Setiap menyimak atau membaca suatu perdebatan, hal yang pertama kali terbesit dalam pikiran saya, selain kesepakatan terminologis, adalah ‘apa kebenaran yang dimaksud pihak yang berdebat tersebut?’
Pertanyaan mengenai kebenaran sebagaimana yang terbesit di pikiran saya mungkin saja dialami oleh beberapa orang; jika tidak berlaku universal, paling tidak hal itu dialami secara general.
Banyaknya konsep kebenaran yang membentang dari berbagai aliran menghambat kita untuk dengan segera dan sekaligus tegas mengetahui apa kebenaran yang dimaksud oleh partisipan debat. Hal ini tentu berkaitan dengan kekusutan pemahaman dari dua arah sekaligus: penyaji dan penyimak.
Dari arah penyaji, nyatanya tidak semua penyaji menegaskan posisi teori kebenarannya sehingga klaim-klaimnya bisa dibasiskan di atas teori tersebut. Bahkan, suatu teori kebenaran dalam suatu klaim bisa dicomot untuk digunakan dalam klaim yang berseberangan dari klaim yang memakai teori kebenaran yang sama.
Dari arah penyimak, kenyataan pahitnya adalah bahwa kita tidak memiliki bekal pengetahuan yang memadai untuk memilah tiap-tiap teori kebenaran. Misalnya, amat langka seorang yang bisa membedakan suatu klaim dibasiskan pada ‘teori kebenaran’ atau justru ‘teori pembenaran’. Ini baru di satu segi, belum lagi segi lain, sebut saja definisi, sumber, dan pembawa kebenaran.
Maka, alih-alih bersikap reaktif yang sering dibasiskan kepada rasa sentimen dan fans-holic, orang yang sudah akrab dengan teori kebenaran akan cenderung menyimak dengan jeli dan teliti apa dan bagaimana argumen diajukan dalam suatu perdebatan. Dia akan mengambil jarak sekian senti dari pemihakan yang didasari oleh ‘suka’ dan ‘tak-suka’, untuk selanjutnya mempelajari, menimbang, dan memutuskan mana pihak partisipan debat yang perlu dibela dan mana yang harus ditolak. Tak ada istilah kalah dan menang seperti dalam pertandingan sepak bola. Hasil dari perdebatan tak pernah absolut, jika kita tahu bahwa di balik suatu pernyataan pasti ada motif, dan di balik suatu motif pasti ada keyakinan. Ya, keyakinan, sesuatu yang oleh sementara orang terkesan tidak ilmiah dan intelek.
Saya mulai dari satu pernyataan: “Dalam setiap keyakinan terdapat pengetahuan, dan dalam setiap pengetahuan terpancang keyakinan.”
Keyakinan timbul dari pengetahuan yang kurang memadai untuk didemonstrasikan. Dalam masyarakat primitif, keyakinan yang biasanya merupa dalam bentuk mitos, selalu memiliki dasar pengetahuan. Sang pencetus mitos melihat fenomena di alam sekitarnya dan kemudian melihat pola-pola yang terjadi di sana.
Kebanyakan pola itu bersinggungan dengan manusia karena pikiran mereka atas suatu pengetahuan masih sebatas apa yang berguna dan bermanfaat bagi kehidupannya. Misalnya, masyarakat Jawa kuno mengatur segala jenis pilihan hidup melalui weton. Hal ini tampak konyol bagi sebagian besar orang modern. Namun, leluhur kita tidak mengarang bebas atas hal yang bakal menentukan masa depan anak cucunya. Mereka menggunakan ilmu ‘titen’ bahwa, misalnya dalam pernikahan, jika weton ini bertemu dengan weton itu hasilnya tidak baik. Pandangan mereka sering dianggap mitos oleh orang modern. Padahal, keyakinan mereka itu juga merupakan suatu pengetahuan, hanya saja belum memadai untuk didemonstrasikan secara ilmiah.
Belakangan ini, melalui studi psikologi, didapati bahwa hari kelahiran menentukan sifat dan watak seseorang. Jika watak keras disatukan dengan watak yang keras, maka dikhawatirkan rumah tangganya nanti tidak bisa bertahan. Jadi, sebetulnya selalu ada unsur pengetahuan dari segala sesuatu yang dianggap mitos. Jika tidak semuanya bertalian dengan pengetahuan teoritis, paling tidak berhubungan dengan pengetahuan praktis dan etis.
