Sebagaimana umur, rejeki, jodoh dan kematian, kita tidak bisa memilih di mana kita dilahirkan dan bertempat tinggal. Ketika Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan dari surga, mereka berkeliling berkelana di bumi mencari satu sama lain. Nabi Adam berangkat dari Sarandib (India), dan Siti Hawa berangkat dari Jeddah, hingga pada akhirnya bertemu di Arafah.
Perjalanan beliau berdua dari surga turun ke bumi lalu menetap di dalamnya adalah sesuai dengan kehendak, perintah dan ketetapan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami berfirman, ‘Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.’” (QS. Al-Baqarah [2]: 36)
Maka demikianlah, dan anak keturunan Nabi Adam juga menjalani takdir serupa. Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya :
“Dan Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), maka (bagimu) ada tempat menetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda (kebesaran Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-An’am [6]: 98)
Kendati Nabi Adam dan Hawa sebelum turun ke bumi hidup dalam kenikmatan yang tiada tara di surga, namun ketika tinggal dan hidup bumi, semuanya (hewan-hewan, tetumbuhan, pepohonan dan lain-lain) ditundukan oleh Allah kepada pasangan penghuni pertama bumi ini dan keturunannya. Akhirnya tumbuhlah rasa cinta mereka kepada kehidupan baru dan mereka-pun meikmatinya. Sebagaimana disinyalir dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf [7]: 24, “(Allah) berfirman, “Turunlah kamu! Kamu akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi adalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang telah ditentukan.”
Sampai di sini bisa dipahami bahwa di mana kita lahir dan bertempat tinggal, atau dalam istilah modern kita menjadi warga negara, itu adalah takdir yang sudah ditentukan oleh Allah dan harus kita jalani.
Cinta Tanah Air Adalah Fitrah
Meski dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah air diartikan negeri tempat kelahiran. Tapi kalau kita merujuk pada lagu patriontik yang digubah oleh KH. Abdul Wahad Hasbullah, tanah air dialihbahasakan menjadi wathan dalam Ya Lal Wathan. Kata wathan dalam Bahasa Arab, sebagaimana tersebut dalam Mu’jam Maqayis Al-Lughah karya Ibn Faris, dimaknai tempat di mana orang tinggal.
Pemaknaan ini diamini oleh Al-Jauhari dalam Tajul Lughah wa Shihahul Arabiyyah, juga Ibn Manzhur dalam Lisanul Arab. Tapi tentu saja ini adalah pemaknaan secara leksikal. Tapi menjadi lebih umum, sebagaimana disinyalir dalam lagu Mbah Wahab, dengan arti tempat di mana orang tinggal di dalamnya, membelanya, mencintai dan memakmurkannya.
Secara spesifik, kata wathan (tanah air) tidak tersebut di dalam Al-Qur’an, pun perintah atau isyarat akan cinta kepadanya. Akan tetapi Al-Qur’an justru menyoroti hal-hal yang lebih detail yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tanah air.
Jika tanah air atau secara simplisit disebut negara, terdiri dari tiga komponen yakni tanah, kumpulan manusia dan kesepakatan untuk tinggal bersama, maka Al-Qur’an membahas ketiga-tiganya. Pun penjelasan tentang cinta kepadanya,
Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah [9]: 24)
Mari kita lihat, dalam ayat ini ada komponen-komponen dalam tanah air yang disebut secara jelas dan operasional meski dengan term yang lain, yakni bapak (orang tua, leluhur, founding father, nenek moyang), anak-anak (keturunan, generasi sesudah kita), saudara (sejawat, rekan) istri, keluarga (golongan, klan, suku), harta kekayaan, rumah tempat tinggal. Komponen-komponen itu tidak lain dan tidak bukan adalah komponen tanah air dan negeri.
Ayat ini tidak menegasikan apalagi melarang manusia untuk mencintai komponen-komponen tanah air. Sebab ia adalah fitrah manusia dan agama Islam berdiri di atas fitrah. Ayat tersebut mengarahkan manusia agar dalam mencintai hal-hal yang terkait dengan dunia dilakukan dengan proporsional, tidak berlebihan dan tidak menahan diri. Lebih dari itu, kecintaan kepada hal-hal keduniawian, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan tanah air, harus atas dasar cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Terkait dengan kecintaan manusia akan tanah air dan negerinya, Allah SWT berfirman, mengisahkan kaum Bani Israil yang diperintahkan untuk berperang:
“Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?” (QS. Al-Baqarah [2]: 246)
Kita perhatikan ayat tersebut, betapa manusia bersedia untuk mengorbankan jiwa ketika kampung halaman dan keluarga mereka diganggu oleh pihak lain bahkan terjadi perpisahan. Itu tidak lain adalah karena dorongan fitrah dalam diri mereka.
Karena kecintaan manusia yang fitri kepada tanah air dan negeri mereka, maka Al-Qur’an menyebutkan bahwa terusir dari kampung halaman, tanah air adalah suatu yang menyakitkan dan ditakuti. Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).” (QS. Al-Maidah [5]: 33)
Hukuman pengusiran dari tanah air juga diberlakukan kepada Bani Israil ketika melanggar perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Allah berfirman, ‘(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu.’” (QS. Al-Ma’idah [5] :26)
Terlepas bahwa apa yang dilakukan oleh Bani Israil adalah kesalahan, sekarang ini mereka dengan paksa menguasai tanah Palestina karena anggapan bahwa tanah itu adalah milik nenek moyang mereka, tanah air mereka.