Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Belajar Menghargai Waktu dari Para Ulama Terdahulu

Avatar photo
34
×

Belajar Menghargai Waktu dari Para Ulama Terdahulu

Share this article

Waktu merupakan satu dari sekian banyak nikmat agung yang diberikan Allah swt kepada manusia. Para ulama terdahulu mengerti betul arti waktu dan merasa rugi bila terlewat dalam amal dan karya.

Begitu istimewanya, Allah swt berulang kali menegaskan arti penting kedudukan waktu dalam Al-Quran. Tidak sedikit pula Allah swt mengambil sumpah dengan waktu. Hal ini tiada lain hanya untuk menjelaskan keagungan dan kedahsyatannya.

Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), demi siang apabila terang benderang. Demi fajar. Demi masa, sungguh manusia berada dalam kerugian. Demi waktu dhuha, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap). Demi fajar apabila telah menyingsing dan lain-lainnya.

Menurut Syekh Abdul Fattah Abu Ghudah, waktu atau zaman termasuk salah satu jenis nikmat pokok seperti halnya nikmat sehat dan nikmat ilmu.

Imam Fakhrudin ar-Rozi dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Kabir mengatakan Allah bersumpah demi masa dalam surat al-Ashr karena di dalam masa terdapat banyak rahasia dan keajaiban. Di dalamnya pula terjadi yang namanya kesenangan dan kesengsaraan, sehat dan sakit, kaya dan papa.

Menyoal urgensi waktu, tentu tiap orang berbeda-beda. Beda arti waktu antara petani dan politisi; editor dan kolektor; santri dan bupati; penuntut ilmu dan guru.

Baca juga: Sumbangsih Ulama Labuhan Batu dalam Polemik Berdiri Menyambut Seorang Mulia

Tulisan berikut hendak menampilkan sedikit potret  ulama terdahulu dalam memuliakan dan menjaga waktu demi kepentingan belajar (ilmu). Maka saya berikrar, demi tulisan ini, merugilah bagi mereka yang (terlalu) santai, leha-leha dan gemar berkata “nanti, nanti” untuk urusan belajar. Takarlah waktu belajarmu dengan para ulama-ulama ini.

Cerita memilukan pertama datang dari Imam Abu Yusuf al Qodhi al-Ma’i. Dia adalah salah satu murid Imam Abu Hanifah yang paling lama membersamai beliau. Dikabarkan dia menghabiskan waktu selama 17 tahun untuk menghadiri majlis Abu Hanifah. Bahkan informasi lain menyebutkan lebih lama lagi, hingga 29 tahun.

Sekali-kali tidak pernah ia melewatkan shalat tanpa bersama gurunya itu. Ibarat pepatah ada gula ada semut, di mana ada Imam Abu Hanifah di sana pula Abu Yusuf berada. Kalaupun terpaksa absen hanya saat kondisi sakit parah saja.

Ditururkan Muhammad bin Qudamah, “Aku mendengar Imam Abu yusuf berkata dengan rona muka sedih, ‘Anak laki-lakiku meninggal, dan aku tidak ikut melayat dan menguburkannya. Aku menitipkan segala urusannya pada kerabat dan tetanggaku.'” Keputusan Imam Abu Yusuf ini demi mengahdiri majlis ilmu gurunya.

Cerita selanjutnya datang sebagai pengingat bagi para penuntut ilmu yang suka dininabobokan oleh indahnya bunga tidur. Tengoklah cerita Muhammad bin Hasan yang selalu terjaga setiap malam. Kalaupun tidur itu hanya sesaat belaka.

Al-‘Allamah Thasykubri Zadah dalam kitab Miftahu as-Sa’adah wa misbahu As-Sayadah mengisahkan ketekunan murid Imam Abu Hanifah ini. Ketika malam datang, Muhammad bin Al Hasan tidak pernah menyia-nyiakan waktunya  walau barang sebentar saja. Tiada malam pernahia lalui dengan tidur pulas.

Layaknya sepasang kekasih, saban malam ia kencani kitab-kitab untuk belajar dan menelaah. Apabila hatinya merasa jemu, ia akan ambil kitab disiplin ilmu lain agar suasana hatinya baik lagi. Baginya tidur adalah panas (nafsu), maka langkah mengusirnya dengan air (wudlu).

Pastinya kita semua sepakat, waktu tidak bisa dibeli apalagi terulang kembali. Begitu berharganya waktu, sampai-sampai Isham al Bulkhi punya niatan tidak ingin melewatkan setiap ilmu yang ia peroleh.

