Beberapa hari lagi, kita akan merayakan hari kelahiran atau Maulid Nabi Muhammad SAW, yakni pada bulan Rabi’ul Awwal. Perayaan ini termasuk hari besar dalam agama Islam yang menjadi sebuah keniscayaan, kecuali bagi orang-orang yang menganggapnya sebagai sebuah perbuatan yang bid’ah dan diharamkan.
Syekh Dr. Syauqi Allam, Mufti Mesir mengatakan bahwa merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dan bergembira atas kelahiran beliau merupakan salah satu perbuatan yang mulia dan bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.
Perayaan ini bisa diekspresikan dalam berbagai bentuk, seperti dengan membeli berbagai makanan dan manisan untuk dihadiahkan serta disedekahkan kepada orang-orang, sebagai wujud kebahagiaan dan kecintaan kita terhadap lahirnya Sang Nabi teragung serta ketaatan agar semakin dekat dengan Allah SWT.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, ia mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُحِبُّ الْحَلْوَاءَ، وَالْعَسَلَ
“Rasulullah SAW menyukai manisan dan madu.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:
تَهَادُوا تَحَابُّوا
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththa`)
Menanggapi tuduhan bid’ah atas perayaan hari kelahiran Nabi, Syekh Syauqi mengatakan bahwa hadits di atas telah menunjukkan tidak adanya larangan untuk saling memberikan hadiah di waktu-waktu tertentu, terlebih lagi jika hal itu bisa mendatangkan rasa kebahagiaan kepada keluarga demi menjaga serta menyambung silaturrahmi, maka semestinya hal itu menjadi sebuah kesunnahan yang dianjurkan.
Dan apabila hal itu dilakukan dalam rangka mengekspresikan wujud kebahagiaan kita terhadap hari kelahiran Rasulullah SAW, tentunya menjadi suatu kesunnahan yang sangat sangat dianjurkan, karena perantara terwujudnya sesuatu, maka hukumnya sama dengan sesuatu tersebut.
Baca juga: 10 Cara Bertemu dengan Rasulullah dalam Mimpi Sesuai Anjuran Ulama
Lebih lanjut beliau menambahkan, bahwa kita mengadakan perayaan Maulid ini bisa dengan berbagai cara, seperti berkumpul dengan orang-orang untuk berdzikir, melantunkan pujian-pujian dan sanjungan kepada Rasulullah SAW, memberi makan orang lain, dan bersedekah untuk mengharapkan ridha Allah SWT. Selain itu, juga sebagai bukti kecintaan kita kepada Rasulullah SAW dan wujud kebahagiaan kita dengan hari kelahiran beliau, terlebih lagi jika juga berpuasa di siang harinya.
Bid’ah Tidak Sekadar Haram
Klaim bahwa suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah perbuatan bid’ah, tidaklah benar.
Syekh Izzuddin bin Abdissalam mengatakan dalam kitabnya, Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/204, cetakan Dar Al-Fikr, bahwa melakukan sesuatu yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah adakalanya merupakan bid’ah yang wajib, haram, sunnah, makruh, dan adakalanya mubah.
Untuk mengetahui jenis bid’ah manakah perbuatan yang kita lakukan, maka perlu dilihat dengan kacamata kaedah-kaedah syara’. Jika masuk dalam kaedah-kaedah yang menjadikannya sebuah keharusan maka tergolong bid’ah yang wajib, jika masuk dalam kaedah pengharaman maka tergolong bid’ah yang haram, begitu juga yang makruh, sunnah, dan yang mubah.
Selain itu, pemahaman bid’ah selama ini hanya didasarkan atas pemaknaan secara bahasa saja, sehingga bid’ah diasumsikan sebagai sebuah perbuatan yang tercela yang tidak ada landasan syariatnya, namun tidak memasukkan jenis-jenis bid’ah yang lain seperti wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.
Demikian yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hal. 223 cetakan Dar Al-Fikr.
Baca juga: Cara Memahami Konsep Bid’ah Imam Asy-Syafi’i dengan Tepat
Mengenai sabda Rasulullah SAW: “Kullu Bid’atin Dhalalah” (Semua bentuk bid’ah adalah sesat), dalam kitab Al-Madkhal ila As-Sunan, karya Al-Baihaqi, 1/180 cetakan Dar Al-Khulafa li Al-Kitab Al-Islami, dijelaskan bahwa para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud sesat di situ adalah bentuk bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam syariat Islam, yakni yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam Al-Qur’an, hadits, atsar sahabat, atau ijmak.
“Adapun perbuatan bid’ah yang mengandung nilai kebaikan yang tidak bertentangan dengan itu semua, maka tidak bisa dianggap sebagai perbuatan yang tercela.” tulis Al-Baihaqi. Contohnya adalah memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Wallahu A’lam.