Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Cara Memahami Konsep Bid’ah Imam Asy-Syafi’i dengan Tepat

Avatar photo
18
×

Cara Memahami Konsep Bid’ah Imam Asy-Syafi’i dengan Tepat

Share this article

Ada sebagian ustadz begitu bersemangat menolak pembagian bid’ah ke dalam dua kategori, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, dengan menukil perkataan Imam Asy-Syafi’i,

مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرّعَ

“Barang siapa membuat hukum dengan dasar istihsan, berarti telah membuat syariat sendiri.”

Padahal, Imam Asy-Syafi’i sendiri membagi bid’ah ke dalam dua kategori tersebut, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Untuk dapat memahami perkataan Imam Syafi’i tersebut dengan baik, hendaknya dibarengi dengan memahami kategorisasi bid’ah menurut beliau dan juga praktik-praktik amaliyah beliau sendiri. 

Terlepas dari perdebatan teoritis seputar pembagian bid’ah di atas, ada satu amalan pada hari Arafah bagi orang yang tidak menunaikan haji, yang menurut Syekh Al-Wana`i (w. 1212H./1797 M.), salah seorang ulama mazhab Syafi’i dari Al-Azhar, Mesir, masuk dalam kategori bid’ah hasanah, yaitu At-Ta’riif.

Singkatnya, Ta’riif adalah berkumpul di masjid atau di tempat lain setelah Ashar pada hari Arafah untuk berdoa dan berzikir hingga matahari terbenam, menyerupai orang-orang yang sedang wukuf di Arafah.

Bid’ah hasanah” At-Ta’riif ini pertama kali dilakukan oleh Sayyidina Abdullah bin Abbas r.a., salah satu sahabat mulia yang mendapatkan doa khusus dari Nabi Shallallah ‘alahi wa Alihi wa Sallam untuk dapat memahami agama ini dengan baik.

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Ya Allah, anugerahkanlah pemahaman yang mendalam kepada Ibnu Abbas dalam agamanya.”

At-Ta’riif dikategorikan sebagai “bid’ah hasanah”, karena tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Alihi wa Sallam. Kendati demikian, secara esensi tidak ada unsur yang bertentangan dengan Sunnah Nabi Shallallah ‘alahi wa Alihi wa Sallam. Paling tidak ini yang dapat dipahami dari komentar Imam Ahmad bin Hambal,

لاَ بَأْسَ بِهِ، إِنَّمَا هُوَ دُعَاءٌ وَذِكْرُ اللهِ

Tidak apa-apa [At-Ta’riif dilakukan], karena ia tidak lain adalah doa dan zikir kepada Allah.” (Lihat Asy-Syarh Al-Kabir: 2/262).

Komentar Imam Ahmad di atas menurut saya menarik, karena dapat diterapkan untuk perkara-perkara lain yang serupa dengan At-Ta’riif ini. Banyak sekali praktik-praktik keagamaan di dunia Islam, termasuk Indonesia, yang esensinya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, walaupun secara sepesifik tidak dicontohkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Alihi wa Sallam.

Dengan memahami perkataan Imam Ahmad di atas, menurut saya dapat menurunkan tensi ketegangan antar sebagian pihak yang menolak sejumlah praktik yang menurutnya tidak dicontohkan Nabi Shallallahu `alaihi wa Alihi wa Sallam, namun menurut pelakunya tidak masalah karena tidak ada unsur pertentangannya.

Memang tidak semua mazhab setuju dengan At-Ta’riif ini, seperti Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi. Namun inilah salah satu kekayaan khazanah Islam yang perlu kita apresiasi dan kita dalami untuk mengetahui bagaimana para ulama panutan kita mencurahkan tenaga, waktu dan usia mereka untuk mengkaji berbagai permasalahan dan hukumnya.

Imam Qatadah berkata,

من لم يعرف الاختلاف لم يشم أنفه الفقه

“Orang yang tidak mengetahui perbedaan pendapat para ulama, maka ia tidak mencium aroma fikih sama sekali.”

Kontributor

  • Ahmad Ikhwani

    Nama lengkapnya adalah Dr. Ahmad Ikhwani, Lc. MA., seorang intelektual muda NU, doktor lulusan Universitas Al-Azhar Mesir yang juga menjabat sebagai Wakil Rais Syuriah PCINU Mesir.