Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Studi Islam antara normativitas-doktrinal dan historisitas

Avatar photo
38
×

Studi Islam antara normativitas-doktrinal dan historisitas

Share this article

Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab: Dirasah Islamiyah. Sedangkan studi Islam di Barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam.

Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang hal-hal yang berhubungan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang sejarahnya.

Jamali Sahrodi dalam bukunya Metodologi Studi Islam, menyatakan bahwa kajian keislaman (Islamic Studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas Islam baik ajaran, kelembagan, sejarah, maupun kehidupan umatnya.

Dalam prosesnya kajian itu mencerminkan suatu transmisi doktrin-doktrin keagamaan dari generasi ke generasi, dengan menjadikan tokoh-tokoh agama, mulai dari Rasulullah sampai dengan ustadz dan para da’i sebagai perantara sentral yang hidup (the living mediators).

Secara kelembagaan, proses ini berlangsung diberbagai institusi, mulai keluarga, masyarakat, masjid, kuttb, madrasah, pesantren, sampai dengan al-jami’ah. Disamping proses transmisi, kajian agama juga merupakan usaha bagi pra pemeluk agama yang bersangkutan untuk memberi respons, baik dalam pengertian ofensif maupun defensif, terhadap ajaran, ideologi, atau pemikiran dari luar agama yang diyakininya.

Pengertian-pengertian di atas memberikan arahan bahwa studi Islam merupakan kajian keislaman yang melampaui batas-batas Islam pada aspek normativitas ajaran semata, namun juga memasuki aspek historisitasnya.

Studi Islam (Dirasah Islamiyah/Islamic Studies) diharapkan mampu menghantarkan terhadap pemahaman Islam yang komprehensif/ kaffah, seperti diisyaratkan oleh QS Al-Baqarah (2):108.

Pemahaman yang bersifat parsial akan menjadikan pengertian Islam akan salah dipahami. Menarik untuk melihat komentar yang disampaikan Harun Nasution pada saat menjelaskan di dalam pendahuluan dari bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.

Menurutnya bahwa di kalangan masyarakat Indonesia terdapat kesan bahwa Islam bersifat sempit. Kesan itu timbul dari salah pengertian tentang hakikat Islam. Kekeliruan paham ini terdapat bukan hanya di kalangan umat bukan Islam (non-Muslim), tetapi juga di kalangan sebagian agamawan-agamawan Islam.

Menurut Harun Nasution, kekeliruan paham itu terjadi diakibatkan karena kurikulum pendidikan agama Islam yang banyak dipakai di Indonesia ditekankan pada pengajaran ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadis dan Bahasa Arab.

Oleh karena itu, Islam di Indonesia banyak dikenal dari aspek ibadat, fikih dan tauhid saja. Dan itu pun ibadat, fikih dan tauhid biasanya diajarkan hanya menurut satu mazhab dan aliran saja. Hal ini memberi pengetahuan yang sempit tentang Islam. Dalam Islam sebenarnya terdapat aspek-aspek selain dari yang disebut di atas, seperti aspek teologi, aspek ajaran spiritual dan moral, aspek sejarah kebudayaan, aspek politik, aspek hukum, aspek lembaga-lembaga kemasyarakatan, aspek mistisisme dan tarekat, aspek filsafat, aspek ilmu pengetahuan dan aspek pemikiran serta usaha-usaha pembaruan dalam Islam, demikian Harun Nasution menjelaskan.

Studi terhadap Islam dalam realitasnya tidak hanya monopoli intern umat Islam saja. Akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar Islam. Oleh sebab itu, Studi Islam di sini akan dilakukan dengan menggunakan dua sisi pendekatan, yaitu dari intern umat Islam (insider) dan juga dari luar Islam (outsider).

Hal ini dalam rangka untuk mempertegas perbedaan yang sering dilakukan umat Islam sendiri ataupun oleh dunia akademik Barat. Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum orientalis (istisyraqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam.

Dalam praktiknya studi keislaman yang dilakukan oleh mereka, terutama pada masa awal-awal Islam mereka melakukan studi dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pengalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.

Namun demikian, pada masa-masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap agama Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu akan bisa bermanfaat bagi pengembangan-pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.

Dalam penelitian studi Islam, Al-Quran dan Hadis tidak dapat terlepas karena merupakan sumber ajaran Islam itu sendiri. Karena Al-Quran dan Hadis bersifat normatif, namun di kalangan para ilmuwan masih terdapat perbedaan pandangan dalam masalah apakah studi Islam dapat dimasukkan dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat perbedaan ciri antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.

Menurut Amin Abdullah kesukaran seseorang dalam memahami studi Islam berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan mana yang normativitas dan historitas. Pada dataran normativitas kelihatannya Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, akan tetapi pada dataran historitas Islam dapat disebut sebagai disiplin ilmu.

Pada dataran normativitas agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan yang merupakan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.

Dilihat dari segi normatif-doktrinal sebagai mana yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis, Islam lebih merupakan agama yang tidak bisa diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis dan empiris, akan tetapi pada dataran historitas Islam dalam arti yang telah dilaksanakan oleh manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu.

Mahmud Syaltut misalnya memandang Islam dari segi doktrinal di mana beliau membagi Islam menjadi dua bagian, pertama dalam masalah aqidah dan kedua dalam masalah muamalah. Harun Nasution memandang dari sudut historis, ia mengatakan Islam berlainan dengan apa yang umum diketahui, bukan hanya mempunyai dua aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek.

Pembagian di atas merupakan pembedaan antara ajaran yang bersifat normatif dan ajaran yang bersifat historis. Pembedaan dalam melihat Islam itu dapat menimbulkan perbedaan pemahaman dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatifnya, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi tentang akidah dan muamalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut pandang historis atau apa yang telah dipraktikkan masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu.

Sejak manusia mengenalkan pengetahuan pada taraf yang paling rendah sehingga pengetahuan tersebut dapat diproses menjadi sebuah disiplin ilmu dalam waktu yang cukup panjang. Berdasarkan pemaparan-pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan penalarannya guna menciptakan berbagai pengetahuan-pengetahuan baru dengan melakukan berbagai penelitian terhadap pengetahuan-pengetahuan yang telah ada.

Ilmu pengetahuan yang berhasil dilahirkan manusia sampai hari ini tentunya bukan merupakan kesimpulan akhir dari adanya pengetahuan itu sendiri. Namun demikian, pengetahuan tersebut dapat berkembang lebih jauh di masa-masa yang akan datang mengikuti pola perkembangan pengetahuan tersebut. Kemampuan penalaran manusia tentunya menjadi sebuah kekuatan untuk melakukan berbagai pengkajian tidak saja pada persoalan-persoalan umum, melainkan juga persoalan-persoalan keagamaan yang semakin problematis di dunia modern.

Kontributor

  • Noer Shoim

    Asal Ngabang, kota kecil di Kalimantan Barat. Pernah nyantri Ponpes Ihya Ulumaddin, Kesugihan Cilacap dan Sarang Rembang. Usai menyelesaikan sarjana di Maroko, sekarang menjadi mahasiswa Master Studi Islam di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.