Kolonialisme merupakan mimpi buruk bagi peradaban. Kerugian akibat perang dunia I dan II yang dialami negara-negara Eropa telah memancing mereka untuk melakukan ekspansi dan penjajahan ke negara-negara timur yang terkenal kaya sumber daya alamnya.
Kemunduran yang dialami negara-negara jajahan merupakan faktor lainnya. Ada banyak teori menyebutkan terkait gerakan kolonialisme dunia. Kita tak bisa hanya geram saja membaca sejarah penjajahan bangsa sendiri.
Tak bisa terus-terusan menyalahkan Belanda yang menjajah kita. Sebab penjajahan tak akan pernah terjadi jika negara kita kuat secara ekonomi, politik dan militer. Jadi kelemahan bangsa sendiri jauh lebih menakutkan dari kekuatan penjajah.
Lantas hikmah kolonialisme apa? lahirnya pahlawan-pahlawan anti kolonial, baik yang ditulis secara heroik oleh tinta sejarah maupun yang tidak. Semua ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Para sufi termasuk elemen bangsa yang terlupa atau memang sengaja dilupakan perannya dalam mengusir penjajah. Kaum sufi meyakini bahwa tak ada manusia yang berhak menjajah manusia atau bangsa lainnya, atas dasar apapun.
Dalam ajaran tasawuf, manusia hanya berhak menghamba pada Allah. Bukan pada manusia yang lain. Di mata Allah semua manusia sama, terlepas apapun ras, warna kulit dan bahasanya, kecuali ketakwaan. Ini menjadi ajaran inti Islam yang dihayati oleh kaum sufi. Sehingga tak akan Anda temukan seorang sufi meremehkan manusia lainnya.
Peran Kaum Sufi Melawan Kolonialisme di Indonesia
Tarekat sufi dewasa ini sering dipandang sebagai ‘biang kemunduran’. Ia tak lebih dari perkumpulan yang menampung pengangguran dan orang-orang modern yang kesepian dan mencari oase di tengah gerahnya perkotaan. Tak ada sumbangsihnya sama sekali.
Sehingga Sayed Hosein Nasr mengilustrasikan bahwa kini kaum sufi diserang dari dua arah: kaum modernis (utamanya Wahhabi) yang menuduh sesat, dan mayoritas orientalis yang menarasikan kaum sufi sebagai sekumpulan orang-orang terbelakang yang tak bisa mengimbangi modernitas.
Apa kontribusi kaum sufi di masa kolonial? Sejarah formal negeri kita tak pernah secara tegas mencatatnya. Apakah kaum sufi hanya asyik dalam munajatnya dengan Tuhan sehingga urusan segenting ini tak menggugah nurani mereka?
Baca Juga:
Sebenarnya sayup-sayup kita membacanya meski bukan kabar mewah. Martin Van Bruinessen dan Michael Laffan, dua indonesianis yang tercatat mendedikasikan penelitiannya pada Indonesia, menemukan adanya fakta bahwa pada 1888 M pihak kolonial Belanda pernah mendapat perlawanan sengit dari tarekat Naqshabandiyah Qadiriyah yang dipimpin Kiai Abdul Karim di Cilegon, Banten.
Atau sebelumnya, yang paling masyhur adalah perlawanan Syeikh Yusuf Al-Makasari di bawah komando Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, hingga Al-Makasari diasingkan ke Srilangka dan akhirnya wafat di Cape Town, Afrika Selatan pada 1699 M.
Al-Makassari adalah penganut tarekat Khalwatiyah yang berjuluk “Tajul Khalwati” (Mahkota Khalwatiyah). Merantau ke Banten dan diangkat menjadi mufti kesultanan Banten setelah kerajaan Gowa, Makassar dikalahkan Belanda 1672 M.