Setelah revolusi sains di Eropa, yang juga merembet ke revolusi industri lantas revolusi teknologi, orang-orang menganggap inilah puncak pencapaian akal budi manusia. Segala unsur yang berbau dogma, doktrin, tahayul, keyakinan, dan agama, disingkirkan dari meja laboratorium mereka. Seseorang masuk ke ruang laborat dengan telanjang dari latar belakang artifisialnya: beragama A, ber-ras B, berkebangsaan C, dan seterusnya.
Dalam gegap gempita revolusi itu, yang seolah mampu menjawab seluruh rasa ingin tahu dan kepuasan jasmani manusia, ternyata menyimpan segudang masalah. Manusia tidak sesederhana seonggok makhluk pembuat mesin A dan pemakai mesin B; atau peminat bidang A dan konsumen produk B; manusia lebih daripada homo faber dan homo economicus!
Di negara-negara pencetus revolusi itu terjadi krisis kemanusiaan yang begitu rupa, ditandai oleh perang saudara dan bahkan perang dunia. Belum lagi soal krisis ekologi, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan yang mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Akhirnya, manusia teralienasi dari dunianya dan muncullah gejolak batin yang tak tertanggulangi.
Belakangan, peminat aliran keyakinan di Barat mulai marak. Mereka lebih mementingkan kesehatan batin mereka daripada gegap gempita revolusi A-Z. Budhisme, Taoisme, dan mistisisme menjawab kegelisahan batin mereka. Pada paruh kedua abad yang lalu, aliran ‘kebatinan’ sangat marak di kota-kota metropolitan Barat.
Dari fenomena mengerikan di atas, klaim objektivitas dalam sains lantas dipersoalkan. Objektivitas dipancangkan pada tiang ‘ilmu untuk ilmu’ atau ‘pengetahuan untuk pengetahuan’. Para filsuflah yang ada di garis terdepan dalam menggugat klaim objektivitas tersebut. Nietzsche dengan nada yang sinis menyindir para saintis yang seolah-olah bisa menanggalkan segala macam non-ilmiah mereka. Padahal, menurut mereka, para saintis menyelidiki sesuatu berdasar suatu keyakinan tak bersyarat, sadar atau tidak sadar.
“Iman sebagai sebuah keharusan adalah sebuah veto terhadap sains dalam praksis, yang berarti kebohongan bagaimanapun caranya,” kata Nietzsche.
Husserl, dengan fenomenologinya, menggarisbawahi tentang klaim objektivitas yang nyatanya masih dihantui oleh klaim subjektivitas. Dasarnya adalah bahwa manusia selalu menaruh atribut pada suatu objek sebelum objek itu diteliti. Alhasil, penelitian ilmiah selalu berjalan di atas lajur atribusi nonesensial dari suatu objek. Di sinilah kesejatian hilang. Benda menjadi benda sebagai (thing as…) bukan benda itu sendiri (as such). Fenomenologi Husserl mengajak untuk menunda atau menaruh atribut benda dalam tanda kurung sehingga kesejatian benda tersingkap begitu rupa. Kritik Husserl ini mengindikasikan bahwa atribusi atas suatu objek penelitian ilmiah tak pernah telanjang dari intensi si pengamat, dan dengan demikian, hasil dari suatu penelitian sebenarnya telah disetting untuk sesuatu dengan atribusi primordialnya.
Belum lagi jika kita berbicara soal hasil dari penelitian ilmiah. Selama berabad-abad teori gravitasi Newton dipercaya sebagai kebenaran ilmiah oleh komunitas saintis. Teori itu kemudian terbukti salah ketika Einstein, dibantu oleh Arthur Eddington, menemukan teori relativitasnya. Jadi, hasil dari suatu penelitian dan demonstrasi ilmiah pun akan bermuara kepada sejenis keyakinan yang diterima. Tak ada yang menyangka bahwa keyakinan tentang teori gravitasi Newton selama berabad-abad itu salah. Toh mereka bisa hidup dengan meyakini teori itu. Itulah mengapa Karl Popper akhirnya mencetuskan teori yang masyhur dalam dunia ilmiah yang disebut teori falsifikasi, untuk mengimbangi dan membantah teori verifikasi Auguste Comte: “Suatu teori dianggap ilmiah jika secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyatakan kesalahannya.” Jadi, puncak dari suatu pengetahuan adalah keyakinan itu sendiri.
