Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Orang Pertama yang Merayakan Maulid Nabi

Avatar photo
31
×

Orang Pertama yang Merayakan Maulid Nabi

Share this article

Lembaga Fatwa Mesir Darul Ifta mengumumkan melalui laman resmi Twitter-nya bahwa tertanggal 18/10/20 sudah memasuki bulan Rabi’ul Awwal. Sudah barang tentu, pengumuman itu selalu disambut hangat dan gembira oleh segenap kaum muslimin dengan perayaan Maulid Nabi. Tidak hanya di Mesir, namun di pelbagai negeri muslim lainnya seperti Pakistan, Afghanistan dan Indonesia.

Kegembiraan kaum muslim merayakan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal atau Rabi’ul Anwar–alasan penamaan Rabi’ul Anwar sebab di bulan ini lahir sang pembawa cahaya—bukan berangkat dari ruang kosong, melainkan dari sebuah cinta yang begitu tulus kepada sang panutan sekaligus pemimpin umat muslim seluruh dunia; Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Ekspresi cinta yang umat muslim luapkan beragam. Ada yang menyambut bulan ini dengan memasang lelampuan atau umbul-umbul di sepanjang jalanan. Ada juga yang membaca al-Qur’an, membaca sirah nabi, berpuasa atau mengerjakan sunah-sunah nabi lainnya.

Dan, yang paling lumrah dilakukan oleh mayoritas masyarakat muslim di bulan Rabi’ul Anwar ialah merayakan dengan cara menggelar sebuah acara besar. Sebuah momen tahunan yang biasa disebut dengan Ihtifal bi Maulidi an-Nabi, acara peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw.Di dalamnya dilantukan ayat-ayat suci al-Qur’an, pembacaan sirah nabi, puji-pujian (al-Madaih), berzikir dan sedekah makanan, sebagaimana yang ditulis oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Husnu al-Maqashid Fi Amal al-Maulid.

Baca juga: Syarah Kasidah Pujian “Kanjeng Nabi Muhammad”

Muslim Pertama yang Merayakan Maulid Nabi

Seorang dai kondang di Indonesia menyebutkan orang yang pertama kali menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Nabi adalah seorang raja di Irbil pada masa Dinasti Ayyubiyah. Raja itu bernama Al-Malik Al-MuzhaffarAbu Said Kukbari (w. 620 H). Nama ini juga sering disebut oleh sejarawan-sejarawan muslim.

Namun, dalam kitab Tarikh al-Ihtifal bi Maulid an-Nabi–Shalallahu ‘alaihi wa sallam—wa Mazhahiruhu fi al-‘Alami, seorang sarjana muslim Mesir, Muhammad Khaled Tsabit menuliskan bahwa ada seorang muslim yang sudah mendahuluinya. Siapakah orang itu?

Dia adalah Syekh Umar Al-Mala (w. 570 H). Seorang waliyullah besar asal Mosul, Irak, yang pertama kali menggelar peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Informasi ini juga disebut oleh Abu Syamah:

“Beliau (Syekh Umar) setiap tahun mengundang orang banyak dari masyarakat Mosul untuk memperingati acara Maulid Nabi Saw., di perhelatan akbar acara itu para munsyid kerap melantunkan pujian kepada Rasulullah Saw.”

Di dalam literatur lain disebutkan, bahwa perayaan Maulid sudah ada sejak pasca abad ketiga hijriyah. Orang-orang muslim pada masa itu menggelar pesta di siang hari, kemudian di malam harinya mereka bersedekah dengan aneka ragam sedekah, meluapkan rasa senang dan membaca sirah atau biografi Nabi Muhammad Saw. Demikian diungkapkan oleh Imam Al-Qasthalani, ulama besar mazhab Hanafi sekaligus salah satu ulama penyarah kitab Shahih Al-Bukhari.

Membantah Klaim Bid’ah

Sebagian kalangan muslim beranggapan bahwa perayaan Maulid merupakan amalan bid’ah (heretic), sebuah amalan yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. dan tidak pernah dilakukan oleh beliau. Apakah itu menjadi sebab tidak bolehnya Maulid?

Rasulullah Saw. bersabda yang artinya, “Barang siapa membuat suatu praktik yang baik (positif) maka baginya pahala seperti orang yang mengerjakan sesuatu baik tadi.”

Rasulullah Saw. juga bersabda yang artinya, “Barang siapa menunjukkan kebaikan (pada orang lain) maka baginya pahala seperti orang yang mengerjakannya.”

Baca juga: Fatwa Mufti Makkah Tentang Berdiri Ketika Pembacaan Maulid

Berangkat dari hadis itu, kita dapat memahami bahwa sebuah praktik, apa pun itu bentuknya, selama baik dan sejalan dengan hukum syariat Islam alias tidak melanggar norma ajaran agama, maka ia menjadi suatu praktik (sunnah)yang baik. Maka peringatan hari besar Islam, khususnya Maulid Nabi, kiranya sudah jelas apa hukumnya.

Jika kita melihat pada substansi acara Maulid itu sendiri, semuanya adalah kebaikan dan bahkan bagian dari ajaran agama Islam itu sendiri, semisal baca al-Qur’an, sirah nabi, pujian-pujian, membaca hadits, bersedekah dll.

Ada sebuah ungkapan mengatakan:

ليست البدعة ما لم يفعله الرسول، إنما البدعة ما خالفه الأصول

“Bid’ah bukanlah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul, bid’ah merupakan suatu (praktik) yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits.

Perhelatan akbar acara Maulid Nabi sebagaimana yang disebutkan Imam As-Suyuthi di awal tadi jelas bukan sesuatu yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Selagi tidak berseberangan, mengerjakannya jelas mendapatkan pahala dan dibolehkan. Bila disimpulkan, sesiapa merayakan kelahiran Nabi, maka pahala baginya.

Seorang ulama Hijaz, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Makki pernah berkata, “Tidak layak seorang berakal bertanya, ‘Mengapa kalian memperingati Maulid Nabi?’ karena seolah-olah ia bertanya, ‘Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi?’” Wallahu ‘alam bi ash-Shawab.

Kontributor

  • Ahmad Fauzan Azhima

    Achmad Fauzan Azhima, pemuda asal Banten. Mahasiswa Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Fakultas Ushuluddin. Dept. Teologi-Filsafat. Peminat kajian Filsafat, Teologi dan Teosofi. Pernah jadi anak bawang di SASC (Said Aqil Siradj Center) Mesir dalam kajian Historis Islam Klasik.