Seperti saya ungkap sebelumnya, ego pribadi adalah perkara yang mesti dilawan oleh setiap petugas haji. Demikian pula para jamaah, hal yang sama juga mesti dihadapi. Saya bahkan masih berpikir bahwa melawan ego pribadi adalah salah satu jalan mencapai mabrurnya haji.
Saya punya pemikiran demikian, karena menyaksikan betapa banyak jamaah haji yang renta dan lemah ada di antara jamaah regu, rombongan dan kloter. Mereka orang-orang yang tak jarang berangkat sendiri tanpa dampingan sanak saudara. Tentu saja semua bergantung pada orang-orang di dekatnya. Memang ada petugas haji, tapi pastinya tak mampu mengawal di setiap waktu dan tempat.
Apakah jamaah haji yang muda dan sehat mau berbagi perhatian kepada mereka yang payah ini? Ataukah lebih baik yang muda dan sehat hanya berpikir tentang target ibadah sendiri-sendiri? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri saya dan selalu saya kaitkan sendiri dengan kemabruran haji.
Hal seperti ini sudah mulai nampak saat jamaah masuk Makkah dan akan melaksanakan umrah. Saat semua sudah masuk kamar dan meletakkan barang, tak sedikit jamaah haji yang jompo tertinggal di hotel tanpa ada yang menemani. Mungkin ada juga ego antar kelompok jamaah haji, tentang siapa yang mau mengurus si lemah itu. Semua itu, di mata saya adalah tantangan mencapai mabrurnya haji. Orang bisa saja berpikir, sudah ada petugas haji dalam kloter, sudah ada petugas haji non kloter seperti saya ini. Namun bagaimanapun, bagi saya orang terdekat juga ditantang untuk ikut bertanggung jawab.
Orang renta yang berhaji memang benar-benar harus melewati perjuangan tak mudah. Beberapa kali saya menemukan jamaah semacam ini yang tidak hanya tersesat namun sudah mengalami disorientasi. Bahasanya jelas susah dipahami. Suatu ketika di Arafah, ada ibu-ibu tersesat bilang ke saya kalau dia “mau pergi ke Arab.” Ada juga jamaah yang saat umrah pertama ketinggalan di lobi hotel kami dan saya bilangi untuk duduk saja tempatnya, tunggu kami shalat Jumat sejenak. Saya juga bilang kepadanya kalau di depan ada halte bus shalawat dan dia berkomentar “Oh, Terboyo cedhak ya.” Dia pikir terminal Terboyo Semarang itu dekat.
Jelas orang-orang jompo ini mesti ditelisik dari identitas yang dia bawa, minimal gelangnya. Kalau sudah berhasil di antar ke kelompoknya, teman sekelompok akan menunjukkan rasa lega dan syukur luar biasa, sementara orang yang diantar ekspresinya datar-datar saja.
Mengenai jamaah yang berusia tua, ada kloter sapu jagad. Istilah ini merujuk ke kloter angka-angka terakhir di mana jamaah haji di situ adalah orang-orang usia lanjut campuran dari berbagai kabupaten dan kota di satu provinsi. Umumnya satu kloter itu kumpulan jamaah dari kabupaten atau kota yang sama, tapi kloter sapu jagad ini tidak.
Saya sampai terenyuh kalau ketemu petugas haji internal kloter sapu jagad ini. Suatu ketika di Arafah saya mengantar jamaah kloter sapu jagad ini ke tendanya, dan saya ketemu ketua kloternya. Saya seakan mau menangis di depan ketua kloter ini, membayangkan perjuangannya. Apalagi saat itu tendanya kebanjiran air limpahan dari komplek kamar mandi dan toilet. Saya bilang ke dia, kalau perjuangan dia luar biasa, insyaaAllaah dia panen pahala. Dia tak sempat berkomentar banyak, mungkin saking capeknya.
Perjuangan ketua kloter ini tidak selesai di Arafah saya saksikan. Pas jamaah dia menjadi kloter terakhir keluar dari sektor kami dan menuju Madinah, ia masih harus mencari satu jamaah yang belum ketemu. Belum lagi ia dimarah-marahi petugas maktab karena urusan satu jamaahnya yang masuk rumah sakit tapi tanpa koordinasi atau bagiamana. Pak ketua kloter hanya duduk saja mungkin sudah bingung mau apa lagi. Belakangan beberapa bulan kemudian, saya tahu kalau pak ketua kloter ini diangkat jadi orang nomor satu kementerian Agama di tingkat provinsi.
Pada tahun 2019, jamaah haji tertua usianya 105 tahun, tapi tidak dari pemondokan sektor saya. Tahun 2022, tahun pertama setelah jeda pandemi, jamaah serenta ini tidak akan ditemukan, karena usia maksimal yang diperbolehkan adalah 65 tahun. Ini semua demi keamanan terkait pandemi yang sempat melanda.
