Darul Ifta Mesir melihat hukuman mati bagi orang murtad menimbulkan problematika besar bagi masyarakat Barat. Mereka mengira Islam memaksa setiap orang memeluk agama itu. Lembaga Fatwa Mesir tersebut mengawali dengan pertanyaan: wajibkah orang murtad dihukum mati sebagaimana pemahaman yang berkembang di masyarakat umum?
Seperti dilansir dari akhbarak.net (17/6), Darul Ifta menegaskan bahwa Barat melupakan konstitusi kaum muslimin tentang kebebasan beragama tercermin dalam ayat, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (QS. al-Baqarah [2]: 256) Karena itu, hukuman mati bagi orang murtad dapat dilihat melalui dua sudut pandang.
Pertama, pandangan nash agama yang menghalalkan darah seorang muslim apabila meninggalkan agamanya dan berpisah dari golongan kaum muslimin. Kedua, penerapan syariat menyangkut orang murtad pada masa Nabi Saw. dan para khalifah sesudahnya.
Darul
Ifta menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah membunuh orang murtad atau
yang terindikasi murtad karena tidak menerima keputusan beliau.
1. Nabi Saw. tidak membunuh Abdullah
bin Ubay yang mengatakan, “Sesungguhnya jika kita kembali ke Madinah, maka orang-orang
yang kuat benar-benar akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.”
(QS. al-Munafiqun [63]: 8)
2.
Nabi Saw. tidak membunuh Dzul Khuwaisharah at-Tamimi yang memprotes beliau
dengan mengatakan, “Berbuat adillah!”
3.
Nabi Saw. tidak membunuh orang yang pernah berkata kepada beliau, “Mereka
mengira engkau melarang perbuatan keji tetapi diam-diam melakukannya.”
4.
Nabi Saw. tidak membunuh orang yang berkata kepada beliau “Sesungguhnya bagian
ini sudah sesuai yang dikehendaki Allah Swt.”
5.
Nabi Saw. tidak membunuh orang yang memprotes beliau, “Iya, karena Zubair
saudara sepupumu,” saat beliau meemnangkan Zubair perihal cecok urusan
pengairan dengan salah seorang sahabat Anshar.
Kata-kata
seperti di atas sudah pasti menjadikan pengucapnya murtad karena menuduh Nabi
Saw. tidak adil dan tidak amanah.
Sikap
Nabi Saw. yang memilih tidak membunuh mereka, mengandung kemaslahatan yang amat
besar. Bahkan maslahat itu masih ada setelah beliau wafat, di mana banyak orang
tersentuh hati dan tidak lari dari ajarannya. “Andai saja beliau saat itu memerintahkan
membunuh mereka, sudah barang tentu banyak orang akan lari dari ajarannya,”
tegas Darul Ifta.
Ketika Umar bin al-Khaththab
berisyarat untuk membunuh Abdullah bin Ubay, Nabi Saw. justru bersabda, “Sungguh,
jangan sampai orang-orang berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya
sendiri.” Beliau tidak memanfaatkan kebolehan dari Allah untuk membalas dan
menghukum orang-orang munafik sebagaimana disebut dakam firman Allah Swt.:
لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ
وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ
بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلاً.
مَلْعُونِينَ أَيْنَمَا ثُقِفُوا أُخِذُوا وَقُتِّلُوا تَقْتِيلًا
“Sesungguhnya
jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam
hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari
menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian
mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang
sebentar, dalam keadaan terlaknat. di mana saja mereka dijumpai, mereka
ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.” (QS. al-Ahzab
[33]: 60-61)
Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah, seorang badui berbaiat
masuk Islam kepada Rasulullah Saw. Lalu dia tertimpa penyakit panas (karena
sangat capek). Dia pun datang menghadap beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah,
batalkanlah baiatku.” Tetapi Nabi menolak.
Kemudian ia datang lagi dan berkata, “Batalkanlah baiatku.”
Nabi menolak lagi.
Dia lalu datang untuk ketiga kali dan masih berkata, “Batalkanlah
baiatku.” Namun Rasulullah Saw. hanya bersabda, “Sesungguhnya Madinah
seperti perapian pandai besi, yang dapat menghilangkan karat dan memurnikan
kebaikannya.”
Nabi Saw. tidak membunuh orang Arab badui itu.
Selanjutnya, diriwayatkan bahwa Anas baru saja kembali
dari Tustar kemudian ia mengahadap Umar dan langsung ditanya, “Apa yang
dilakukan 6 orang dari keluarga Bakar bin Wail yang telah murtad lalu bergabung
bersama orang-orang musyrik?”
Anas menjawab, “Wahai Amirul mukminin, mereka semua terbunuh
dalam perang.”
Umar langsung menimpali, “Innâ lillâhi wainnâ ilaihi râji’ûn.”
“Adakah jalan lain untuk mereka selain dibunuh?” tanya
Anas.
Umar menjawab, “Iya, ada. Aku akan mengajak mereka masuk
Islam kembali, jika menolak, aku akan jebloskan mereka ke penjara.”
Dalam kasus ini, Umar tidak lantas menjatuhkan hukum mati
meski mereka murtad dan membunuh orang-orang muslim. Akan tetapi, dia menunggu mereka
bertaubat dan mereka akan dibui jika membangkang.
Darul Ifta, menerangkan semua kejadian di atas menjadikan para ulama fikih paham bahwa hukuman mati bagi orang murtad tidak berhubungan dengan masalah kebebasan beragama. Nash-nash yang berbicara keras tentang hukuman mati, tidak ditujukan pada konteks keluar dari Islam (murtad), tetapi lebih tertuju pada orang murtad yang dengan itu kemudian dia melakukan kejahatan terhadap masyarakat umum dan negara.
Mantan Syekh Al-Azhar, Mahmud Syaltut berpendapat bahwa hukuman
mati bagi orang murtad itu bukan hadd. “Sudut pandang dalam sebuah permasalahan
terkadang berubah, sebab banyak ulama memandang bahwa hadd tidak bisa
ditetapkan dengan berdasar pada hadits ahad. Kekafiran itu sendiri tidak menjadi
alasan penghalalan darah. Yang justru membolehkan hukuman mati tiada lain karena
memerangi orang-orang muslim dan menindas mereka supaya meninggalkan Islam. Banyak
ayat al-Qur’an secara eksplisit justru menolak pemaksaan urusan agama.” terang
beliau.
Menurut Darul Ifta, orang murtad dihukum mati, maka itu bukan
karena ia telah pindah agama, tetapi karena ia menimbulkan masalah besar di
luar itu seperti memecah belah kaum muslimin, di mana dia memanfaatkan
kemurtadannya untuk mengajak orang-orang muslim berpindah agama. Keadaan
demikian disebut perang karena agama sebagaimana firman Allah Swt., “Segolongan
(lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya), ‘Perlihatkanlah
(seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang
beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada
akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).” (QS.
Ali ‘Imran [3]: 72)
Darul Ifta Mesir menilai bahwa hukuman mati bagi orang murtad tidak bisa diberlakukan dan keberadaannya dalam syariat Islam bukan sebagai sanksi terhadap kebebasan beragama.