Sudah lazim kita ketahui bersama, di negara-negara Ajam (non Arab), termasuk Indonesia, khutbah Jumat umumnya disampaikan menggunakan bahasa lokal. Bagi kebanyakan penduduk setempat, khutbah menggunakan bahasa Arab sulit dimengerti dan dipahami.
Tidak jarang hal ini menyisakan kebingungan tersendiri. Apakah khutbah Jumat harus disampaikan dengan bahasa Arab ataukah boleh menggunakan bahasa lokal agar para jamaah bisa memahami isi khutbah.
Permasalahan ini sebenarnya sudah sering disinggung dalam kitab-kitab fikih, tepatnya dalam bab shalat Jumat. Sebagian juga dibahas dalam bab shalat ketika membicarakan perihal bacaan dalam shalat.
Dilansir dari situs resminya, Darul Ifta Mesir menjelaskan bahwa menurut pendapat yang rajih, khutbah Jumat dengan bahasa selain Arab hukumnya boleh dan tidak mempengaruhi keabsahan shalat Jumat. Yang terpenting, rukun-rukun dalam khutbah tetap dipenuhi dengan berbahasa Arab, agar tidak bertentangan dengan jumhur fukaha.
Tujuan dari khutbah itu sendiri adalah memberikan nasehat dan menyampaikan hukum-hukum syariat Islam.
“Maka dianggap tidak logis,” terang Darul Ifta, “jika khatib menyampaikan khutbah sementara para jamaah tidak memahami apa yang disampaikan dalam khutbah.
Baca juga: Dapatkah Doa dan Pahala Ibadah Orang Hidup Sampai Kepada Mayit?
Allah SWT berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim: 4)
Dalam Tafsir Al-Jalalain disebutkan, ayat Bi Lisani Qaumihi maksudnya adalah Bi Lughati Qaumihi (dengan bahasa kaumnya).
Sementara Liyubayyina lahum maksudnya adalah Liyufahhimahum ma Ata bihi (agar ia memberi pemahaman dengan apa yang telah diberikan padanya).
Apa yang disebutkan Darul Ifta di atas merupakan pendapat yang Mu’tamad di kalangan ulama mazhab Hanafiyah dan sesuai dengan pernyataan Abu Hanifah. Berbeda dari pendapat dua sahabat beliau, Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Abidin dalam kitab Radd Al-Muhtar ‘ala Ad-Dur Al-Mukhtar, 1/543, cetakan Ihya` At-Turats: “Khutbah Jumat tidak harus menggunakan bahasa Arab, karena hal itu tidak termasuk syarat khutbah meskipun khatib mampu berbahasa Arab. Berbeda dari pendapat Ash-Shahiban (Abu Yusuf dan Muhamamd) yang mensyaratkan khutbah Jumat harus berbahasa Arab, kecuali khatib tidak bisa berbahasa Arab maka boleh menggunakan bahasa lokal.”
Selain dari kalangan Hanafiyah, diperbolehkan pula khutbah Jumat disampaikan dengan bahasa lokal ketika khatib tidak mampu berbahasa Arab. Pendapat ini dianut kalangan Hanbaliyah.
Dalam kitab Kasysyaf Al-Qina’, 2/33 cetakan Dar Al-Fikr, Al-Bahuti menyatakan sebagai berikut:
“Khutbah Jumat tidak sah jika disampaikan dengan selain bahasa Arab bagi khatib yang mampu berbahasa Arab, seperti halnya membaca Al-Qur’an yang tidak sah jika tidak menggunakan bahasa Arab. Namun jika khatib tidak mampu berbahasa Arab, maka khutbah dengan bahasa ‘Ajam hukumnya sah, karena tujuan dari khutbah adalah memberikan nasehat, dzikir, memuji Allah, dan shalawat.“
Jika khatib mampu menyampaikan mukaddimah, lalu membaca ayat Al-Qur’an, dan hadits dengan menggunakan bahasa Arab, kemudian ia menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal, maka khutbah Jumat yang demikian lebih bagus. Wallahu a’lam.
Baca juga: Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki: Membaca Al-Qur’an di Kuburan Bukan Bid’ah