Suatu ketika saat di Arafah saya ketemu seorang jamaah pria yang sudah tua bertanya tentang lokasi tenda jamaah kloter sapu jagad. Meski sudah tua, tapi dia masih jelas berkomunikasi dan nampak sehat. Kakek yang mengaku dari Bantul ini ternyata bukan dari kloter sapu jagad tapi dari kloter biasa. Saya pun bertanya apa maksudnya menuju tenda kloter sapu jagad dan dia pun menjawab “badhe kepanggih bapak kula,” artinya “mau ketemu bapak saya.” Saya pun kaget benar. Jamaah ini sudah tua, ternyata masih ada bapaknya juga yang juga berhaji. Saya cuma berpikir berapa usia bapaknya ini, tapi tak sempat bertanya. Sambil berjalan saya damping menuju tenda tujuan, dia bercerita kalau bapaknya beralamat di Sleman.
Yang saya renungi adalah beruntungnya jika sempat berhaji di masa muda. Lebih beruntung lagi, kalau yang muda-muda ini peduli dengan para jamaah renta yang ada di sekitarnya. Mungkin dengan peduli, orang bisa kehilangan kesempatan meraih keutamaan-keutamaan ibadah di tanah suci. Tapi saya berpikir, meski yang diraih hanya wajib dan rukun saja, tapi kepedulian ke jamaah sekitar tinggi, insyaaAllaah orang berhaji seperti ini akan dapat kemabruran.
Saya adalah petugas haji biasa-biasa saja, tapi di sekitar saya banyak petugas-petugas yang hebat. Para petugas haji di sekitar saya, beberapa di antara adalah langganan berangkat yang sudah bertugas berkali-kali. Jamaah haji di sekitar saya juga banyak yang merupakan sosok-sosok luar biasa. Suatu kali sambal duduk-duduk santai, seorang teman petugas iseng bertanya kepada seorang pembimbing haji sebuah kelompok jamaah dari satu kota di Jawa Tengah. Bapak ini dari penampilannya memang sudah nampak sebagai pembimbing senior berpengalaman. Pertanyaan teman saya waktu itu adalah “sudah berapa kali berhaji, Pak?” Si bapak pun menjawab, seingat saya, empatpuluh lima kali. Teman saya pun langsung minta ampun.
Pada penutupan kegiatan sektor 10, diadakan pemilihan petugas terbaik di masing-masing bidang. Ada petugas akomodasi terbaik, petugas konsumsi terbaik, petugas transportasi terbaik, petugas kesehatan terbaik, petugas perlindungan jamaah terbaik dan lain-lainnya. Yang menilai adalah seluruh petugas sektor 10 sendiri, dengan menuliskan satu nama untuk masing-masing kategori. Saya jelas tidak terpilih jadi petugas akomodasi terbaik, karena masih punya banyak kekurangan. Tapi saya sangat berbangga, karena petugas yang berasal dari satu instansi yang sama dengan saya, yaitu Dr. Abdul Ghoffar, terpilih menjadi konsultan ibadah terbaik.
***
Sekitar dua bulan saya bertugas dan akhirnya mesti pulang ke tanah air. Senin 9 September 2019, pagi hari kami menuju ke kantor Daker Makkah, tempat di mana bus yang akan mengangkut kami ke Bandara Jeddah berangkat. Dari sektor saya menumpang mobil milik seorang petugas haji mukimin yang telah akrab dengan saya. Saat petugas sudah naik bus, Pak Subhan Cholid, Kepala Daker Makkah yang terkenal sangat low profile ini, ikut naik bus dan menyalami kami satu per satu. Pak Subhan yang satu almamater dan satu daerah asal dengan saya ini sekarang sudah berganti tugas menjadi Direktur Pelayanan Haji Luar negeri.
Sore hari saat berada di ruang tunggu bandara, saya lihat pesawat yang akan kami tumpangi pulang telah datang, membawa jamaah umrah asal Indonesia yang sudah berkain ihram. Saya sadar, musim haji tahun itu telah lewat. Orang nomor satu di urusan pembinaan petugas haji, Pak Khoirizi Dasir, nampak hadir menyalami kami satu per satu. Orang ini dikenal paling galak dan tegas saat masa-masa pelatihan, tapi dia adalah orang yang bisa memberi contoh, tidak hanya bisa bicara.
Sambil menunggu waktu masuk ke pesawat, saya teringat orang-orang yang saya kenal di tanah air. Mereka yang telah melewati pembelajaran agama Islam di pesantren atau madrasah dan telah menguasai fiqih haji, banyak yang belum berkesempatan berangkat haji. Sementara di sisi lain, orang-orang yang bahkan fiqih bersuci pun belum menguasai, malah sudah berkesempatan untuk berhaji. Yang sudah belajar Bahasa Arab bertahun tahun sama sekali belum berangkat haji, sedang yang tidak paham Bahasa Arab malah bisa berangkat haji berkali-kali.
Akhirnya saya kembalikan lagi kepada kata-kata banyak orang, bahwa semuanya adalah perkara panggilan yang sudah ditentukan. Saya hanya bisa berdoa semoga mereka-mereka itu lekas mendapat kesempatan. Lalu saya pun pulang, dengan membawa setumpuk oleh-oleh, yaitu berbongkah-bongkah rindu untuk keluarga.