Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Menghidupi Karya Para Ulama

Avatar photo
35
×

Menghidupi Karya Para Ulama

Share this article

Guru-guru kita selalu mengajarkan bahwa membaca suatu karya ulama harus penuh dengan penghayatan. Buatlah seolah-olah kita asyik berada di tengah-tengah
diskusi para ulama.

Maulana Syekh Sa’duddin al-Hilali misalkan, guru kami dalam
perbandingan mazhab fakultas Syari’ah al-Azhar, pernah berbicara tentang
pentingnya menghormati setiap pendapat
ulama. Saat menekankan
urgensi membuat bacaan agar menjadi hidup
, beliau berkata,
“Ketika kamu mengutip pendapat orang lain, tulislah seolah-olah kamu
sendiri yang mengatakan pendapat itu!”

Hal ini agar kita tak mudah mengkritik dan menyalahkan pendapat
yang kita kutip, padahal boleh jadi kita belum memahaminya dengan baik. Namun
kalau kita bersikap seolah pendapat itu adalah pendapat pribadi kita, kita akan
membaca pendapat itu dari berbagai sisi, kenapa bisa muncul pendapat itu? Apa
konteks yang mengiringinya? Apa alasan si pengucap? Apa argumennya? Hal-hal
yang mesti diketahui sebelum kita menyikapi pendapat orang lain.

Ini senada dengan yang dilantunkan Syekh Abdurrahman al-Akhdhari (w. 953 H) dalam penutup nazham as-Sullam al-Munawraq:

إذ قيل كم مزيف صحيحا * لأجل كون فهمه
قبيحا

Berapa banyak orang yang menyalahkan sesuatu yang benar

Karena pemahaman buruk dia (terhadap kebenaran yang dia anggap salah)”

Bagi mereka yang mengikuti pengajian bersama Maulana Sayyid
Abdullah al-Jufri, guru kami di majlis Rawdhah an-Na’im di samping masjid Imam
Husein (w. 61 H), pasti sudah akrab dengan gaya penyampaian beliau. Terutama
dalam menjelaskan perbedaan pendapat antara ulama. Beliau selalu membuat
perbedaan pendapat itu menjadi hidup sehingga seolah-olah kita sedang ikut
berdiskusi dengan para ulama dalam membahas masalah.

Beliau pernah menjelaskan bahwa suatu ketika Ibnu al-Qasim
al-Abbadi (w. 994 H), penulis Hasyiah terhadap kitab Tuhfah
al-Muhtaj,
bertanya kepada gurunya Syekh Muhammad ar-Ramli (w. 1004 H), “Maulana,
ketika seseorang mengucapkan salam dalam shalat, apakah disunnahkan juga niat
menyampaikan salam tersebut kepada orang-orang yang ada di sampingnya?”

Ar-Ramli
menjawab
, Ya, itu
disunnahkan
, anakku, karena itulah yang diperintahkan
Rasulullah SAW. kepada para sahabat
.

Ibnu al-Qasim bertanya kembali, “Tapi Maulana, bagaimana apabila dia hanya berniat
menyampaikan salam kepada orang-orang yang berada di sekitarnya saja, tanpa
berniat keluar dari shalat (tahallul) dengan salamnya
? Apakah hal tersebut bermasalah, karena ketika
dia hanya niat mengucapkan salam kepada orang sekitarnya dan tidak niat menutup
shalatnya dengan salam itu artinya salam itu teralihkan dari fungsinya sebagai
penutup shalat?”

Ar-Ramli menjawab, “Tidak Nak, karena niat mengucapkan salam kepada
orang sekitar itu perintah dari Rasulullah, sehingga tidak dianggap
sebagai sesuatu yang mengalihkan (sharif) makna salam dari fungsinya sebagai
penutup shalat.”

Ibnu al-Qasim pun mengakhiri percakapan tersebut. Tapi ternyata dia
tidak puas dengan jawaban gurunya, karena ketika seseorang mengucapkan subhanallah
dalam shalat jamaah karena ada kesalahan yang dilakukan imamnya, bukankah hal
itu juga merupakan perintah Rasulullah?

Namun ketika dia hanya berniat mengingatkan imamnya (tanbih)
tanpa berniat zikir hal tersebut bisa membatalkan shalat, maka seharusnya
ketika seseorang mengucapkan salam hanya berniat menyampaikan salam kepada
orang-orang sekitarnya tanpa berniat mengakhiri shalat (tahallul) dengan
salam, hal tersebut juga membatalkan.

Karena
pada 2 masalah tersebut, keduanya sama-sama mengucapkan sesuatu (salam dan
tasbih) namun hanya bertujuan menyampaikannya kepada orang lain, tanpa
menghadirkan niat yang dipertimbangkan dalam shalat, yaitu niat zikir pada
masalah subhanallah, dan niat keluar dari shalat pada masalah salam. (Hasyiah
Ibn al-Qasim Ala Tuhfah al-Muhtaj
)

Namun kemudian muncullah Ali Syibramalsi (w. 1087 H). Dia merupakan murid dari az-Ziyadi (w. 1024 H)
yang merupakan murid
Imam ar-Ramli.  Ia pun membela pendapat Imam Ramli bahwa
tidak perlu niat menutup shalat dengan salam ketika itu.

Ali Syibramalsi berkata, “Tidak
wahai Ibn
u al-Qasim, pendapatmu ini kurang tepat. Karena seseorang ketika melakukan salam dalam shalat
dan didengar orang di sekitarnya yang tidak shalat maka dia tidak wajib
membalas salamnya
. Karena
salam dalam shalat itu memang disyariatkan untuk keluar dari shalat, bukan
untuk menyampaikan pesan damai kepada seseorang yang ada di sekitarnya,
sehingga ia tidak wajib menjawabnya. Dari sini bisa dipahami bahwa niat
menyampaikan salam kepada orang di sekitarnya bukanlah sesuatu yang mengalihkan
(sharif) fungsi salam sebagai penutup shalat (dibuktikan bahwa salamnya tidak
wajib dijawab), maka tidak perlu niat keluar dari shalat. Berbeda dengan
mengucapkan tasbih ketika imam melakukan kesalahan dalam shalat
. Kalau dia hanya berniat mengingatkan imam, maka
hal tersebut bisa mengalihkan makna tasbih (yaitu zikir) dalam shalat, menjadi
sebatas pengingat imam
.(Hasyiah
Ali Syibramalsi
terhadap kitab
Nihayatul Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, vol. 1, hlm. 628-629).

Itulah mungkin gambaran bagaimana membaca warisan para ulama seolah
kita duduk di hadapan mereka dan mendengarkan asyiknya mereka mengobrol.

Dimulai dengan membiasakan seolah bercengkrama dengan para ulama
melalui karya-karyanya
. Semoga
Allah memberikan hadiah penghayatan seolah bercengkrama dengan-Nya ketika
membaca al-Qur’an, sebelum nanti menghadapi kenikmatan memandang-Nya. Wallahu
a’lam.

Kontributor

  • Yusuf Suhada

    Pernah mengenyam pendidikan di Daarul Rahman KH. Syukron Ma'mun, dan Gus Faiz Syukron Ma'mun, dan menamatkan sekolah di Yayasan al-Badar Tangerang. Kemudian pesantren salafi Ath-Thahiriyah di Banten asuhan almarhum Abah TB. Hasuri Thahir. Sekarang kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir.