وينشدون له السلام الملكي، ويعتز كل المسلمين به

“Dan termasuk kebiasaan pada hari raya: (Raja) keluar bersamam
pengawal kerajaan, disertai dengan jumlah tiga puluh ribu pemuda, dan
berseragam pakaiannya, di depan mereka ada banyak tentara berkendara dan
berkuda, mereka menyanyikan lagu-lagus (Islam) dan ucapan salam khas kesultanan
Turki, dengan kebiasaan tersebut umat Islam menjadi mulia (di sisi pemeluk
agama lain).” (Syekh Muhammad asy-Syatiri, Syarah Yaqutun Nafis, juz 1,
h. 265)

Semua
itu mereka lakukan tiada lain karena ingin menampakkan kemuliaan Islam dan
memperlihatkan syiar-syiar hari raya. Jika pada masa keemasan Islam yang
dipimpin oleh Rasulullah saw, para sahabat merayakannya disebabkan dua
kemenangan, yaitu keberhasilan dalam menaklukkan orang kafir, dan keberhasilan
melawan hawa nafsu dengan melakukan puasa selama satu bulan, maka umat Islam
saat ini harus merayakan kemenangan itu dan menampakkan bahwa Islam akan selalu
mulia dan jaya.

Sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadist, Rasulullah saw bersabda:

اَلْإِسْلَامِ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى

“Agama Islam itu tinggi
(mulia), dan tidak ada yang bisa menandinggi ketinggiannya (kemuliannya).”
(HR. At-Thabrani)

Selanjutnya, Syekh Muhammad asy-Syatiri
memberikan cara terbaik untuk mempertahankan kemuliaan Islam. Beliau
mengatakan:

وعلى المسلمين اليوم أن يدركوا أننا
كلنا مسلمون، فقبلتنا واحدة، وقرأننا واحد، ولا نجعل للأعداء مدخلا يتسللون منه بيننا
للتفرقة والتناجر والتباغض

“Semua umat Islam saat ini, harus menyadari bahwa mereka beragama
Islam, kiblatnya satu, Al-Qur’annya satu, dan jangan pernah membuka celah bagi musuh-musuh
Islam untuk memasuki Islam, agar di antara umat Islam tidak terjadi perpecahan,
bermusuhan, dan saling benci.” (Syekh Muhammad asy-Syatiri, Syarah Yaqutun
Nafis,
juz 1, h. 265)

Dengan
demikian, saling memperkuat hubungan antara umat Islam sangatlah dianjurkan.
Islam mewajibkan pemeluknya menjaga persatuan, kenyamanan, dan ketentraman.
Berpegang teguh pada Al-Qur’an, hadist, kesepakatan ulama, dan qiyas. Semua itu
merupakan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Bahkan, Rasulullah dengan segala
upaya mempersatukan umat Islam pada masanya, seperti kaum Khuzraj dan Aus, dan
mempersaudarakan sahabat Anshar dan Muhajirin.

Dalam
Al-Qur’an, dengan tegas Allah swt melarang umat Islam dari berpecah belah.

وَلا
تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ
الْبَيِّنَاتُ

“Dan janganlah kamu menjadi
seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada
mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab
yang berat.”
(QS. Ali ‘Imran: 105)

Harus
disadari, persatuan merupakan ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist
Nabi, sebagaimana larangan bercerai berai. Oleh karenanya, meskipun terasa
sangat berat, harus tetap diusahakan. Al-Qur’an memberikan pesan, tidak boleh
di antara umat Islam bercerai-berai, karena di anatara mereka berstatus
saudara. Selain itu, dinyatakan pula dalam hadist, bahwa umat Islam bagaikan
satu bangunan, maka bagian-bagiannya harus memperkukuh satu sama lain.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.