Dalam hikayat lain, dia membeli pena yang dibandrol satu dinar kemudian digunakan untuk mencatat apa saja–peristiwa, ilmu, kejadian—yang ia dengar. Usut punya usut ternyata alasan Isham al-Bulkhi melakukan ini karena usia manusia begitu pendek sedang ilmu begitu melimpah (banyak).

Sehingga alangkah lebih baik bagi penuntut ilmu agar senantiasa mengelola waktu sebaik mungkin. Jangan samapai membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa faedah. Upayakan menyendiri menghidupi malam demi belajar, dan beristifadah dengan para masayikh. Sebab tidak semua yang hilang bisa didapat kembali.

Prinsip milik Isham al-Bulkhi ini senada dengan perkataan Imam Hasan al-bashri:

إنما أنت أيام مجموعة، كلما مضى يوم مضى بعضك

Baca juga: Traveling Ala Kaum Sufi

Cerita berikutnya tentang Imam ath-Thabari. Siapa yang tidak mengenal Imam Ibnu Jarir ath-Thobari, seorang sejarawan, muhadits dan mufasir tersohor. Dia beristifadah dan menjaga waktu hanya untuk belajar, mengajar, menulis dan mengarang. Walhasil , beliau menelurkan karya tafsir Al-Quran dengan ketebalan yang bombastis, tiga puluh ribu lembar.

Berdasarkan penuturan al-Khatib: As-Simsimi bercerita tentang ath-Thabari, kabarnya ia menulis karangan 40 lembar di setiap malamnya selama empat puluh tahun. 

Ahmad bin Jakfar al-Farghani mengungkapkan satu fakta mengejutkan dalam kitabnya As-Shilah. Apabila keseluruhan halaman buah karya Imam ath-Thabari dibagi dengan usianya maka akan didapatkan hasil kalkukasi bahwa selama 83 tahun dia menulis setiap harinya empat belas halaman. Hamba siapa saja tidak akan mampu melaksanakan kecuali dengan pertolongan Allah.

Terkadang para ulama karena sangat asyik masuk dalam belajar sampai lupa daratan dan keadaan sekitar. Nasib naas ini dialami oleh Ibn al-Khayath. Dia belajar sambil jalan hingga terjungkal dan masuk ke jurang. Lain kisah, ada Tsa’lab yang menuai nasib lebih tragis. Dia ditabrak seeekor kuda hingga tewas.

Selain itu, tidak sedikit para ulama terdahulu yang lupa makan demi melanggengkan muthalaah. Bagi mereka tidak ada yang lebih lezat dan nikmat ketimbang belajar dan mencari faedah di mana pun mereka berada. Ibnu Aqil memilih makan roti basah dibanding roti kering. Pasalnya roti basah lebih hemat dan cepat sehingga waktunya tidak terbuang cuma-cuma dalam urusan makan saja.

Laku memendekkan waktu persis seperti nasehat dua bait dari Imam as-Suyuthi berikut ini:

حدثنا شيخنا الكناني # عن أبيه صاحب الخطابة

اسرع أخا العلم في ثلاث # الأكل و المشي و الكتابة

Syekh al-Kinani menceritakan dari ayahnya—seorang penceramah—kepadaku
Percepatlah, O penuntut ilmu dalam tiga urusan; makan, berjalan dan menulis

Jika ada yang lupa makan dan tidur, ada juga ulama yang lupa memperhatikan kesehatan badan. Rekam cerita ini diutarakan langsung oleh murid Ibnu Taimiyah sendiri, Imam Ibnu al-Qoyyim dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin: Ketika aku sakit, dokter akan bilang kepadaku, “Bila kamu tetap memaksakan diri belajar, penyakitmu akan tambah parah.”

“Bukankah jiwa saat bahagia dan gembira akan tambah lebih bertenaga?” tanya Ibnu Taimiyah.

“Benar,” jawab dokter.

“Jiwaku lebih disenangkan dengan ilmu sehingga jadi lebih kuat dan lebih nyaman. Itulah kunci pengobatanku. Dan aku tidak sabar akan hal itu.” tegasnya.

Hafshah binti Sirrin menasehati kita: “Selagi muda jangan sampai menyia-nyiakan waktu. Umur yang sejati sebenarnya ada pada saat muda. Pada waktu itu kondisi tubuh masih prima, segar bugar, lincah bergerak dan leluasa, serta punya gairah dan tujuan yang tinggi. Kalau sudah tua, apa yang bisa kita harapkan? Tubuh sudah bapuk dan melemah.”

Benarlah nasehat ini,

ما العمل إلا فى الشباب

“Tidak ada kerja keras kecuali di waktu muda.” Dan para ulama terdahulu amat menyadari maksud pesan ini.

Baca juga: Gus Dur dan Orang India yang Konon Dianggap Pintar

Kontributor