Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat: Yang tetap dan berubah dalam syariat Islam

Avatar photo
28
×

Ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat: Yang tetap dan berubah dalam syariat Islam

Share this article

Ajaran Islam atau syariat Islam mengandung hal-hal yang bersifat baku, permanen atau tetap, tidak berubah, atau yang dikenal dengan istilah Ats-Tsawabit, dan ada pula yang bisa berubah sesuai keadaan atau yang dikenal dengan istilah Al-Mutaghayyirat.

Istilah Ats-Tsawabit dan Al-Mutaghayyirat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya, I’lamul Muwaqqi’in, 1/51.

Ats-Tsawabit adalah hukum-hukum syara’ yang tidak dapat diubah dalam keadaan apa pun, di mana pun, serta tidak menerima ijtihad dari siapa pun. Seperti keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa, para Rasul, Kitab-kitab suci, dan hari akhir. Ini biasa disebut dengan Al-Mu’taqadat.

Lalu ada pula yang berkaitan dengan pokok-pokok ibadah seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya yang masuk dalam kategori Al-‘Ibadat. Dan ada pula yang berupa prinsip-prinsip kemanusiaan universal seperti keadilan, kesetaraan manusia, kehormatan manusia, dan etika-etika, serta keharaman-keharaman yang telah ditetapkan Allah yang sifatnya Qath’i (pasti dan mutlak).

Sedangkan Al-Mutaghayyirat adalah hukum-hukum yang bisa berubah sesuai tuntutan kemaslahatan, situasi kondisi, dan tempatnya, yang menyangkut masalah relasi antara manusia, atau yang biasa disebut dengan Al-Mu’amalat.

Bidang ini memuat aturan-aturan hubungan manusia dalam keluarga atau rumah tangga (Al-Ahwal Ash-Shakhsyiyyah), kehidupan sosial, ekonomi, politik, serta hubungan internasional antar negara (Al-‘Alaqat Ad-Dauliyyah). Ini merupakan dimensi hukum Islam yang luas dan dinamis sejalan dengan keniscayaan perubahan kehidupan manusia.

Hukum seperti Al-Mutaghayyirat ini merupakan hasil ijtihad yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang jenis Ats-Tsawabit, serta terbuka luas bagi yang memiliki cukup syarat untuk melakukan perumusan fikih baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Dalam kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, Imam Al-Juwaini Al-Haramain menyatakan, mayoritas hukum Islam (syariat) merupakan produk ijtihad, karena nash yang berkaitan dengan hukum tidak sampai sepersepuluh.

Ats-Tsawabit sendiri merupakan istilah baru yang dibicarakan oleh para ulama ushul fikih, ketika mereka membicarakan tentang masalah perubahan hukum sesuai konteks zaman atau kebiasaan yang berlaku di daerah tertentu, seperti Imam Al-Qarafi dan Ibnu Al-Qayyim.

Senada dengan hal ini, Syaikhul Azhar, Syaikh Ahmad Thayyib pernah menyampaikan dalam sebuah acara khusus bulan Ramadhan yang bertajuk Al-Imam Ath-Thayyib, bahwa dualisme yang jelas antara Ats-Tsawabit dan Al-Mutaghayyirat ini mengukuhkan syariat Islam bisa memimpin umat selama 13 abad lamanya serta mengikuti perkembangan zaman. Selain itu fleksibilitas hukum Islam inilah yang bisa melestarikan peradaban Islam.

Salah satu ulama ushul fikih berkebangsaan Tunisia, Nuruddin bin Mukhtar Al-Khadimi dalam bukunya yang berjudul Al-Ijtihad Al-Maqashidi, menjelaskan bahwa masalah Al-Mutaghayyirat ini mencakup masalah-masalah Furu’ (cabang) yang berlandaskan Zhanni (dugaan yang masih multi interpretasi) baik dalam ketetapan hujjahnya maupun kandungan makna dilalahnya, serta masuk dalam wilayah ijtihad para ulama yang berpotensi untuk diperselisihkan dari kalangan Ahlus Sunnah wal jamaah sendiri.

Salah satu contohnya adalah implementasi keadilan, bagaimana menerapkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, ini bisa saja berbeda sesuai dengan keadaan, tempat, dan waktu. Begitu juga dengan mewujudkan kemaslahatan dalam Siyasiyah (politik) seperti masalah administrasi pemerintahan, undang-undang ekonomi dan keuangan.

Semua itu dapat berubah sesuai dengan tempat dan waktu, yang terpenting adalah dapat mewujudkan kemaslahatan manusia sehingga Maqashid Asy-Syari’ah dapat terpenuhi.[1]

Kemudian ada pula masalah-masalah kontemporer yang muncul dalam keadaan darurat, yakni yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemudaratan bagi manusia baik secara individu maupun kolektif, seperti dibolehkannya memakan daging babi dalam keadaan darurat, mengambil barang milik orang lain dalam keadaan sangat terpaksa sebatas untuk menghilangkan kemudaratan.[2]

Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa min ‘Ilm Al-Ushul, menyatakan bahwa masalah-masalah yang tidak ada nash dan tidak ada ijmak tentang hukumnya, menjadi ruang bagi Mujtahid untuk berijtihad menetapkan hukumnya berdasarkan pertimbangan Maqashid Asy-Syari’ah (tujuan-tujuan pokok syariat) dengan menggunakan pendekatan Qiyas, Istihsan, ‘Urf, dan Maslahah Mursalah.

Lebih jauh, Fiqh Ats-Tsawabit dan Al-Mutaghayyirat memiliki karakteristik Tawazun (seimbang dan proporsional), Tawasuth (moderat) dan menghindari sikap Al-Ghuluw (berlebihan dan ekstrim), dan Tasahul (memudah-mudahkan), sehingga ini menjadi penting karena menjadi salah satu dasar dalam setiap penilaian benar, tepat, adil serta proporsional terhadap peristiwa. Ini juga menjadi landasan pokok dalam pemahaman fiqih Aulawiyyat (fikih prioritas).

 


[1] Al-Madkhal Al-Fiqhi, karya Musthafa Ahmad Az-Zarqa`.

[2] Al-Asybah wa An-Nazha`ir, karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi.

Kontributor

  • Arif Khoiruddin

    Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.