Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Seni Menggambar(kan) Nabi dengan Benar

Avatar photo
41
×

Seni Menggambar(kan) Nabi dengan Benar

Share this article

Syekh Abdullah
ad-Diraz, ulama yang dijuluki filsuf al-Quran, penulis buku fenomenal ‘Dustur
al-Akhlaq fi al-Qur’an’,
menulis buku berjudul ‘ad-Din’. Hal yang
menarik dari buku tersebut dan harus selalu diulang dalam konteks arus
pemikiran Islam adalah soal perspektif dalam memandang agama. 

Agama dipelajari oleh
dan dari berbagai sisi keilmuan: antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat,
dan seterunya. Tetapi lantaran maraknya perangkat analisis itu, agama lupa
dikaji berdasarkan agama itu sendiri. Maka tidak mengherankan agama yang
dipelajari berdasarkan perangkat eksternalnya itu akan menghasilkan kajian yang
terkadang melenceng dari isi agama itu sendiri: agama adalah candu (Marx),
agama adalah delusi berjamaah (Freud), dan agama adalah proyeksi masyarakat
(Durkhem). 

Syekh Diraz tidak
menampik pentingnya kajian eksternal terhadap agama, karena agama tidak lahir
dari ruang hampa. Tetapi Syekh Diraz mewanti-wanti bahayanya kajian-kajian
tersebut bagi eksistensi agama itu sendiri. Oleh sebab itu, sebelum membedah
agama dari sisi mana pun, agama sebagai agama itu sendiri harus sudah selesai.

Pengantar singkat soal
agama di atas ingin saya tarik ke persoalan esoterisme Islam.

Beberapa waktu yang
lalu seorang Profesor bernama Sumanto Al Qurtuby, nama yang sudah saya dengar
semenjak saya kuliah di UIN Walisongo karena dia ternyata pernah tinggal di
asrama yang dulu saya tinggali, menulis dalam status facebooknya soal
‘menggambar Nabi’. 

Di status pertamanya,
dia mengajukan pertanyaan yang isinya ngetes: kenapa dalam tradisi Islam dewasa
ini menggambar Nabi dianggap pelecehan? Dia kemudian membandingkan beberapa
tradisi dalam agama lain yang sangat selow menanggapi nabi atau bahkan
tuhan mereka divisualisasikan dalam bentuk lukisan atau patung. 

Di status kedua, Sumanto
menjawab pertanyaan yang ia ajukan sebelumnya. Dia memakai perspektif
antropologi dan kesenian Islam. Premisnya begini: beberapa kelompok dalam Islam
tidak mempermasalahkan gambar Nabi (dalam hal ini dia menyebut kelompok Syiah
di Iran dan beberapa kelompok di daerah Turki, Asia Tengah, dan Asia Selatan).
Sejarah juga mencatat bahwa Nabi pernah dilukis dalam beberapa adegan. Dan, ini
yang paling penting: baginya al-Quran tidak menyebutkan secara eksplisit
larangan menggambar Nabi.

Pandangan eksternal terhadap
Nabi (bagian dari agama Islam) semacam di atas bagi saya tidak berangkat dari
penalaran yang benar. Kesalahan pertama tentu karena melihat agama dari luar,
dari teropong yang terlalu jauh. Antropologi mempelajari agama dari ‘gerak’
tradisi yang dilakukan oleh oknum tertentu dari pemeluk agama yang ada kalanya:
(i) mendapat legalisasi sebagai sumber hukum, sebagaimana ijmak, dan (ii) tidak
mendapat legalisasi, semisal akulturasi budaya. 

Akulturasi budaya itu
sendiri tidak dapat diterima jika melenceng dari prinsip-prinsip hukum. Jadi,
adanya oknum yang di suatu masa pernah melukis Nabi sama sekali tidak bisa
dipakai sebagai pembenaran bolehnya Nabi dilukis atau digambar. Perkara
penerimaan masyarakat atas gambar tersebut adalah hal yang lain. 