Sementara 1819 M, di Sumatera, tarekat Sammaniyah juga melakukan perlawanan sengit terhadap Belanda. Sammaniyah adalah tarekat yang dibawa oleh Syeikh Abdus Shamad Al-Palimbani (w. 1789 M) yang mendapat baiat langsung dari pendirinya, Abdul Karim As-Samman. Tarekat ini adalah kombinasi Khalwatiyah dengan tarekat-tarekat lain. Murid-murid Al-Palimbani lah yang menggelorakan perlawanan di Sumatera kala itu.
Tahun 1860 M penduduk Borneo (Kalimantan Selatan) juga melakukan perlawanan melalui sayap-sayap tarekat yang tersebar di sana. Van Bruinessen tidak menyebutkan tarekat apa. Tapi penulis menduga adalah tarekat Sammaniyah juga, sebab teman sejawat Al-Palimbani, Syeikh Arsyad Al-Banjari, sedang giat-giatnya menyebarkan dakwah. Murid-murid Al-Banjari dan Nafis Al-Banjari inilah yang tampil terdepan melawan penjajah.
Tarekat Sufi Dunia Islam Masa Kolonial
Apakah kenyataan ini hanya menjadi gejala di Indonesia saja? Tentu tidak. Spirit tasawuf yang memang anti penjajahan sudah dimaklumi setiap orang.
Rusia dengan kekaisaran Tsar misalnya, telah berhasil diusir oleh penduduk Daghistan dan Chechnya yang dikomandoi oleh 3 imam Naqshabandiyah. Bangsa Rusia telah menjajah negeri mereka sepanjang abad 18-19.
Dekade 1880-1925 M Kurdistan menggemakan nasionalisme di bawah komando murid-murid Syekh Khalid As-Syahruzi An-Naqshabandi (1825 M), kelak Khalidiyah menjadi cabang Naqshabandiyah.
Hajj Umar Tall (Umar Al-Futi) adalah penganut Tijaniyah asal Senegal yang membakar perlawanan pada Perancis di pertengahan abad 18. Dia dibaiat sebagai khalifah Tijaniyah di Mekkah dan kemudian pulang menjadi menantu seorang raja.
Yang paling heroik tentu kisah tarekat Sanusiyah di Libya yang berhasil mengusir penjajah, Italia. Pendirinya, Muhammad bin Ali As-Sanusi (1859 M). berhasil menyatukan kabilah-kabilah untuk berjuang mengusir penjajah.
Baca Juga:
Penerusnya, Ahmad As-Sanusi dan sang paman Idris As-Sanusi berhasil melawan Perancis pada 1317 H dan Italia di rentang 1911-1945 M hingga ditahbiskan sebagai Raja Libya sebelum kemudian digulingkan oleh rezim Muammar Gaddafi dekade 70an.
Jadi, tidak benar jika kaum sufi yang menampilkan diri dalam tarekat dan ordo kesufian dianggap sebagai ‘biang kemunduran’ dan tidak peduli dengan bias modernitas, seperti kolonialisme.
Setelah merdeka pun kaum sufi ikut andil dalam membangun negeri. Ajarannya yang sejuk dan damai sanggup mengisi kekosongan dan kekeringan spiritualitas yang tidak bisa didapat dalam kecanggihan teknologi dan kemajuan sains. Spiritualitas dan ruhaniyah adalah anasir terpenting dalam diri manusia yang tidak boleh diabaikan.
Bahkan tasawuf, seperti diakui oleh semua peneliti, efektif meredam radikalisme dan ekstrimisme yang korbannya melampaui korban perang dunia I dan II, yang kabarnya menyentuh angka 6 juta jiwa.
Ekstrimisme menjadi penyakit kronis dalam skala global yang tidak bisa diselesaikan oleh manusia modern. Ekstrimisme kerap muncul dalam keriuhan modernitas dengan memakai atribut bermacam-macam, ada benihnya dalam masyarakat yang agamis maupun atheis, tak peduli dengan sistem pemerintahan apapun. Ekstrimisme adalah penyakit psiko-sosial yang salah satu obat ampuhnya adalah ajaran tasawuf.