Di sinilah harus saya katakan bahwa batas antara yang dianggap ilmiah/objektif dan yang dianggap tidak-ilmiah/tidak-objektif amat tipis apabila dilihat dari teori kebenaran. Kenapa demikian? Karena kita, manusia, tidak pernah bermain di kesejatian benda (alam, Tuhan). Kita hanya bermain di permukaan tafsir atau interpretasi.
Penafsiran tak mungkin lepas dari horizon penafsir. Data yang dikumpulkan oleh peneliti memanglah suatu fakta, tetapi ia tidak telanjang. Fakta itu, sebelum dikumpulkan, ternyata tak lepas dari ‘framing’. Tanpa framing, seorang pengkaji tak mungkin mengarahkan kemudi kajiannya sampai menghasilkan kesimpulan atau penyimpulan.
Data yang sudah ter-framing itu pun kemudian diolah melalui interpretasi sang penafsir yang dilingkupi oleh horizon: latas belakang pendidikan, budaya, ras, agama, dan seterusnya. Maka, apa itu kebenaran mutlak jauh panggang dari api. Karena kemutlakan senantiasa bersifat ‘tak-terdeskripsikan’. Jika ia sudah terdeskripsikan, artinya ia sudah melalui tahap framing dan interpretasi.
Kutipan dari Alfathri Adlin dalam Esai Pembuka buku ‘What is Philosophy’ Deleuze-Guattari ini sangat relevan:
“Pengalaman yang dimiliki manusia adalah fakta, namun apa sebenarnya pengalaman itu merupakan wilayah makna yang bersifat fiksi. Kebenaran tentang hidup, alam semesta, atau Tuhan bukanlah sesuatu yang definitif-objektif, melainkan merupakan perluasan wawasan atas kompleksitas realitas (insight). Dari sudut eksternal yang terjadi adalah penyingkapan faset-faset realitas yang sebelumnya tersembunyi. Dalam perluasan wawasan tersebut senantiasa terkandung tegangan antara yang ada dalam rumusan dengan yang nyata dalam pengalaman; antara yang sungguh transenden dengan yang tampil secara imanen; antara perkara yang sangat mistis-teoretis dengan realitas praksis. Kebenaran merupakan sesuatu yang mengembang terus dalam dinamika interaksi/relasi horizontal dan vertikal, yang kerap penuh kontradiksi dan paradoks. Karenanya, sejauh suatu perkara masih terinderai, here and now, masih dimungkinkan adanya kesepakatan, namun apabila telah masuk ke pelbagai wilayah yang tak terinderai (intangible) maka porsi terbesar diberikan kepada makna dan tafsir.”
Juga kutipan ini:
“… semakin manusia menggeluti aspek-aspek tertentu dari ‘kebenaran’, semakin dia tidak mempunyai pegangan atau pijakan selain hanya tafsiran atau keyakinan; tak ubahnya seperti berenang ke tengah lautan.”
Bacalah buku-buku tentang teori kebenaran, ambillah contoh bukunya Richard L. Kirkham, ‘Theories of Truth’, berapa banyak teori kebenaran yang ada di sana? Berapa banyak teori yang Anda yakini sebagai teori kebenaran justru malah bukan teori kebenaran melainkan teori ‘pembenaran’?
Jika Anda ingin berdebat atau ingin menyimak suatu perdebatan, selidiki dulu teori kebenaran apa yang dipakai oleh para partisipan. Jangan-jangan mereka tak pernah tahu apa itu kebenaran dan apa yang menjadikan suatu pernyataan atau keyakinan menjadi benar? Anda bisa tidak peduli dengan semua pemaparan ini jika Anda adalah fans-holic dari salah satu peserta debat dan haters bagi lawannya! Atau Anda hanya suka dan terhibur melihat orang-orang ‘pintar’ bertengkar?!