Sumanto mengkritik
orang zaman sekarang yang sudah selalu menaruh garis marka terhadap segala
macam bentuk visualisasi atas Nabi. Apakah kritikan ini berdasar? Bagaimana
kalau kita asumsikan bahwa lukisan Nabi di zaman dahulu tidak terekspos oleh
banyak orang sehingga tidak ada tanggapan dari masyarakat. Dan bedakan dengan
sekarang, di mana informasi dapat diakses siapa saja dan di mana saja. Sikap
masyarakat harusnya tidak boleh dipisahkan dari media yang melatarinya.

Kesalahan kedua Sumanto
terdapat pada ‘celah’ analisisnya yang timpang. Secara mendasar, ajaran Islam
menolak semua bentuk pemberhalaan. Dan ‘alat’ pemberhalaan paling efektif bagi
seluruh kalangan (terutama orang awam) adalah visualisasi bentuk: bisa lewat
sketsa, lukisan, patung, dan seterusnya. 

Bayangkan, sahabat yang
sudah mengetahui ajaran Islam soal tauhid saja isykal soal praktik mencium
hajar aswad yang dilakukan oleh Nabi. “Jika tidak karena Nabi menciummu,” kata
sahabat Umar ketika hendak mencium hajar aswad, “niscaya saya tidak akan
menciummu.” Ya, alasannya karena hajar aswad tidak bisa memberi manfaat apa-apa
secara logika. 

Jika Nabi
divisualisasi, ya Nabi yang agung, maka sangat rawan umat terjebak pada
pemberhalaan dan mengakui sesuatu selain Allah punya daya untuk A atau B.

Betul bahwa dalam al-Quran
tidak ada larangan yang secara eksplisit menyitir soal ‘menggambar Nabi’,
tetapi secara eksplisit kita tidak pernah disuguhi oleh al-Quran dengan
gambaran fisiknya Nabi. Al-Quran justru mengatakan bahwa Nabi ‘memiliki akhlak
yang agung’. Umat Nabi tidak dituntut oleh agama kecuali meneladani akhlaknya
Nabi, bukan fisiknya Nabi. 

Jadi, menggambar fisik
Nabi dan menempelkannya di dalam kamar atau di baleho jauh tidak lebih penting
dari meneladani akhlaknya. Di dalam Hadis memang terdapat banyak riwayat yang
menjelaskan soal perawakan, fisik, dan wajah Nabi. Tetapi justru di sanalah
sisi kesenian dalam menggambarkan Nabi. Membaca riwayat-riwayat tersebut orang
akan memiliki bentuk visual Nabi dalam kepala mereka masing-masing. Mereka
berhak untuk mengimajinasikan Nabi sesuai dengan kapasitas mereka. Berbeda jika
kasusnya ada kanon berupa sketsa atau lukisan. Orang akan terpaku dengan
lukisan itu dan imajinasi mereka tidak akan melenceng dari yang sudah tergambar
di sana.

Alhasil, dalih kesenian
sangat tidak bijak untuk mengafirmasi bolehnya Nabi digambar. Memandang agama
dari segi keseniannya saja jelas akan mereduksi agama itu sendiri. Seperti
halnya kasus dalam memandang agama dari segi keilmuan eksternal lainnya. Pun
jika kita paham tentang hakikat seni, maka kita justru akan terpukau dengan
kesenian dalam menggambarkan Nabi lewat kata-kata. 

Bukankah kita tidak
kekurangan puisi, syair, dan prosa, yang dapat membantu kita untuk menyaksikan
keagungan fisik Nabi? Mau berkata apa lagi? Tradisi Arab pada waktu itu yang
lebih condong ke syair daripada seni visual? Itu perlu ditunjau ulang. Bukankah
sebelum Fathu Makkah amat banyak berhala yang nongkrong di sekitar Kabah?
Apakah orang Arab pada waktu itu tidak mengenal seni patung? Lalu kenapa sampai
hari ini kita tidak menemukan satu pun sahabat yang dulunya ahli seni pahat
yang akhirnya mematungkan fisik Nabi sehingga hari ini kita bisa menyaksikannya
di museum?

Tidak, Nabi dan agama
tempatnya bukan di museum maupun galeri. Agama ada di dada kita, Nabi ada di perilaku
kita, seharusnya, ya, seharusnya.

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.